twitter
    Find out what I'm doing, Follow Me :)

Kamis, 13 Februari 2014

#PUTUSANMK - PUTUSAN Nomor 1-2/PUU-XII/2014 atas UU MK




PUTUSAN Nomor 1-2/PUU-XII/2014
 
DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA 
MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA




[1.1]     Yang mengadili perkara konstitusi pada tingkat pertama dan terakhir,
menjatuhkan putusan dalam perkara Pengujian Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi Menjadi Undang-Undang, terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang diajukan oleh:
Alamat
Sebagai
2.      Nama Alamat
Sebagai
3.      Nama Alamat
[1.2]    I-   PARA PEMOHON PERKARA NOMOR 1/PUU-XII/2014 1.  Nama        :  Dr. A- Muhammad Asrun, S.H, M.H.

:  Jalan Setia Nomor 23 RT 008/002, Bidara Cina,
Jatinegara, Jakarta Timur
Pemohon 1;

:   Heru Widodo, S.H., M.Hum.
:  Jalan Blok Dukuh RT 004/010 Cibubur, Ciracas,
Jakarta Timur
 
Pemohon 2;
:  Samsul Huda, S.H.,M.H.
Sebagai 4. Nama Alamat
Sebagai
: Jalan Tarumanegara Nomor 48C RT 004/011, Pisangan, Ciputat Timur, Tangerang Selatan, Banten
----------------------------------------------------------------------- Pemohon 3;
: Dorel Almir, S-H-, M-Kn-
: Jalan Taman Meruya Ilir I-2 Nomor 6 RT 006/007, Meruya Utara, Kembangan, Jakarta Barat
Pemohon 4;


5.      Nama Alamat

Sebagai
6.      Nama Alamat

Sebagai
7.      Nama Alamat

Sebagai
8.      Nama Alamat


Daniel Tonapa Masiku, S.H.
Jalan Kalipasir, Gang Eretan Nomor 256 RT
004/008, Kebon Sirih, Menteng, Jakarta Pusat
----------------------------------------------------------------------- Pemohon 5;
:  Samsudin, S-H-
: Villa Perwata Blok B Nomor 6 RT 001/003 Pondok
Petir, Bojongsari, Depok, Jawa Barat
Pemohon 6;

:  Dhimas Pradana, S-H-
: Bojong Menteng, RT 006/009, Rawalumbu, Bekasi, Jawa Barat
----------------------------------------------------------------------- Pemohon 7;
: Aan Sukirman, S-H-
:  Dusun Puhun RT 001/001 Windusari, Nusaherang, Kuningan, Jawa Barat


Sebagai Selanjutnya disebut sebagai


Pemohon 8; para Pemohon I;




II.   PARA PEMOHON PERKARA NOMOR 2/PUU-XII/2014


1.      Nama Alamat


Sebagai
2.      Nama Alamat


Sebagai
3.      Nama Alamat


Sebagai


:  Gautama Budi Arundhati, S.H., L.L.M.
:  Jalan Kalimantan 37, Kampus Tegal Boto, Kotak
Pos 9, Jember
 
Pemohon 1;

:   Dr. Nurul Ghufron, S.H., M.H.
:  Jalan Kalimantan 37, Kampus Tegal Boto, Kotak Pos 9, Jember
Pemohon 2; :  Dr. Aries Harianto, S.H., M.H.
:  Jalan Kalimantan 37, Kampus Tegal Boto, Kotak
Pos 9, Jember
Pemohon 3;





4. Nama
Alamat


Sebagai

5. Nama
Alamat


Sebagai

6. Nama


Alamat


Jalan Kalimantan 37, Kampus Tegal Boto, Kotak Pos 9, Jember


Sebagai--------------------------------------------------------------------------------- Pemohon 6;
7.  Nama        :  Iwan Rachmat Soetijono, S.H., M.H.
Alamat       :  Jalan Kalimantan 37, Kampus Tegal Boto, Kotak
Pos 9, Jember


Sebagai


Pemohon 7;



Selanjutnya disebut sebagai---------------------------------------------------------------------- para Pemohon II;

Selanjutnya keselurahannya disebut sebagai............................................... para Pemohon;

[1.3]     Membaca permohonan para Pemohon I dan para Pemohon II;
Mendengar keterangan para Pemohon I dan para Pemohon II; Mendengar dan membaca keterangan Presiden; Membaca keterangan tertulis Dewan Perwakilan Rakyat; Membaca keterangan tertulis Komisi Yudisial;
Mendengar dan membaca keterangan ahli para Pemohon I dan para Pemohon II, serta Presiden;
Memeriksa bukti-bukti tertulis para Pemohon I dan para Pemohon II;
Membaca kesimpulan tertulis para Pemohon I dan para Pemohon II, serta Presiden.


2. DUDUK PERKARA


[2.1]     Menimbang bahwa para Pemohon I telah mengajukan permohonan
bertanggal 26 Desember 2013 yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah dan telah dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi dengan Nomor 1/PUU-XII/2014 pada tanggal 8 Januari 2014, yang telah diperbaiki dengan permohonan bertanggal 23 Januari 2014 dan diterima Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 23 Januari 2014, serta diperbaiki kembali dengan perbaikan permohonan kedua bertanggal 23 Januari 2014 yang diterima Kepaniteraan Mahkamah pada persidangan tanggal 30 Januari 2014, yang pada pokoknya sebagai berikut:
I.   KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI
Berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi [selanjutnya disebut UU 24/2003, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4316, bukti P-3], sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tetang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi [selanjutnya disebut UU 8/2011, bukti P-4], Pasal 29 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman [Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076, selanjutnya disebut UU 48/2009, bukti P-5], maka salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar.
Bahwa Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi [selanjutnya disebut Perppu 1/2013, bukti P-6] telah disahkan menjadi Undang-Undang oleh Dewan Perwakilan Rakyat dalam Rapat Paripurna pada tanggal 19 Desember 2013, sebagaimana dimaksud Pasal 22 UUD 1945. I.2. Bahwa berdasarkan kewenangan Mahkamah Konstitusi sebagaimana diuraikan di atas, apabila ada warga negara atau sejumlah warga negara yang menganggap hak konstitusionalnya dirugikan sebagai akibat pemberlakuan materi muatan dalam ayat, pasal, dan/atau bagian Undang-


Undang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Mahkamah Konstitusi berwenang menyatakan materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian Undang-Undang tersebut "tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat" sebagaimana diatur dalam pasal 57 ayat (1) UU 8/2011.
1.3.         Bahwa Pemohon beranggapan hak-hak konstitusional Pemohon yang diatur dan dilindungi dalam UUD 1945 telah dirugikan dengan adanya UU 4/2014.
1.4.         Bahwa berkenaan dengan jurisdiksi Mahkamah Konstitusi tersebut di atas dan uraian tersebut di atas, maka Mahkamah berhak dan berwenang untuk melakukan pengujian konstitusionalitas UU 4/2014 terhadap UUD 1945.
II.Kedudukan Hukum (Legal Standing) Para Pemohon
Berdasarkan Pasal 51 ayat (1) UU 24/2003 Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang yaitu;
a.   perorangan warga negara Indonesia;
b.   kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang;
c.   badan hukum publik atau privat; atau
d.   lembaga negara.

11.2.      Bahwa dalam Penjelasan Pasal 51 ayat (1) UU 24/2003 dikatakan bahwa: "Yang dimaksud dengan hak konstitusional' adalah hak-hak yang diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945." Uraian kerugian hak konstitusional Pemohon akan dijabarkan lebih lanjut dalam permohonan a quo.
11.3.      Bahwa Mahkamah Konstitusi sejak Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-III/2005 tanggal 11 Mei 2005 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11/PUU-V/2007 tanggal 20 September 2007 serta putusan-putusan selanjutnya berpendirian bahwa kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana dimaksud Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Mahkamah Konstitusi harus memenuhi lima syarat yaitu:
a. adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional  Pemohon yang diberikan UUD 1945;


b.    hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut oleh Pemohon dianggap dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian;
c.     kerugian hak dan/atau kewenangan konstitrusional tersebut harus bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
d.    adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian dimaksud dan berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian;
e.     adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi;

11.4.      Bahwa lima syarat sebagaimana dimaksud di atas dijelaskan lagi oleh Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 27/PUU-VII/2009 tanggal 16 Juni 2010 dalam pengujian formil Perubahan Kedua Undang-Undang Mahkamah Agung, yang menyebutkan sebagai berikut: "Dari praktik Mahkamah (2003-2009), perorangan WNI, terutama pembayar pajak (tax payer; vide Putusan Nomor 003/PUU-I/2003 tanggal 29 Oktober 2004) berbagai asosiasi dan NGO/LSM yang concern terhadap suatu Undang-Undang demi kepentingan publik, badan hukum, pemerintah daerah, lembaga negara, dan lain-lain, oleh Mahkamah dianggap memiliki legal standing untuk mengajukan permohonan pengujian, baik formil maupun materiil Undang-Undang terhadap UUD 1945. Pemohon sebagai perorangan warga negara Indonesia.
11.5.      Bahwa berkaitan dengan permohonan ini, para Pemohon menegaskan bahwa para Pemohon [bukti P-8, bukti P-8.a, bukti P-8.1, bukti P-8.1.a, bukti P-8.2, bukti P-8.2.a, bukti P-8.3, bukti P-8.3.a, bukti P-8.4, bukti P-8.4.a, bukti P-8.5, bukti P-8.5.a, bukti P-8.6, bukti P-8.6.a, bukti P-8.7, bukti P-8.7.a] memiliki hak-hak konstitusional yang diatur dalam UUD 1945, yaitu apabila dinyatakan sebagai setiap pribadi warga negara berhak untuk mendapatkan perlakuan sesuai dengan prinsip "perlindungan dari kesewenang-wenangan" sebagai konsekuensi dari dinyatakannya Negara Republik Indonesia sebagai negara hukum, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 dan hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan,


dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum, sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
11.6.      Bahwa para Pemohon adalah perorangan warga negara Indonesia sebagaimana dimaksud Pasal 51 ayat (1) huruf a UU MK yang hak-hak konstitusionalnya telah dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi Menjadi Undang-Undang.
11.7.      Bahwa para Pemohon merupakan warga negara Indonesia yang memiliki hak-hak yang dijamin konstitusi berupa hak-hak konstitusional untuk mendapatkan pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil, memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan, perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan hak asasi manusia, dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara dalam naungan negara hukum sebagaimana dimaksud Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28H ayat (2), Pasal 28I ayat (4), Pasal 28J ayat (1) UUD 1945.
Bahwa merujuk kepada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-III/2005 tanggal 31 Mei 2005 dan Putusan Nomor 11/PUU-V/2007 tanggal 20 September 2007 dan putusan-putusan selanjutnya, berpendirian bahwa kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana dimaksud Pasal 51 ayat (1) UU MK harus memenuhi 5 (lima) syarat sebagaimana yang telah diuraikan di atas, maka para Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk bertindak sebagai Pemohon dalam permohonan pengujian Undang-Undang a quo.
Bahwa UU 4/2014 akan memberi pengaruh terhadap penyelenggaraan kekuasaan kehakiman di lingkungan kekuasaan kehakiman, yang berujung pada hilangnya independensi kekuasaan kehakiman. Bilamana independensi kekuasaan kehakiman hilang, maka pada akhirnya juga berimplikasi pada hilangnya integiritas pelayanan jasa hukum yang melibatkan para advokat, sehingga kualitas pelayanan jasa hukum juga akan merosot dan pada akhirnya akan menghilangkan kepercayaan publik


terhadap penegakan hukum, termasuk proses hukum di Mahkamah Konstitusi.
Oleh karena itu, bila UU 4/2014 dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, maka para Pemohon tidak akan mengalami kerugian konstitusional di masa datang.
III. POKOK-POKOK PERMOHONAN III.A.    ALASAN FILOSOFIS
III.A.1. Bahwa keterkaitan hukum dengan dinamika sosial yang bergerak secara sentrifugal, maka dengan sendirinya hukumpun harus berkembang dan mengimbanginya pergerakannya secara sentripetal ke arah pembentukan nilai-nilai substantif yang berbanding lurus dengan dinamika sosial tersebut, dan hukum bukan sekedar kotak kosong (empty box) yang tanpa makna dan manfaat. Dalam tataran ini, maka hukum harus memiliki spirit nilai-nilai komunitas manusia yang bersukma keadilan, menjamin kepastian dan memiliki nilai kemanfaatan (Charles de Scondat, Baron de Montesquieu, 1914:152-154).Oleh karena itu, Hukum tidak sekedar dipahami sebagai norma yang menjamin kepastian dan keadilan tetapi juga harus dilihat dari perspektif kemanfaatan. (John Rawl, 2006:513-517)-Seperti halnya kajian Kelsen tentang hukum adalah norma hukum (the legal norm), elemen-elemennya, interelasinya, tatanan hukum secara keseluruhan strukturnya, hubungan tatanan hukum yang berbeda, dan kesatuan hukum dalam tatanan hukum positif yang majemuk. Realitas hukum adalah suatu fenomena yang lebih banyak dirancang sebagai "the positiveness of law",dan dalam hal ini Kelsen membedakan dengan jelas antara "empirical law and transcendental justice by excluding the letter from specific concerns." (Hans Kelsen, 1978: xiii - xiv).Hukum bukan manifestasi dari suatu "superhuman authority", tetapi merupakan suatu teknik sosial berdasarkan pengalaman manusia. Konsekuensinya, dasar suatu hukum atau "validitasnya" bukan dalam prinsip-prinsip meta juristik, tetapi dalam suatu hepotesis juristik, yakni suatu norma dasar yang ditetapkan oleh "a logical analysis of actual juristic thinking". Dengan demikian, Kelsen tidak berbicara tentang hukum sebagai kenyataan dalam praktek, tetapi hukum sebagai disiplin ilmu, yakni apa yang terjadi dengan hukum dalam praktek berbeda dengan apa yang dipelajari dalam ilmu


hukum, yang hanya mempelajari norma-norma hukum positif bukan aspek-aspek etis, politis, atau sosiologis yang dapat muncul dalam praktek hukum (Hans Kelsen, 1978:5). III.A.2. Bahwa oleh karena itu, lembaga peradilan sebagai perwujudan kekuasaan kehakiman (judicial power) hendaknya difungsikan sebagai:
a)      Katup penekan (Pressure value), yaitu bahwakewenangan yang diberikan oleh konstitusi dan undang-undang adalah untuk menekan setiap tindakan yang bertentangan dengan hukum dengan cara menghukum setiap pelanggaran yang dilakukan oleh siapapun dan oleh pihak manapun. Setiap pelanggaran tersebut adalah yang bersifat inkonstitusional, yang bertentangan dengan ketertiban umum (contrary to the public order); dan yang melanggar kepatutan (violation with the reasonableness);
b)      Senjata pamungkas (ultimum remedium), yaitu bahwa konstitusi dan Undang-Undang menempatkan badan-badan peradilan sebagai senjata pamungkas, di samping sebagai tempat terakhir (the last resort) untuk mencari dan menegakkan kebenaran dan keadilan. Hal ini berarti menutup adanya lembaga di luar pengadilan untuk mencari kebenaran dan keadilan;
c)      Penjaga kemerdekaan masyarakat (The Guardian of citizen's constitutional rights and human rights), yaitu bahwa lembaga peradilan harus mampu dan mengedapankan hak-hak konstitusional warga negara dan hak asasi manusia (to respect, to protect and to fullfil of human rights);
d)      Sebagai Wali Masyarakat (judiciary are regarded as costudian of society), yaitu bahwa badan-badan peradilan merupakan tempat perlindungan (protection) dan pemulihan kepada keadaan semula (restitio in integrum) bagi anggota masyarakat yang merasa teraniaya atau dirugikan kepentingannya atau diperkosa haknya baik oleh perorangan, kelompok bahkan oleh penguasa. Hal ini berarti lembaga peradilan berwenang memutus dan menentukan: apakah tindakan itu boleh dilakukan atau tidak; apakah tindakan/perbuatan yang boleh dilakukan itu telah melampaui batas atau tidak; dan menentukan apakah suatu perjanjian yang dibuat berdasar asas kebebasan


berkontrak (the freedom of contract principle) bertentangan dengan ketertiban umum atau kepatutan,
e)      Prinsip Hak Imunitas(Immunity Right) yaitu bahwa dalam menjalankan fungsi peradilan, maka lembaga peradilan oleh hukum diberikan hak immunitas (lihat Pasal 1365 BW dan SEMA Nomor 9 Tahun 1976 tanggal 16 Desember 1976), dan
f)       Putusan Pengadilan seperti Putusan Tuhan (Judicium Dei) yaitu bahwahal ini sebagai konsekuensi dari prinsip bebas dan mandiri yang diberikan konstitusi dan Undang-Undang kepada lembaga peradilan dan hakim. (Yahya Harahap, 2011:3-9)
III.A.3. Bahwa sebagaimana dikemukan oleh Gustav Radbruch bahwa jika hukum positifisinya tidak adil dan gagal untuk melindungi kepentingan rakyat, maka Undang-Undang seperti ini adalah cacat secara hukum dan tidak memiliki sifat hukum, sebab hukum itu pada prinsipnya untuk menegakkan keadilan. Dalam kalimat Radbruch, dikatakan bahwa, "The positive law, secured by legislation and power, takes precedence even when its content is unjust and fails to benefit the people, unless the conflict between statute and justice reaches such an intolerable degree that the statute, as 'flawed law', must yield to justice. It is impossible to draw sharper line between cases of statutory lawlessness and statutes that are valid despite their flaws. One line of distinction, however, can be drawn without most clarity: Where there is not even an attempt at justice, where equality, the core of justice, is deliberately betrayed in the issuance of positive law, then the statute is not merely 'flawed law', it lacks completely the very nature of law. For law, including positive law, cannot be otherwise defined than as a system and an institution whose very meaning is to serve justice. Measured by this standard, whole portions of National Socialist law never attained the dignity of valid law. (Statutory Lawlessness and Supra-Statutory Law (1946), Oxford Journal of Legal Studies, Vol. 26, No. 1 (2006), pp. 1-11, hal 7).Singkatnya, menurut Radbruch, peradilan yang adil harus memuat elemen kemanfaatan (utility) dan kepastian (certainty) untuk menjaga keseimbangan antara "thin concept" (procedural of rule of law) dengan "thick concept" (substantive rule of law). Elemen-elemen "the rule of law principles" menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), yaitu:


1)    supremacy of law (UN, 2006);
2)    equality before the law;
3)    accountability to the law;
4)    fairness in the application of the law;
5)    separation of power;
6)    legal certainty;
7)    avoidance of arbitrary;
8)    procedural of legal certainty;
Sebagai kritik yang acapkali dilontarkan terhadap terhadap kebijaksanaan adalah bahwa hal itu dapat mengakibatkan keputusan yang sewenang-wenang. "Di mana ada kebijaksanaan". Menurut Dicey hal tersebut selalu "terdapat ruang untuk kesewenang-wenangan" dan merupakan "A common criticism levelled against discretion is that it may result in arbitrary decisions. 'Wherever there is discretion', Dicey wrote, 'there is room for arbitrariness.'15 An arbitrary decision may be defined as one based upon improper criteria which do not relate in any rational way to the relevant goal. Thus 'the paradigm arbitrary decision', Jowell points out, 'is one based upon particularistic criteria such as friendship, or ascriptive criteria such as race, or upon caprice, whim, or prejudice.'(A. V. Dicey, Introduction to the Study of the Law of the Constitution (10th edn., 1964), 188. Oleh karena itu sebuah keputusan sewenang-wenang dapat didefinisikan sebagai salah satu berdasarkan kriteria yang tidak benar, tidak diputus dengan cara yang rasional sesuai dengan tujuannya, karena tidak jarang keputusan sewenang-wenang timbul dari paradigma, berdasarkan kriteria partikularistik seperti persahabatan, atau kriteria askriptif seperti ras, atau prasangka.
III.A.4. Bahwa secara yuridis Undang-Undang Dasar Tahun 1945 memberikan jaminan semua warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan sebagaimana ditegaskan oleh Pasal 1 ayat (3), Pasal 27 ayat (1) dan 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945.
III.B.    ALASAN SUBSTANTIF
III.B.1. Dari sudut materiil, substansi yang diatur dalam UU 4/2014, yang menurut para Pemohon dianggap telah bertentangan dengan Undang-Undang


Dasar  1945  pada  pokoknya  menyangkut  tiga  hal   utama, yaitu:
(a)         Penambahan   persyaratan   untuk   menjadi   hakim konstitusi;
(b)      Memperjelas mekanisme proses seleksi dan pengajuan hakim konstitusi; dan (c) Perbaikan sistem pengawasan hakim konstitusi.
III.B.2. Bahwa UU 4/2014 yang mengatur tentang "syarat hakim konstitusi", sesuai Pasal 15 ayat (2) huruf i ditambah, "tidak menjadi anggota partai politik dalam jangka waktu paling singkat 7 (tujuh) tahun sebelum diajukan sebagai calon hakim konstitusi", adalah bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945.
III.B.3. Bahwa UU 4/2014 yang mengatur tentang mekanisme proses seleksi dan pengajuan hakim konstitusi sehingga, sebelum ditetapkan oleh Presiden, pengajuan calon hakim konstitusi oleh MA, DPR dan/atau Presiden, terlebih dahulu dilakukan proses uji kelayakan dan kepatutan yang dilaksanakan oleh Panel Ahli yang dibentuk oleh Komisi Yudisial. Panel Ahli beranggotakan tujuh orang yang terdiri dari:
a.     Satu orang diusulkan oleh MA;
b.    Satu orang diusulkan oleh DPR;
c.     Satu orang diusulkan oleh Presiden; dan
d.    Empat orang dipilih oleh Komisi Yudisial berdasarkan usulan masyarakat yang terdiri atas mantan hakim konstitusi, tokoh masyarakat, akademisi di bidang hukum, dan praktisi hukum.
adalah bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945.
Bahwa dengan merujuk pada "original intent" teks konstitusi, maka pola
rekruitmen "Panel Ahli" tersebut bertentangan dengan UUD 1945, karena
UUD 1945 tidak mengamanatkan pengajuan calon hakim konstitusi melalui
Komisi Yudisial, melainkan diajukan masing-masing 3 (tiga) orang calon
hakim konstitusi dari DPR, Presiden dan Mahkamah Agung.
Pasal 24C ayat (3) UUD 1945 mengatakan:
"Mahkamah Konstitusi mempunyai sembilan orang hakim anggota hakim konstitusi yang ditetapkan oleh Presiden, yang diajukan masing-masing tiga orang oleh Mahkamah Agung, tiga orang oleh Dewan Perwakilan Rakyat, dan tiga orang oleh Presiden."
Perubahan pola rekruitmen calon hakim konstitusi tersebut juga menjadikan Komisi Yudisial telah memperluas kewenangannya dengan


mengambil alih kewenangan lembaga Presiden, DPR dan Mahkamah Agung dalam mekanisme pengajukan calon hakim konstitusi. Perubahan pola rekruitmen calon hakim konstitusi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang a quo jelas bertentangan dengan UUD dan merusak sistem konstitusi kita. Mahkamah Konstitusi harus konsisten menolak penyimpangan konstitusi tersebut sebagaimana diperlihatkan dengan putusan yang menolak permohonan pengujian UU Pilpres hendak maksud untuk membuka jalan bagi calon presiden dari jalur perseorangan beberapa waktu lalu. Oleh karena itu, sangat berasalan menurut hukum para Pemohon memohon kepada Mahkamah Konstitusi untuk menyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat Undang-Undang a quo. III.B.4. Bahwa UU 4/2014 yang mengatur tentang sistem pengawasan yang dilakukan dengan membentuk Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi (MKHK) yang sifatnya permanen, yang dibentuk bersama oleh Komisi Yudisial dan MK dengan susunan keanggotaan lima orang terdiri dari:
a.     satu orang mantan hakim konstitusi;
b.    satu orang praktisi hukum;
c.     dua orang akademisi yang salah satu atau keduanya berlatar belakang di bidang hukum; dan
d.    satu orang tokoh masyarakat.
Dan untuk mengelola dan membantu administrasi MKHK dibentuk sekretariat yang berkedudukan di KY, adalah bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945.
III.B.5. Bahwa UU 4/2014 dikeluarkan dengan menyinggung setidaknya lembaga-lembaga negara lain berikut ini, yaitu Mahkamah Konstitusi, Komisi Yudisial, Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat, Kekuasaan Kehakiman, dan Mahkamah Agung, akan tetapi pada bagian "Mengingat" hanya menjadikan "Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi [Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226]. Seharusnya bagian "Mengingat" Perpu Nomor 1 Tahun 2013 juga mencantumkan peraturan perundang-undangan yang


mengatur Komisi Yudisial, Dewan Perwakilan Rakyat, Mahkamah Agung dan Kekuasaan Kehakiman, yaitu Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial; Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung juncto Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung; Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
III.B.6. Bahwa sekalipun UU 4/2014 menyinggung lembaga-lembaga negara lain dimaksud, tetapi UU 4/2014 tidak sedikit pun membahas Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial; Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung juncto Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung; Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
III.B.7. Bahwa UU 4/2014 telah memperbesar kewenangan Komisi Yudisial dengan turut menyeleksi calon-calon hakim Mahkamah Konstitusi dengan serta merta mengurangi kewenangan Mahkamah Agung, Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden terkait pengajuan calon hakim konstitusi dari lembaga-lembaga negara tanpa mengubah Undang-Undang yang mengatur Komisi Yudisial. Bahwa Undang-Undang a quo juga telah memperbesar kewenangan Komisi Yudisial dengan turut, melakukan pengawasan terhadap hakim-hakim Mahkamah Konstitusi tanpa sedikitpun melakukan perubahan terhadap Undang-Undang yang mengatur Komisi Yudisial, yaitu Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial.
III.B.8. Dengan adanya Undang-Undang a quo, maka para Pemohon mengalami ketidakpastian hukum sebagai seorang warga negara dan terlanggar hak-haknya untuk mendapatkan kepastian hukum sebagaimana dijamin dalam UUD 1945. Undang-Undang a quo melanggar UUD 1945, yaitu: 1) Pasal 1 ayat (3), "Negara Indonesia adalah negara hukum";


Bahwa salah satu muatan cita "negara hukum" adalah pemerintahan
dijalankan berdasarkan atas hukum. 2) Pasal 28D ayat (1), "Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan,
perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang
sama di hadapan hukum." Bahwa untuk memperkuat dalil-dalil yang para Pemohon kemukakan di atas, dalam pemeriksaan perkara ini, para Pemohon selain mengajukan bukti-bukti, juga akan menghadirkan ahli-ahli untuk memperkuat dalil-dalil permohonan a quo.
IV. PETITUM
Berdasarkan seluruh dalil-dalil yang diuraikan di atas dan bukti-bukti terlampir, serta keterangan para ahli yang akan didengar dalam pemeriksaan perkara, dengan ini para Pemohon mohon kepada Majelis Hakim Konstitusi agar berkenan memberikan putusan sebagai berikut:
1.       Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk seluruhnya;
2.       Menyatakan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2014 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi Menjadi Undang-Undang bertentangan dengan UUD 1945;
3.       Menyatakan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2014 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi Menjadi Undang-Undang tidak memiliki kekuatan hukum mengikat;
4.       Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya.
Atau, apabila Majelis Hakim Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono)

[2.2]     Menimbang bahwa para Pemohon II telah mengajukan permohonan
yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah dan telah dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi dengan Nomor 2/PUU-XII/2014 pada tanggal 8 Januari 2014, yang telah diperbaiki dengan permohonan yang diterima Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 28 Januari 2014, serta diperbaiki kembali dengan perbaikan


permohonan kedua yang diterima Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 3 Februari 2014, yang pada pokoknya sebagai berikut:
A.      Kewenangan Mahkamah Konstitusi

1.      Bahwa berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 juncto Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Konstitusi berwenang memeriksa dan mengadili dalam tingkat pertama dan terakhir perkara pengujian Undang-Undang terhadap UUD
1945;
2.      Bahwa oleh karena objek permohonan pengujian ini adalah materi muatan dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5456, selanjutnya disebut UU 4/2014) maka Mahkamah Konstitusi berwenang untuk memeriksa dan mengadili permohonan pengujian ini;
B.      Kedudukan Hukum {Legal Standing) Para Pemohon

a)        Bahwa para Pemohon adalah dosen yang mengabdikan diri untuk menjadi pendidik di Fakultas Hukum Universitas Jember, selama ini melakukan proses pembelajaran berdasarkan jenjang pendidikan sarjana, magister, dan doktor sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi (selanjutnya disebut UU 12/2012), menyatakan Pendidikan Tinggi adalah jenjang pendidikan setelah pendidikan menengah yang mencakup program diploma, program sarjana, program magister, program doktor, dan program profesi, serta program spesialis, yang diselenggarakan oleh perguruan tinggi berdasarkan kebudayaan bangsa Indonesia;
b)       Bahwa dalam sistem pendidikan nasional secara hukum ditegaskan bahwa penjenjangan pendidikan tersebut dilakukan untuk menunjukkan kualifikasi dan kemampuan peserta didik, dosen dan kelembagaan lembaga pendidikan dimaksud. Kualifikasi dan kompetensi dari penjenjangan tersebut setidaknya dalam proses pembelajaran sampai kewenangan evaluasi. Sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 18 ayat (3)


UU 12/2012 yang menyatakan, "Program sarjana wajib memiliki dosen yang berkualifikasi akademik minimum lulusan program magister atau sederajat."; juga sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 19 ayat (3) UU 12/2012 yang menyatakan, "Program magister wajib memiliki dosen yang berkualifikasi akademik lulusan program doktor atau yang sederajat."; juga sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 20 ayat (3) UU 12/2012 yang menyatakan, "Program doktor wajib memiliki Dosen yang berkualifikasi akademik lulusan program doktor atau yang sederajat." Berdasarkan ketentuan hukum dimaksud jelas penjenjangan pendidikan adalah menunjukkan "pengakuan" tentang kualifikasi pendidikan yang harus dilindungi dan dihormati kepastian hukumnya;
c)      Bahwa konstitusi secara tegas menjamin atas kepastian hukum dan
selanjutnya menjadi hak konstitusional setiap warga negara termasuk
para Pemohon sebagaimana ditegaskan dalam:
a.      Pasal 28C ayat (1) UUD 1945, para Pemohon memiliki hak konstitusional untuk mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia;
b.      Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, para Pemohon memiliki hak konstitusional untuk mendapatkan pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta hak konstitusional untuk mendapatkan perlakuan yang sama di depan hukum;
d)     Bahwa para Pemohon merasa dirugikan secara konstitusional atau pasti
mengalami potensi kerugian karena hak-hak konstitusional para
Pemohon sebagai pendidik atas adanya ketentuan/norma dalam UU
4/2014, yaitu dalam Pasal 18A ayat (1) menyatakan,
"Hakim konstitusi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) sebelum ditetapkan
Presiden, terlebih dahulu harus melalui uji kelayakan dan kepatutan yang
dilaksanakan oleh Panel Ahli.";
Syarat untuk menjadi "Panel Ahli" dalam Pasal 18C ayat (3) dinyatakan sebagai berikut:
Panel Ahli harus memenuhi syarat sebagai berikut:


a.      memiliki reputasi dan rekam jejak yang tidak tercela;
b.      memiliki kredibilitas dan integritas;
c.      menguasai ilmu hukum dan memahami Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
d.      berpendidikan paling rendah magister;
sementara syarat calon hakim Mahkamah Konstitusi sebagaimana diatur dalam Pasal 15 dinyatakan sebagai berikut:
Untuk dapat diangkat menjadi hakim konstitusi, selain harus memenuhi syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), seorang calon hakim konstitusi harus memenuhi syarat:
a.      warga negara Indonesia;
b.      berijazah doktor dengan dasar sarjana yang berlatar belakang pendidikan tinggi hukum;
e) Bahwa berdasarkan ketentuan dalam UU 4/2014 ini, secara hukum berarti memberikan kewenangan kepada "Panel Ahli" yang berpendidikan magister untuk menguji calon Hakim Mahkamah Konstitusi yang bergelar doktor. Ketentuan ini jelas menginjak-nginjak dan tidak menghargai secara hukum sistem penjenjangan pendidikan nasional. Atas dasar tersebut para Pemohon merasa tidak dihormati hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukumnya sebagaimana diatur dalam Pasal 28D UUD 1945. Karenanya para Pemohon merasa dirugikan hak-hak konstitusionalnya sebagai warga negara yang menegakkan sistem pendidikan nasional; C. Alasan Permohonan
1.   Kewenangan Komisi Yudisial
a) Bahwa kewenangan Komisi Yudisial sebagaimana dimandatkan dalam konstitusi Pasal 24B UUD 1945 ditegaskan:
(1)       Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.
(2)       Anggota Komisi Yudisial harus mempunyai pengetahuan dan pengalaman di bidang hukum serta memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela.


(3)       Anggota  Komisi Yudisial  diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
(4)       Susunan, kedudukan, dan keanggotaan Komisi Yudisial diatur dengan undang-undang.
b) Bahwa dalam Pasal 18A ayat (1) UU 4/2014 dinyatakan bahwa uji kelayakan calon Hakim Mahkamah Konstitusi dilakukan oleh Panel Ahli, sementara Panel Ahli dibentuk oleh Komisi Yudisial. Ini menunjukkan bahwa Komisi Yudisial diberi kewenangan oleh UU 4/2014 ini di luar/tidak diatur oleh UUD 1945, sehingga secara tegas dapat dikatakan Undang-Undang ini telah merubah secara nyata Konstitusi UUD 1945 yaitu memberikan kewenangan baru kepada Komisi Yudisial yang tidak diatur dalam konstitusi. 2.   Komposisi Anggota Panel Ahli.
a.  Bahwa dalam Pasal 18C UU 4/2014 dinyatakan bahwa:
Pasal 18C
Panel Ahli sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18A ayat (1)
berjumlah 7 (tujuh) orang Panel Ahli terdiri atas:
a.      1 (satu) orang diusulkan oleh Mahkamah Agung;
b.      1(satu) orang diusulkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia;
c.      1 (satu) orang diusulkan oleh Presiden; dan
d.      4 (empat) orang dipilih oleh Komisi Yudisial berdasarkan usulan masyarakat yang terdiri atas mantan hakim konstitusi, tokoh masyarakat, akademisi di bidang hukum, dan praktisi hukum.
bagaimanapun dalam sistem hukum ketatanegaraan yang demokratis komposisi adalah menunjukkan kekuatan dan kewenangan. Sehingga secara hukum dapat dipandang bahwa komposisi 4 orang dari Komisi Yudisial, dibandingkan 1 dari Mahkamah Agung, 1 dari Dewan Perwakilan Rakyat dan 1 dari Presiden, Hal ini secara tegas dan eksplisit hendak menyatakan bahwa kewenangan dalam uji kelayakan calon hakim Mahkamah Konstitusi adalah ditangan Komisi Yudisial atau setidaknya dapat dinilai lebih besar kewenangannya pada Komisi


Yudisial dibanding wewenang Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat dan Mahkamah Agung dalam meiakukan uji kelayakan calon Hakim Mahkamah Konstitusi. Norma ini kembali hendak menyatakan bahwa Komisi Yudisial diberi kewenangan oleh Undang-Undang ini yang tidak diatur oleh UUD 1945 yaitu dalam meiakukan uji kelayakan calon Hakim Mahkamah Konstitusi. Sehingga secara tegas dapat dikatakan Undang-Undang ini telah merubah secara nyata UUD 1945 yaitu dengan memberikan kewenangan baru kepada kelembagaan negara yang tidak diatur dalam konstitusi. 3.   Kedudukan Komisi Yudisial sebagai the auxiliary state body
a)    Bahwa UUD 1945 pasca amandemen sebagaimana risalah perubahan
UUD 1945 sebagai proses reformasi dan jurisprudensi Mahkamah
Konstitusi dalam Perkara Pengujian Undang-Undang Komisi Yudisial
(Nomor 005/PUU-IV/2006), membagi kategori lembaga negara dalam
dua kategori yaitu:
a.      Lembaga negara pemangku tugas utama ketatanegaraan;
b.      Lembaga negara supporting body;
Bahwa lembaga negara pemangku tugas utama ketatanegaraan adalah Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Majelis Permusyawaratan Rakyat, BPK, Mahkamah Agung, dan Mahkamah Konstitusi.
Bahwa Komisi Yudisial adalah lembaga negara yang bersifat pelengkap atau penunjang (the auxiliary state body atau the supporting state body) dari pemegang kekuasaan kehakiman dalam hal ini Mahkamah Agung. Mengenai hal ini dapat diperiksa Yurisprudensi Mahkamah Konstitusi dalam Perkara Pengujian Undang-Undang Komisi Yudisial (Nomor 005/PUU-IV/2006), sehingga posisi kelembagaan Komisi Yudisial bukan merupakan lembaga negara yang setara atau sederajat dengan lembaga negara utama (main state body), yaitu: Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Majelis Permusyawaratan Rakyat, BPK, Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi.
b)    Bahwa kedudukan Komisi Yudisial dalam struktur ketatanegaraan
sebagai supporting sistem untuk mengusulkan, mengawasi, menjaga


harkat dan keluhuran martabat hakim Mahkamah Agung, maka menjadi tidak logisAidak memiliki dasar hukum yang sah apabila Komisi Yudisial oleh UU 4/2014 diposisikan sebagai poros kekuasaan baru di luar poros kekuasaan eksekutif (Presiden), poros kekuasaan legislatif (Dewan Perwakilan Rakyat), dan poros kekuasaan yudikatif (MA) yang ikut menentukan proses seleksi hakim konstitusi dengan kewenangannya membentuk Panel Ahli, dan diposisikan dalam komposisi yang paling berwenang.
c) Bahwa berdasarkan alasan tersebut di atas, maka Panel Ahli yang dibentuk oleh Komisi Yudisial itu jelas merupakan lembaga yang bertentangan dengan Pasal 24C ayat (3) UUD 1945 yang mengatur bahwa, "Mahkamah Konstitusi mempunyai sembilan orang anggota hakim konstitusi yang ditetapkan oleh Presiden, yang diajukan masing-masing tiga orang oleh Mahkamah Agung, tiga orang oleh Dewan Perwakilan Rakyat, dan tiga orang oleh Presiden". Bahwa Pembentukan Panel Ahli yang inkonstitusional itu dapat menjadi preseden buruk dalam praktik penyelenggaraan negara yang apabila dibiarkan terus berjalan berpotensi mendekonstruksi prinsip supremasi konstitusi atau Undang-Undang Dasar sebagai hukum dasar yang tertinggi dalam penyelenggaraan negara, sehingga para Pemohon beranggapan, bahwa pembentukan Panel Ahli a quo merupakan bentuk penyimpangan kekuasaan terhadap konstitusi atau UUD yang dilakukan secara sistemik dan terstruktur melalui proses legislasi. Sehingga secara tegas dapat dikatakan Undang-Undang ini telah merubah dan menyimpangi secara nyata Konstitusi UUD 1945 yaitu memberikan kewenangan baru kepada kelembagaan negara yang tidak diatur dalam konstitusi. 4.   Kualifikasi  Panel Ahli tidak Iogis menguji kelayakan calon Hakim
Mahkamah Konstitusi.
a) Bahwa untuk diangkat sebagai sebagai Panel Ahli yang akan dibentuk oleh Komisi Yudisial harus memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam Pasal 18C ayat (3) UU 4/2014 yaitu: Panel Ahli harus memenuhi syarat sebagai berikut: a. memiliki reputasi dan rekam jejak yang tidak tercela;


b.   memiliki kredibilitas dan integritas;
c.   menguasai   ilmu   hukum   dan   memahami Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
d.   berpendidikan paling rendah magister;
e.   berusia paling rendah 50 (iima puluh) tahun; dan
f.    tidak menjadi anggota partai politik daiam jangka waktu paling
singkat 5 (lima) tahun sebelum Panel Ahli dibentuk. b) Bahwa sementara itu calon hakim Mahkamah Konstitusi yang akan menjadi subyek yang akan diseleksi/diuji kelayakannya oleh Panel Ahli tersebut, sebagaimana dimaksud Pasal 15 UU 4/2014, yaitu:
Pasal 15
(1)   Hakim konstitusi harus memenuhi syarat sebagai berikut:

a.     memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela;
b.     adil; dan
c.     negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan.
(2)   Untuk dapat diangkat menjadi hakim konstitusi, selain harus memenuhi syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), seorang calon hakim konstitusi harus memenuhi syarat:

a.     warga negara Indonesia;
b.     berijazah doktor dengan dasar sarjana yang berlatar belakang pendidikan tinggi hukum;
c.     bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berakhlak mulia;
d.     berusia paling rendah 47 (empat puluh tujuh) tahun dan paling tinggi 65 (enam puluh lima) tahun pada saat pengangkatan;
e.     mampu secara jasmani dan rohani dalam menjalankan tugas dan kewajiban;
f.      tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap;
g.     tidak   sedang   dinyatakan   pailit   berdasarkan putusan pengadilan;
h.     mempunyai pengalaman kerja di bidang hukum paling sedikit 15 (lima belas) tahun; dan


i. tidak menjadi anggota partai politik dalam jangka waktu paling singkat 7 (tujuh) tahun sebelum diajukan sebagai calon hakim konstitusi.
c) Bahwa berdasarkan perbandingan persyaratan untuk menjadi anggota Panel Ahli yang nantinya akan melakukan uji kelayakan terhadap calon hakim Mahkamah Konstitusi sebagaimana diatur dalam UU 4/2014 itu, terlihat secara tegas bahwa ternyata syarat untuk menjadi panel ahli yang akan melakukan uji kelayakan jauh di bawah kualifikasi subyek hukum yang akan dilakukan uji kelayakannya, hal ini dapat Pemohon



Text Box: bandingkan yaitu:
 Syarat Panel Ahli 
a. memiliki reputasi dan rekam jejak yang tidak tercela; memiliki kredibilitas dan integritas; menguasai    ilmu    hukum dan memahami Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945;
berpendidikan paling rendah magister;
berusia paling rendah 50 (lima puluh) tahun; dan
tidak menjadi anggota partai politik dalam jangka waktu paling singkat 5 (lima) tahun sebelum Panel Ahli dibentuk.

Syarat Hakim Mahkamah Konstitusi
a. memiliki integritas dan kepribadian
yang tidak tercela;
b.    adil; dan
c.     negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan.
d.    warga negara Indonesia;
e.     berijazah doktor dengan dasar sarjana yang berlatar belakang pendidikan tinggi hukum;
f.     bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berakhlak mulia;
g.    berusia paling rendah 47 (empat puluh tujuh) tahun dan paling tinggi 65 (enam puluh lima) tahun pada saat pengangkatan;
h.    mampu secara jasmani dan rohani
dalam menjalankan tugas dan
kewajiban;
i.     tidak pernah dijatuhi pidana penjara
berdasarkan putusan pengadilan
yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap;
j.   tidak   sedang   dinyatakan pailit
berdasarkan putusan pengadilan;
k. mempunyai pengalaman kerja di
bidang hukum paling sedikit 15 (lima
belas) tahun; dan
l. tidak menjadi anggota partai politik
dalam jangka waktu paling singkat 7
(tujuh) tahun sebelum diajukan
sebagai calon hakim konstitusi.______________
d) Bahwa berdasarkan perbandingan syarat antara Panel Ahli yang akan
melakukan  uji  kelayakan  dengan  hakim  Mahkamah Konstitusi,
menunjukkan bahwa syarat calon Panel Ahli sangatlah jauh di bawah


kualifikasi calon Hakim Mahkamah Konstitusi, setidaknya ada beberapa syarat yaitu:
a.     Calon Hakim Mahkamah Konstitusi harus negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan, sementara Panel Ahli tidak;
b.    Calon Hakim Mahkamah Konstitusi berijazah doktor sementara panel ahli hanya berpendidikan magister;
c.     Calon Hakim Mahkamah Konstitusi tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, sementara Panel Ahli tidak;
d.    Calon hakim Mahkamah Konstitusi tidak sedang dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan, sementara Panel Ahli tidak;
e.     Calon hakim Mahkamah Konstitusi mempunyai pengalaman kerja di bidang hukum paling sedikit 15 (lima belas) tahun, sementara Panel Ahli tidak;
f.     Calon hakim Mahkamah Konstitusi tidak menjadi anggota partai politik dalam jangka waktu paling singkat 7 (tujuh) tahun sebelum diajukan, sementara Panel Ahli hanya 5 tahun sebelumnya;
g.    Bahwa berdasarkan hal tersebut, ketentuan persyaratan calon Panel Ahli yang di bawah syarat calon hakim Mahkamah Konstitusi sangatlah tidak Iogis akan dapat memenuhi harapan akan menghasilkan hakim Mahkamah Konstitusi yang akan berkualitas. Oleh karena itu bagaimana mungkin ada ketentuan yang mengatur "penguji kelayakan" di bawah kualifikasi "yang akan diuji kelayakannya".
e) Bahwa merupakan hukum, dalam sistem pendidikan nasional, pendidikan dilakukan secara berjenjang dan karenanya setiap jenjang memiliki kualifikasi dan kompetensi tertentu. Kualifikasi dan kompetensi dari penjenjangan tersebut setidaknya tertuang dalam proses pembelajaran sampai dengan evaluasi. Hal ini ditegaskan sebagaimana dalam Pasal 18 ayat (3) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi yang menyatakan, "Program sarjana wajib memiliki dosen yang berkualifikasi akademik minimum lulusan program magister atau sederajat."


Selanjutnya ditegaskan pula dalam Pasal 19 ayat (3) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi yang menyatakan, "Program magister wajib memiliki dosen yang berkualifikasi akademik lulusan program doktor atau yang sederajat."
Juga sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 20 ayat (3) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi yang menyatakan, "Program doktor wajib memiliki dosen yang berkualifikasi akademik lulusan program doktor atau yang sederajat."
f)       Bahwa konstitusi secara tegas menjamin kepastian hukum dan selanjutnya menjadi hak konstitusional setiap warga negara termasuk para Pemohon sebagaimana ditegaskan dalam:
Pasal 28C ayat (1) UUD 1945, para Pemohon memiliki hak konstitusional untuk mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia;
Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, para Pemohon memiliki hak konstitusional untuk mendapatkan pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta hak konstitusional untuk mendapatkan perlakuan yang sama di depan hukum;
g)      Bahwa oleh karena itu adanya norma dalam UU 4/2014 yaitu dalam Pasal 18A ayat (1) yang menyatakan, "Hakim konstitusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) sebelum ditetapkan Presiden, terlebih dahulu harus melalui uji kelayakan dan kepatutan yang dilaksanakan oleh Panel Ahli.";
Sementara Panel Ahli yang akan melakukan uji kelayakan dan kepatutan dimungkinkan berpendidikan magister, padahal yang akan diuji berpendidikan Doktor, ketentuan ini jelas secara nyata tidak "mengakui, menjamin, melindungi dan memberikan kepastian hukum" bahkan mengacaukan dan merusak sistem hukum pendidikan nasional yang seharusnya mengakui, melindungi memberikan kepastian hukum, berdasarkan Pasal 28C ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945;


Oleh karena itu berdasarkan alasan tersebut norma Pasal 18A UU 4/2014 bertentangan dan melanggar hak konstitusional warga negara Indonesia sebagaimana diatur dalam Pasal 28C ayat (1) dan Pasal 28D ayat(1) UUD 1945. 5.   Pembentukan Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi (MKHK).
a.     Bahwa dalam Pasal 27A ayat (4) UU 4/2014, menyatakan:
Pasal 27A
(1) Mahkamah Konstitusi bersama-sama dengan Komisi Yudisial menyusun dan menetapkan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim Konstitusi yang berisi norma yang harus dipatuhi oleh setiap hakim konstitusi dalam menjalankan tugasnya untuk menjaga kehormatan dan perilaku hakim konstitusi.
Bahwa ketentuan tersebut jelas memberikan kewenangan lain selain
dari kewenangan yang dimandatkan oleh konstitusi UUD 1945 Pasal
24B yang menyatakan:
(1)     Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.
(2)     Anggota Komisi Yudisial harus mempunyai pengetahuan dan pengalaman di bidang hukum serta memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela.
(3)     Anggota Komisi Yudisial diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
(4)     Susunan, kedudukan, dan keanggotaan Komisi Yudisial diatur dengan undang-undang.
b.    Berdasarkan Pasal 24B UUD 1945 tersebut di atas jelas, kewenangan Komisi Yudisial adalah untuk: mengusulkan pengangkatan hakim agung, dan wewenang lain dalam menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim; Berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi dalam Perkara Pengujian Undang-Undang Komisi Yudisial (Nomor 005/PUU-IV/2006), hakim dimaksud dalam pasal 24B UUD 1945 adalah Hakim Agung pada Mahkamah Agung dan tidak termasuk Hakim Mahkamah Konstitusi.


Oleh karena itu jelas, norma Pasal 27A ayat (4) UU 4/2014 bertentangan dengan Pasal 24B UUD 1945. D. Permohonan
Maka berdasarkan uraian tersebut di atas, para Pemohon memohon kepada Mahkamah Konstitusi, kiranya berkenan untuk memeriksa dan selanjutnya memutuskan:
(1)     Mengabulkan permohonan para Pemohon seluruhnya;
(2)     Menyatakan Pasal 18A ayat (1), Pasal 18B, Pasal 18C ayat (3), dan Pasal 27A ayat (1) dan ayat (4) dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5456) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
(3)     Menyatakan Pasal 18A ayat (1), Pasal 18B, Pasal 18C ayat (3) dan Pasal 27A ayat (1) dan ayat (4) dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5456) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
(4)     Memerintahkan agar putusan perkara a quo oleh Mahkamah Konstitusi dicantumkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Atau apabila majelis Hakim Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan seadil-adilnya.

[2.3]     Menimbang bahwa untuk membuktikan dalil-dalilnya, para Pemohon I
mengajukan alat bukti surat atau tertulis, yang diberi tanda bukti P-1 sampai dengan bukti P-8.7.a, sebagai berikut:
1.    Bukti P-1        :  Fotokopi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 tentang
Penetapan  Peraturan  Pemerintah  Pengganti Undang-


2.
3.





Bukti P-2
4.


Bukti P-3
5.


Bukti P-4
6.




Bukti P-5


Bukti P-6
7.         Bukti P-7
8.         Bukti P-8
9.         Bukti P-8.a
10.       Bukti P-8.1
11.       Bukti P-8.2
12.       Bukti P-8.2.a
13.       Bukti P-8.3
14.       Bukti P-8.3.a
15.       Bukti P-8.4
16.       Bukti P-8.4.a


Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi Menjadi Undang-Undang; Fotokopi   Undang-Undang   Dasar   Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Fotokopi Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi;
Fotokopi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi;
Fotokopi Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman;
Fotokopi Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi; Fotokopi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan; Fotokopi Kartu Tanda Penduduk atas nama A. Muhammad Asrun;
Fotokopi Kartu Tanda Pengenal Advokat atas nama A. Muhammad Asrun;
Fotokopi Nomor Pokok Wajib Pajak atas nama Heru Widodo;
Fotokopi Kartu Tanda Penduduk atas nama Samsul Huda; Fotokopi Nomor Pokok Wajib Pajak atas nama Samsul Huda;
Fotokopi Kartu Tanda Penduduk atas nama Dorel Almir; Fotokopi Kartu Tanda Pengenal Advokat atas nama Dorel Almir;
Fotokopi Kartu Tanda Penduduk atas nama Daniel Tonapa Masiku;
Fotokopi Nomor Pokok Wajib Pajak atas nama Daniel Tonapa Masiku;


17.       Bukti P-8.5     :  Fotokopi Kartu Tanda Penduduk atas nama Samsudin;
18.       Bukti P-8.5.a   :  Fotokopi Nomor Pokok Wajib Pajak atas nama Samsudin;
19.       Bukti P-8.6     :  Fotokopi Kartu Tanda Penduduk atas nama Dhimas
Pradana;
20.       Bukti P-8.6.a   :  Fotokopi Kartu Tanda Pengenal Advokat atas nama
Dhimas Pradana
21.       Bukti P-8.7      :  Fotokopi Kartu Tanda Penduduk atas nama Aan Sukirman;
22.       Bukti P-8.7.a   :  Fotokopi Kartu Tanda Pengenal Advokat atas nama Aan
Sukirman;
Selain itu, para Pemohon I juga mengajukan seorang Ahli, yang telah memberikan keterangan pada persidangan tanggal 4 Februari 2014 yang pada pokoknya menerangkan sebagai berikut: AHLI PARA PEMOHON I Prof. H.A.S Natabaya, S.H., LL.M
1.      Menurut UUD 1945 Perpu harus dikeluarkan dalam keadaa yang genting dan memaksa, sebagaimana Penjelasan Pasal 22 UUD 1945 bahwa Pasal ini mengenai nood verordeningsrecht president, aturan sebagian ini memang perlu diadakan agar supaya keselamatan negara dijamin oleh Pemerintah dalam keadaan yang genting yang memaksa pemerintah untuk bertindak cepat, bertindak lekas dan tepat.
2.      Tidak terlihat dalam konsideran UU 4/2014 bahwa ada keadaan yang genting dan memaksa sehingga Presiden berhak mengeluarkan Perpu;
3.      Dalam konsideran "menimbang" dicantumkan pasal, hal ini bukan merupakan hal yang lazim;
4.      Mengenai kedudukan Komisi Yudisial yang diberi kewenangnan untuk membentuk Panel Ahli, merupakan ketentuan yang mengambil alih kewenangan yang diatur dalam Pasal 24C UUD 1945 yang menetapkan bahwa sembilan Hakim Konstitusi diajukan masing-masing tiga orang, oleh Presiden, Mahkamah Agung, dan Dewan Perwakilan Rakyat. Pasal 24A ayat (3) UUD 1945 menetapkan bahwa Calon Hakim Agung ditetapkan oleh Komisi Yudisial, sehingga kewenangan KY hanya mengusulkan calon Hakim Agung, tidak termasuk Hakim Konstitusi;


5.      Mekanisme masing-masing lembaga negara untuk memilih Hakim Konstitusi yang akan diajukan dapat diatur oleh masing-masing lembaga negara tersebut;
6.      Pasal 24B UUD 1945 juga menyatakan bahwa KY berwenang menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran, martabat dan perilaku Hakim Agung, dan ketentuan ini ditegaskan oleh Mahkamah Konstitusi dalam putusannya, bahwa kedudukan KY tidak ada kaitannya sama sekali dengan Mahkamah Konstitusi;
7.      Dalam Pasal 87B ayat (2) Perpu 1/2013 disebutkan bahwa Peraturan Pelaksana dari Perpu harus ditetapkan paling lama tiga bulan, terhitung sejak Perpu diundangkan, menjadi pertanyaan peraturan seperti apa yang akan ditetapkan sebagai peraturan pelaksana. Ketentuan Pasal 87B ayat (3) Perpu 1/2013 semakin janggal karena menetapkan bahwa jika dalam tiga bulan peraturan pelaksana tidak terbentuk, maka pembentukan Panel Ahli, dan Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi dilaksanakan oleh KY;
8.      Peristiwa penangkapan mantan Ketua Mahkamah Konstitusi bukan merupakan peristiwa kegentingan yang memaksa, karena Mahkamah tetap dapat menjalankan kewenangannya.

[2.4]     Menimbang bahwa untuk membuktikan dalil-dalilnya, para Pemohon II
mengajukan alat bukti surat atau tertulis, yang diberi tanda bukti P-2.1 sampai dengan bukti P-2.2, sebagai berikut:
1.         Bukti P-2.1      :  Fotokopi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi Menjadi Undang-Undang;
2.         Bukti P-2.2      :  Fotokopi   Undang-Undang   Dasar   Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
Selain itu, para Pemohon II juga mengajukan dua orang ahli, yang telah memberikan keterangan tertulis yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 7 Februari 2014 yang pada pokoknya menerangkan sebagai berikut:


AHLI PARA PEMOHON II 1.   Dr. Jayus S.H., M.Hum.
      Sesungguhnya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang No.24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi menjadi Undang-Undang, tidak secara cermat dipahami oleh pemerintah khususnya Presiden, walaupun secara subyektif Presiden berhak menafsirkan ketentuan "Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa" sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, namun penafsiran tanpa menggunakan ukuran yang jelas justru dapat menimbulkan atau memunculkan penafsiran-penafsiran yang berbeda. Menurut hemat ahli kondisi Mahkamah Konstitusi pada waktu itu tidak dengan secara serta merta dapat dijadikan alasan bagi Presiden (pemerintah) untuk mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang atau dengan kata lain tidak ada indikasi bahwa telah terjadi suatu keadaan yang abnormal atau keadaan yang luar biasa dalam penyelenggaraan Peradilan Konstitusi atau Peradilan Ketatanegaraan. Hal tersebut terbukti bahwa Mahkamah Konstitusi tetap eksis sampai sekarang dapat menjalankan tugas dan wewenangnya untuk mengawal Konstitusi agar dijalankan sebagaimana mestinya, yaitu dengan tetap melaksanakan wewenangnya memeriksa, mengadili dan memutus semua permohonan yang dimohonkan oleh Pemohon.
      Rekruitmen terhadap calon hakim Mahkamah Konstitusi sebagaimana diatur dalam Pasal 24C ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang menyatakan "Mahkamah Konstitusi mempunyai sembilan orang anggota hakim konstitusi yang ditetapkan oleh Presiden, yang diajukan masing-masing tiga orang oleh Mahkamah Agung, tiga orang oleh Dewan Perwakilan Rakyat, dan tiga orang oleh Presiden". Ketentuan ini secara limitatif telah mengatur tentang rekruitmen hakim Mahkamah Konstitusi, dan ketentuan ini juga tidak secara atribusi memerintahkan pengaturan lebih lanjut dalam Undang-Undang, namun mekanisme seleksi terhadap setiap calon hakim Mahkamah Konstitusi menjadi otoritas dan mengikuti aturan main dari masing-masing lembaga


tersebut. Dengan demikian keterlibatan Komisi Yudisial dalam rekruitmen Hakim Mahkamah Konstitusi dalam pembentukan Panel Ahli untuk melakukan uji kelayakan dan kepatutan merupakan suatu bentuk campur tangan, atau tindakan yang berlawanan dengan Konstitusi (supremasi konstitusi), dengan kata lain Komisi Yudisial telah melampaui kewenangannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24B ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang menyatakan "Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim".
      Bahwa "mempunyai wewenang lain", sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 24B ayat (1) tersebut, hanya sebatas yang berkaitan dengan kehormatan, keluhuran martabat, dan perilaku hakim (Mahkamah Agung beserta hakim lembaga peradilan yang berada di bawahnya), tidak ada hubunganya sama sekali dengan mekanisme rekruitmen Hakim Mahkamah Konstitusi.
      "Etika" sangat berkaitan erat dengan hak dan kewajiban moral (ahklak) seseorang yang dianut dan berlaku secara internal bagi lingkungan organisasi (lembaga) yang bersangkutan dan tidak pernah dimaksudkan berlaku secara eksternal. Oleh karena itu penyusun dan penetapan "Kode Etik" yaitu aturan yang berhubungan dengan penggunaan akal budi perseorangan dengan tujuan untuk menentukan kebenaran atau kesalahan dari tingkah laku seseorang terhadap orang lain, menjadi domainya organisasi atau lembaga yang bersangkutan dan tidak ada urusannya dengan organisasi atau lembaga lainnya (kode etik hakim, jaksa, penasehat hukum, kepolisian, notaris, dokter, dll).
      Etika atau yang lazim disebut susila (kesusilaan), adalah ilmu tentang kesusilaan yang menentukan bagaimana manusia memiliki kepatutan hidup dalam organisasi kemasyarakatannya, atau bermakna terhadap kelakuan yang baik yang berwujud kaidah (norma) yaitu peraturan yang secara sengaja dibuat dan disepakati guna mengatur sikap, perilaku dari setiap anggota di dalam organisasinya dan sudah barang tentu bagi anggota   yang   melanggarnya   akan   dikenakan   sanksi.   Aturan ini


sesungguhnya dimaksudkan pula sebagai suatu pernyataan agar setiap anggota dalam organisasi yang bersangkutan mampu memberikan pelayanan yang prima kepada masyarakat umum;
      Oleh karenanya patut dipertanyakan keterlibatan Komisi Yudisal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27A ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-UndangNomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi Menjadi Undang-Undang, yang secara bersama-sama dengan Mahkamah Konstitusi menyusun dan menetapkan Kode Etik bagi Hakim Konstitusi.
      Ahli menegaskan kembali, penysunan dan penetapan Kode Etik merupakan hak penuh yang menjadi urusan secara internal bagi setiap organisasi, termasuk Mahkamah Konstitusi, dan karenanya keterlibatan Komisi Yudisial dalam hal tersebut sesungguhnya merupakan bentuk intervensi terhadap organisasi atau lembaga lain, yang justru dapat dimaknai bahwa Komisi Yudisial tidak menggambarkan adanya sinergi dalam membangun hubungan sesama organisasi atau lembaga penyelenggara pemerintahan negara.
      Sebagai akhir keterangan ini, Ahli sangat berharap Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi untuk membatalkan semua substansi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi menjadi Undang-Undang, karena bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, terutama sebagaimana diatur dalam Pasal 22 ayat (1), Pasal 24B ayat (1), dan Pasal
24C ayat (3).
2.  Dr. Widodo Ekatjahjana, S.H., M.Hum
Pendapat/pandangan Ahli menyangkut beberapa hal terkait dengan: (l) kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa, mengadili dan memutus perkara pengujian Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014; (2) Kedudukan dan fungsi Komisi Yudisial menurut UUD 1945; dan (3) Pengaturan kewenangan Komisi Yudisial untuk membentuk Panel Ahli; dan (4) Pengaturan persyaratan untuk menjadi anggota Panel Ahli.


1. Pendapat tentang kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa, mengadili dan memutus perkara pengujian Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014;
Berkembang dalam diskursus publik bahwa Mahkamah Konstitusi tidak boleh memutus hal-hal menyangkut dirinya karena di dunia peradilan dikenal asas hukum nemo iudex in causa sua. Berdasarkan asas hukum ini, maka Mahkamah Konstitusi dilarang untuk memeriksa, mengadili dan memutus perkara Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 yang mengatur tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi menjadi Undang-Undang.
Terhadap masalah ini, Ahli berpandangan bahwa penerapan asas hukum (rechtsbeginselen) tertentu tidak harus mengikat hakim dalam memutus suatu perkara, apabila dalam memeriksa perkara tersebut hakim dihadapkan pada pilihan asas-asas yang akan diterapkan. Hakim bebas memilih berdasarkan keyakinan hukumnya tentang asas-asas mana yang akan ia terapkan untuk perkara yang ia tangani. Suatu ketika, dalam perkara tertentu, hakim mengesampingkan asas-asas keadilan formal (prosedural) untuk mewujudkan asas manfaat atau kegunaan (doelmatighekj beginsel).Suatu ketika juga untuk melindungi asas demokrasi (kedaulatan rakyat - voikssouvereniteit), maka ia menerapkan asas atau prinsip kepastian hukum (rechtszekerheid). Dalam perkara ini, asas nemo iudex in causa sua yang melarang hakim untuk memutus perkara yang menyangkut dirinya sendiri, bukanlah asas hukum tunggal (single legal principle) yang dapat dipilih oleh hakim. Ada asas hukum lain yang juga menuntut agar hakim menerapkannya pada perkara yang sama. Asas hukum itu adalah, bahwa: pengadilan atau hakim tidak boleh menolak perkara yang diajukan kepadanya, dengan dalih aturan atau hukumnya tidak lengkap, atau tidak ada, melainkan ia wajlb untuk memeriksa, memutus dan mengadilinya. Apabila dicermati, kedua asas hukum (norma) itu mengandung kontradiksi atau pertentangan logikal. Akan tetapi keduanya menuntut hakim untuk diterapkan dalam perkara yang dihadapinya. Oleh karena itu, hakim


dihadapkan dengan pitihan-pilihan untuk mengikuti (menaati) salah satu asas hukum untuk diterapkannya. Hakim berdasarkan prinsip ius curia novit (pengadilan atau hakim tahu hukumnya) serta vrij bewijs (hakim bebas dalam pembuktian) memiliki kewenangan untuk menimbang-nimbang asas hukum mana yang akan ia pilih, dan mana yang akan ia kesampingkan. Dengan demikian, hakim memiliki pilihan untuk mengikuti (menaati) atau tidak mengikuti (tidak menaati) yang mana dari kedua asas hukum yang saling kontradiksi itu untuk diterapkan pada perkaranya. Walaupun demikian, ia (hakim) tidak memiliki kekuasaan (power) untuk mengabrogasi (membatalkan) keabsahan dari asas hukum yang dipilihnya untuk tidak diikuti (tidak ditaati).
Asas hukum mana yang seharusnya dipilih oleh hakim untuk perkara pengujian Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 itu? Dalam pandangan Ahli, Hakim Konstitusi seharusnya memilih asas: pengadilan atau hakim tidak boleh menolak perkara yang diajukan kepadanya, dengan dalih aturan atau hukumnya tidak lengkap, atau tidak ada, melainkan ia wajib untuk memeriksa, memutus dan mengadilinya. Pilihan terhadap asas hukum ini disebabkan karena beberapa pertimbangan. Pertama, jika MK atau hakim menolak untuk memeriksa, mengadili dan memutus perkara pengujian Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014, maka akan ada 'hak-hak konstitusional warga negara' (citizen's constitutional rights) yang tidak dilindungi oleh negara (melalui MK), dan dibiarkan terampas oleh Undang-Undang yang diberlakukan kepadanya. Padahal dalam konsep negara hukum [sebagaimana diamanatkan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945], negara memiliki obligatori (kewajiban) untuk melindungi hak-hak asasi atau hak-hak konstitusional warga negaranya. Kedua, prinsip perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia atau hak-hak konstitusional warga negara merupakan kaidah-kaidah konstitusi yang bersifat fundamental. Semua konstitusi atau Undang-Undang Dasar di dunia, selalu meletakkan prinsip perlindungan hak-hak asasi manusia atau hak-hak konstitusional warga negara sebagai salah satu fungsi mendasar konstitusi atau Undang-Undang Dasar setiap negara. Ketiga, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 tidak dapat diklaim hanya berisi hal-hal yang bersangkut paut dengan  Mahkamah  Konstitusi  an sich,  tetapi  kalau  kita cermati


substansinya juga bersangkut paut dengan kepentingan rakyat dan hak-hak warga negara yang harus dilindungi oleh negara. Keempat, bahwa ada kekhawatiran atau dugaan, jika hakim-hakim konstitusi menguji Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 akan bertindak subyektif atau tidak fair, maka dugaan atau prasangka seperti ini kurang beralasan, karena dalam sistem bernegara yang sudah sangat demokratis seperti dewasa ini, masyarakat dapat langsung melakukan kontrol dan memberikan penilaian terhadap Putusan-Putusan Mahkamah Konstitusi yang dianggap subyektif atau tidak fair. Yang ingin Ahli kemukakan terkait dengan masalah ini adalah, bahwa akibat yang ditimbulkan jika tidak menerapkan asas hukum: pengadilan atau hakim tidak boleh menolak perkara yang diajukan kepadanya, dengan dalih aturan atau hukumnya tidak lengkap, atau tidak ada, melainkan ia wajib untuk memeriksa, memutus dan mengadilinya dengan akibat yang ditimbulkan karena tidak menerapkan asas hukum: nemo iudex in causa sua, masih jauh lebih berbahaya diabaikannya atau dikesampingkannya asas yang pertama ('pengadilan atau hakim tidak boleh menolak perkara yang diajukan kepadanya, dengan dalih aturan atau hukumnya tidak lengkap, atau tidak ada, melainkan ia wajib untuk memeriksa, memutus dan mengadilinya). 2. Pendapat tentang kedudukan dan fungsi Komisi Yudisial menurut UUD NRI Tahun 1945
Berbagai kepustakaan hukum ketatanegaraan di Indonesia menyebutkan bahwa kedudukan Komisi Yudisial menurut UUD 1945 adalah sebagai lembaga negara penunjang (auxiliary state body). Komisi Yudisial adalah lembaga negara yang memberikan dukungan (supporting) kepada lembaga negara yang memegang kekuasaan kehakiman (yudikatif). Ia, karena itu, bukan merupakan lembaga negara utama (main stats body yang kedudukannya setara atau equal dengan Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Mengenal hal ini, Ahli kira Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006 dengan jelas telah mempertegas posisi atau kedudukan Komisi Yudisial yang demikian itu. Dan apabila Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 dicermati, baik dari segi sejarah pembentukannya maupun dari segi perumusannya secara gramatikal, maka kedudukan Komisi Yudisial sebagai lembaga negara penunjang


(supporting state body) itu, tidak lain adalah untuk menunjang fungsi yudikatif yang dijalankan oleh Mahkamah Agung, bukan fungsi yudikatif yang dijalankan oleh Mahkamah Konstitusi.
Dalam perkara Pengujian Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014, Ahli melihat, bahwa pengaturan tentang kedudukan dan fungsi Komisi Yudisial terkesan dipaksakan oleh Presiden dengan menggunakan instrumen hukum Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2013. DPR dan Presiden juga terkesan memaksakan pengaturan tentang kedudukan dan fungsi Komisi Yudisial ini dengan cara menetapkan Perppu Nomor 1 Tahun 2013 itu menjadi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014. Upaya memaksakan kehendak ini menurut pandangan Ahli bertentangan dengan konstitusi atau Undang-Undang Dasar NRI Tahun 1945, karena paling tidak 2 (dua) hal. Pertama, tidak dipahami baik oleh Presiden maupun oleh DPR, bahwa secara histori (pada saat pembahasan Rancangan Perubahan UUD 1945), dan juga berdasarkan UUD 1945, Komisi Yudisial itu adalah lembaga penunjang (auxiliary state body). (Mengenai hal ini lihat pula Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006). Kedua, Komisi Yudisial berdasarkan Pasal 24B ayat (1) memiliki fungsi atau kewenangan yang secara limitatif telah diatur dalam UUD 1945.
Upaya untuk memaksakan fungsi Komisi Yudisial agar ikut serta dalam proses seleksi kelayakan dan kepatutan, termasuk juga dalam institusi Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi dapat dicermati, misalnya pada: (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 yang memberikan wewenang untuk membentuk Panel Ahli, padahal UUD 1945, tidak pernah mengatur dan memerintahkannya; (2) Komposisi Panel Ahli yang diusulkan oleh Komisi Yudisial 4 (empat) orang, padahal lembaga-lembaga negara lainnya hanya 1 (satu) orang [lihat, Pasal 18C ayat (2) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014]; (3) Komisi Yudisial diperintahkan untuk bersama-sama Mahkamah Konstitusi menyusun dan menetapkan kode etik dan pedoman perilaku hakim konstitusi [Pasal 27A ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014], termasuk memerintahkan untuk membentuk Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi (MKHK) bersama-sama dengan Mahkamah Konstitusi (Pasal 27A ayat (4) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014.


Kebijakan negara (berupa Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014) ini substansi tidak saja bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945, akan tetapi juga a histori dan tidak sesuai dengan maksud pembentuk Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 pada saat pembahasan di sidang-sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat.
3.  Pendapat tentang Pengaturan Kewenangan Komisi Yudisial untuk membentuk Panel Ahli
Mengenai kewenangan Komisi Yudisial menurut UUD 1945, Ahli ingin kemukakan, bahwa apabila kita cermati secara histori dari sejarah pembentukkannya, maka kita dapat temukan beberapa pandangan (dalam Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Buku VI Kekuasaan Kehakiman, yang diterbitkan oleh Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2010), bahwa Komisi Yudisial memang digagas untuk salah satu diantaranya adalah mengawasi perilaku hakim yang berada di lingkungan Mahkamah Agung dan di lingkungan badan-badan peradilan di bawah Mahkamah Agung, di samping untuk melakukan rekruitmen terhadap hakim agung serta mempromosikan hakim-hakim. Jadi, sebenamya gagasan yang berkembang tentang wewenang Komisi Yudisial untuk mengawasi perilaku hakim dan merekrut atau mempromosikan hakim-hakim pada saat pembahasan Rancangan Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 itu, hanya ditujukan untuk Hakim Agung dan hakim-hakim yang berada di bawah Mahkamah Agung. Tidak pada Hakim Konstitusi yang berada di lingkungan Mahkamah Konstitusi. Dengan demikian, jika kemudian sekarang Pasal 18B Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 mengatur, bahwa Komisi Yudisial diberi kewenangan untuk membentuk 'Panel Ahli' untuk melakukan uji kelayakan dan kepatutan calon hakim konstitusi, maka terhadap ketentuan ini saya memberikan beberapa catatan sebagai berikut:
(a) Bahwa Pasal 18B Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 itu secara materiil telah menyimpang dari ketentuan Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 yang mengatur wewenang Komisi Yudisial secara terbatas hanya untuk mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai


wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim;
(b)   Bahwa tidak ada, baik secara histori dalam pembahasan Rancangan Perubahan UUD 1945 maupun secara yuridis-formal, ada pandangan-pandangan atau ketentuan-ketentuan di dalam UUD 1945 yang mengatur dan memerintahkan, agar Komisi Yudisial teriibat dalam proses rekruitmen hakim-hakim konstitusi, dan oleh sebab itu diberi kewenangan untuk membentuk 'Panel Ahli';
(c)   Bahwa dengan demikian, Pasal 18B Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 yang mengatur, bahwa Komisi Yudisial memiliki kewenangan untuk membentuk 'Panel Ahli' tidak saja a histori atau bertentangan dengan maksud pembentukan Komisi Yudisial dalam sejarah pembahasan Rancangan Perubahan UUD 1945, akan tetapi juga telah bertentangan dengan ketentuan Pasal 24B ayat (1) UUD 1945.
Dalam pandangan Ahli, institusi 'Panel Ahli' diperlukan di dalam sistem rekrutmen hakim-hakim konstitusi, akan tetapi institusi tersebut bukan dibentuk oleh Komisi Yudisial, melainkan dibentuk oleh masing-masing cabang kekuasaan negara (DPR, Presiden dan Mahkamah Agung) dalam rangka menjalankan perintah Pasal 24C ayat (3) UUD 1945. 4. Pendapat tentang pengaturan persyaratan untuk menjadi Anggota Panel Ahli
Pasal 18C ayat (3) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 mengatur, bahwa:
Panel Ahli harus memenuhi syarat sebagai berikut:
a.     memiliki reputasi dan rekam jejak yang tidak tercela;
b.    memiliki kredibilitas dan integritas;
c.     menguasai ilmu hukum dan memahami Undang-Undang Dasar 1945;
d.    berpendidikan paling rendah magister;
e.     berusia paling rendah 50 (lima puluh) tahun sebelum Panel Ahli dibentuk;
f.     tidak menjadi anggota partai politik dalam jangka waktu paling singkat 5 (lima) tahun sebelum Panel Ahli dibentuk.
Sebagaimana diatur dalam Pasal 18A ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 disebutkan, bahwa Panel Ahli memiliki kewenangan untuk


menguji kelayakan dan kepatutan calon hakim konstitusi. Mengingat kewenangan Panel Ahli yang demikian ini, Ahli berpandangan, Panel Ahli itu adalah sebuah 'Experts Forum' yang luar biasa, sebab dari hasil kerja Panel Ahli itu, nantinya akan lahir hakim-hakim konstitusi yang memiliki integritas, dan kepribadian yang tidak tercela, adil dan negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan. Sayangnya pengaturan tentang keanggotaan Panel Ahli ini diatur dengan persyaratan yang tidak baik dan terkesan ambivalen. Pertama, sebagai institusi yang diberi kewenangan untuk menguji kelayakan dan kepatutan terhadap calon-calon hakim konstitusi, mestinya para anggota yang duduk di dalam institusi tersebut minimal sama kriterianya dengan persyaratan untuk menjadi calon hakim konstitusi. Ternyata, baik pembentuk Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 dan pembentuk Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 sama sekali tidak cermat dalam menetapkan ketentuan tentang persyaratan untuk menjadi anggota Panel Ahli sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 18C ayat (3) Undang-Undang Nomor 4 tahun 2014, sehingga ada kontradiksi pengaturan antara syarat untuk menjadi Hakim Konstitusi dengan syarat untuk menjadi Panel Ahli, misalnya: untuk menjadi Hakim Konstitusi seseorang harus berijazah Doktor dengan dasar sarjana yang berlatarbelakang pendidikan tinggi hukum. Mestinya, syarat kualifikasi pendidikan untuk menjadi anggota Panel Ahli sama dengan syarat kualifikasi pendidikan untuk menjadi calon Hakim Konstitusi. Akan tetapi pengaturannya tidak demikian. Menurut Pasal 18C ayat (3) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 disebutkan salah satu syarat untuk menjadi anggota Panel Ahli adalah berpendidikan paling rendah magister. Perumusan persyaratan untuk menjadi anggota Panel Ahli sebagaimana diatur dalam Pasal 18C ayat (3) tidak logis, karena paling tidak dua hal, yaitu:
1)     Tidak masuk akal ada Panel Ahli yang berlatar belakang pendidikan 'magister' akan menguji calon Hakim Konstitusi yang berlatar belakang minimal doktor dengan dasar sarjana yang berlatar belakang pendidikan tinggi hukum;
2)     Gelar 'magister' dalam rumusan syarat untuk menjadi Panel Ahli menurut Pasal 18C ayat (3) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014


harus diperjelas. Magister apa itu? Magister Pertanian, Magister Pendidikan, Magister Manajemen, atau Magister Hukum? Akan sangat mengkuatirkan dari segi profesionalisme, apabila dalam proses seleksi yang dilakukan, ternyata ada anggota Panel Ahli yang memiliki latar belakang pendidikan, misalnya Magister Pertanian atau Magister Pendidikan,  menyeleksi  kelayakan dan  kepatutan  calon Hakim Konstitusi yang memiliki latar belakang pendidikan 'doktor' dengan dasar sarjana yang berlatar belakang pendidikan tinggi hukum. Demikian pula mengenai syarat 'negarawan'. Jika Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 [lihat Pasal 15 ayat (1)] telah menggariskan persyaratan untuk menjadi calon Hakim Konstitusi adalah 'negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan', maka semestinya, syarat untuk menjadi anggota Panel Ahli minimal sama dengan persyaratan untuk menjadi calon Hakim Konstitusi, yaitu: Negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan.   Sebab,   bagaimana   mungkin   Panel   Ahli dapat menentukan dalam uji kelayakan dan kepatutannya kepada calon Hakim Konstitusi, jika ia sendiri ternyata tidak termasuk dalam kualifikasi 'negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan'? Barangkali ada pertanyaan, tapi menurut UUD 1945, calon hakim Konstitusi itu selama ini diajukan 3 orang dari Presiden, 3 orang dari Mahkamah Agung dan 3 orang dari DPR? Bukankah mereka semuanya tidak memiliki kualifikasi 'negarawan' yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan? Terhadap pertanyaan ini, Ahli ingin kemukakan, bahwa benar mereka (Presiden, DPR, dan MA) tidak memiliki kualifikasi sebagai seorang negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan, akan tetapi perlu diingat, bahwa mereka itu melakukan rekruitmen masing-masing 3 calon Hakim Konstitusi itu karena Konstitusi atau UUD 1945 yang memerintahkannya. Oleh karena hukum dasar tertinggi negara yang memerintahkan,  maka sekalipun  mereka  bukan  'negarawan' yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan, tapi karena Konstitusi atau Undang-Undang Dasar yang memerintahkannya, maka tindakan mereka untuk merekrut calon-calon Hakim Konstitusi itu menjadi konstitusional (valid). Posisi ini berbeda sekali dengan baik posisi Panel Ahli, maupun posisi Komisi Yudisial yang diperintahkan oleh Undang-Undang Nomor 4


Tahun 2014 untuk membentuk Panel Ahli. Kedua institusi itu (yaitu: Komisi Yudisial dan Panel Ahli) dalam konteks pengaturan kedudukan dan fungsinya dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 sama sekali pernah memperoleh perintah atau pendelegasian kewenangan dari Undang-Undang Dasar. Dengan demikian, memaksakan pengaturannya untuk membentuk Panel Ahli termasuk menetapkan syarat-syarat keanggotaannya dapat dianggap sebagai tindakan atau keputusan Negara yang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945.

[2.5] Menimbang bahwa terhadap permohonan para Pemohon I dan para Pemohon II, Presiden menyampaikan keterangan secara lisan dalam persidangan tanggal 4 Februari 2014, serta menyampaikan keterangan tertulis yang diterima Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 10 Februari 2014 yang pada pokoknya menerangkan sebagai berikut: I. POKOK PERMOHONAN PARA PEMOHON 1. Bahwa menurut para Pemohon Register Nomor 1/PUU-XII/2014 pada pokoknya menyatakan bahwa:
a.     Para Pemohon beranggapan bahwa UU tentang Penetapan Perpu MK cacat hukum, yaitu:

1)     tidak ada unsur kegentingan yang memaksa;
2)     Dewan Perwakilan Rakyat tidak sedang reses;
3)     terjadi kekeliruan fundamental pada bagian "menimbang";
4)     daya berlaku Perppu tidak jelas
b.    Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi Menjadi Undang-Undang bertentangan dengan UUD 1945, karena:
1) Substansi yang diatur bertentangan dengan UUD 1945, pada pokoknya menyangkut 3 hal yaitu penambahan persyaratan untuk menjadi hakim konstitusi, memperjelas mekanisme proses seleksi dan pengajuan hakim konstitusi dan perbaikan sistem pengawasan hakim konstitusi, yang dapat diuraikan sebagai berikut; a. Penambahan syarat sebagai Hakim Konstitusi pada Pasal 15 ayat (2) adalah bertentangan dengan UUD 1945;


b.    Pengaturan mengenai mekanisme proses seleksi dan pengajuan hakim konstitusi bertentangan UUD 1945 dan merusak sistem konstitusi;
c.     Pengaturan mengenai sistem pengawasan adalah bertentangan dengan UUD 1945;
2) Perppu a quo telah memperbesar kewenangan Komisi Yudisial tetapi tidak mengubah Undang-Undang yang mengatur Komisi Yudisial; 2.   Bahwa menurut para Pemohon Register Nomor 2/PUU-XII/2014 pada pokoknya menyatakan bahwa:
a.      Menurut para Pemohon, ketentuan Pasal 18C ayat (3) merupakan ketentuan yang inkonstitusional, karena;

1.    Ketentuan a quo merupakan kebijakan yang merusak sistem pendidikan tinggi, karena sesuai dengan Pasal 19 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi menunjukkan gelar doktor merupakan gelar yang diperoleh setelah jenjang magister dan merupakan gelar tertinggi hasil dari pendidikan formal yang hanya bisa dibimbing oleh profesor sebagai jabatan akademik tertinggi;
2.    Menimbulkan potensi munculnya hakim konstitusi yang bukan negarawan karena syarat untuk mengisi Panel Ahli tidak mensyaratkan "seorang negarawan";
3.    Adanya ketentuan a quo bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945 karena mengandung unsur diskriminasi tentang usia minimal untuk mengisi sebagai Panel Ahli yaitu 50 tahun;
b.      Pasal 18A ayat (1) ketentuan a quo dibentuk secara inkonstitusional karena:

1.     UUD 1945 tidak memberikan kewenangan kepada Komisi Yudisial untuk membentuk panel ahli dengan fungsi untuk melakukan uji kelayakan dan kepatutan Calon Hakim Konstitusi;
2.     Komisi Yudisial adalam lembaga negara yang bersifat pelengkap bagi kekuasaan kehakiman dan hal ini bertentangan dengan Pasal 24C ayat (3) UUD 1945;


c.   Pasal 27A ayat (4) ketentuan a quo bertentangan dengan UUD 1945, karena:
1.     Kedudukan Komisi Yudisial adalah lembaga yang bersifat pelengkap atau penunjang karenanya tidak setara dengan Mahkamah Konstitusi;
2.     Anggota Komisi Yudisial tidak memiliki kriteria negarawan sehingga menjadi tidak logis apabila orang yang tidak memiliki kriteria negarawan membentuk atau bahkan menjadi anggota Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi dengan fungsi menegakkan kode etik dan perilaku Hakim Konstitusi;
3.     UUD 1945 tidak mengatur mengenai kewenangan Komisi Yudisial dalam hal menyusun dan menetapkan kode etik dan pedoman perilaku Hakim Konstitusi;
4.     Persyaratan usia untuk menjadi anggota MKHK bersifat diskriminatif.
II. TENTANG KEDUDUKAN HUKUM (LEGAL STANDING) PARA PEMOHON
Ketentuan Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014, menyatakan bahwa Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang, yaitu:
a.     perorangan warga negara Indonesia;
b.    kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang;
c.     badan hukum publik atau privat; atau
d.    lembaga negara.
Ketentuan di atas dipertegas dalam penjelasannya, bahwa yang dimaksud dengan "hak konstitusional" adalah hak-hak yang diatur UUD 1945. Dengan demikian, para Pemohon terlebih dahulu harus menjelaskan dan membuktikan:
a.     kualifikasi dalam permohonan a quo sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014; tentang
b.    hak dan/atau kewenangan konstitusional dalam kualifikasi dimaksud yang dianggap telah dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang yang diuji;


c. kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional para Pemohon sebagai
akibat berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian. Mahkamah Konstitusi telah memberikan pengertian dan batasan kumulatif tentang kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang timbul karena berlakunya suatu Undang-Undang menurut Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 (vide Putusan Nomor 006/PUU-III/2005 dan putusan-putusan berikutnya), yaitu harus memenuhi 5 (lima) syarat sebagai berikut:
a.     adanya hak konstitusional Pemohon yang diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b.    bahwa hak konstitusional Pemohon tersebut dianggap oleh Pemohon telah dirugikan oleh suatu Undang-Undang yang diuji;
c.     bahwa kerugian konstitusional Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
d.    adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian dan berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan untuk diuji;
e.     adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka kerugian konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi.
Terhadap kedudukan hukum (legal standing) para Pemohon Register Nomor 1/PUU-XII/2014, Pemerintah menyampaikan hal-hal sebagai berikut:
a.      menurut Pemerintah bahwa para Pemohon tidak dirugikan berdasarkan ketentuan a quo, karena para Pemohon tidak dalam posisi terhalangi oleh ketentuan a quo apabila ingin menjadi anggota Panel Ahli atau menjadi anggota Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi (selanjutnya disingkat MKHK) untuk mewujudkan MK yang lebih baik sehingga tidak tepat mempertentangkan dengan ketentuan Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3) UUD
1945.
b.      Bahwa para Pemohon tidak tepat menjadikan Pasal 24C ayat (3) UUD 1945 sebagai batu uji, karena Pasal a quo memberikan kewenangan secara limitatif kepada Presiden, DPR, dan MA dan bukan kepada individu-individu warga negara.


Terhadap kedudukan hukum (legal standing) para Pemohon Register Nomor 2/PUU-XII/2014, Pemerintah berpendapat bahwa para Pemohon tidak dirugikan berdasarkan ketentuan a quo, karena para Pemohon tidak dalam posisi terhalangi oleh ketentuan a quo apabila ingin menjadi anggota Panel Ahli atau menjadi anggota Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi (selanjutnya disingkat MKHK) untuk mewujudkan MK yang lebih baik sehingga tidak tepat mempertentangkan dengan ketentuan Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3) UUD
1945.
Namun demikian, Pemerintah menyerahkan sepenuhnya kepada Yang Mulia Ketua/Majelis Hakim Konstitusi untuk mempertimbangkan dan menilainya apakah para Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) atau tidak, sebagaimana yang ditentukan baik oleh Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi maupun berdasarkan putusan-putusan Mahkamah Konstitusi terdahulu.
Selanjutnya berikut disampaikan keterangan Pemerintah terhadap materi yang
dimohonkan untuk diuji sebagai berikut: III. KETERANGAN   PEMERINTAH   ATAS   MATERI   PERMOHONAN YANG
DIMOHONKAN UNTUK DIUJI OLEH PARA PEMOHON Terhadap permohonan Perkara Nomor 1/PUU-XII/2014 Pemerintah memberikan keterangan sebagai berikut:
1. Mengenai alasan filosofis UU tentang Penetapan Perpu MK akan memberi pengaruh terhadap penyelenggaraan kekuasaan kehakiman di lingkungan kekuasaan kehakiman, yang berujung pada hilangnya indepedensi kekuasaan kehakiman. Bilamana independensi kekuasaan kehakiman hilang, maka pada akhirnya juga berimplikasi pada hilangnya integritas pelayanan jasa hukum yang melibatkan para advokat, sehingga kualitas pelayanan jasa hukum juga akan merosot dan pada akhirnya akan menghilangkan kepercayaan publik terhadap penegakan hukum, termasuk proses hukum di Mahkamah Konstitusi. Menurut Pemerintah, dalil para Pemohon sangat tidak mendasar, tidak jelas kerugian konstitusionalitasnya, dan tidak ada kaitannya dengan kedudukan advokat dalam pelayanan jasa hukum. Pemerintah berpendapat justru penetapan UU tentang Penetapan Perpu MK akan lebih dapat menjaga integritas dan independensi Hakim Konstitusi dan kelembagaan Mahkamah Konstitusi.


2.     Terkait dalil para Pemohon yang beranggapan Undang-Undang a quo cacat hukum secara formil, yaitu: (1) tidak ada unsur kegentingan yang memaksa; (2) DPR tidak sedang reses; (3) bahwa terjadi kekeliruan fundamental pada bagian "Menimbang; dan (4) bahwa daya berlaku Perpu tidak jelas.
Terkait dalil Pemohon a quo, Pemerintah berpendapat bahwa dengan telah ditetapkannya Perpu MK menjadi UU, maka permohonan yang masih mempermasalahkan Perpu MK tersebut sudah kehilangan objek hukum sebagaimana sudah diputus oleh Mahkamah dalam Putusan Nomor 92/PUU/XI/2013 pada tanggal 30 Januari 2014.
3.     Terkait dalil para Pemohon yang menyatakan bahwa UU tentang Penetapan Perpu MK cacat hukum secara materiil dan bertentangan dengan UUD 1945, yang pada pokoknya menyangkut 3 (tiga) hal utama, yaitu :
a) Penambahan persyaratan untuk menjadi hakim konstitusi;
Menurut para Pemohon, UU tentang Penetapan Perpu MK yang mengatur tentang "syarat hakim konstitusi", sesuai Pasal 15 ayat (2) huruf i ditambah, "tidak menjadi anggota partai politik dalam jangka waktu paling singkat 7 (tujuh) tahun sebelum diajukan sebagai calon hakim konstitusi" adalah bertentangan dengan UUD 1945.
Terkait dalil para Pemohon tersebut, Pemerintah berpendapat bahwa :
1)   penetapan batasan waktu "paling singkat 7 (tujuh) tahun" tersebut dirasa cukup untuk memberikan jaminan independensi dan imparsialitas seorang hakim konstitusi dalam memeriksa dan memutus perkara-perkara di Mahkamah Konstitusi, khususnya Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU).
2)   batasan waktu tersebut juga sejalan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 81/PUU-IX/2011 mengenai uji materi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum terhadap UUD 1945, yang dalam pertimbangan hukum Putusannya memberikan beberapa pertimbangan berikut ini :
a. "....Pelepasan hak anggota partai politik untuk menjadi anggota komisi pemilihan umum bukan sesuatu hal yang bertentangan dengan konstitusi dan hak asasi manusia, karena justru hal tersebut diperlukan untuk menjamin fairness dalam pemilihan


umum, yang artinya memenuhi/melindungi hak-hak peserta lain
dalam pemilihan umum;
....... ;"
b.      "...Namun, dalam ketentuan pengunduran diri dari keanggotaan partai politik yang tidak ditentukan jangka waktunya tersebut, menurut Mahkamah dapat dipergunakan sebagai celah oleh partai politik untuk masuknya kader partai politik ke dalam komisi pemilihan umum. Hal ini justru bertentangan dengan sifat "mandiri" dari komisi pemilihan umum yang dinyatakan dalam Pasal 22E ayat (5) UUD 1945;...";
c.      "...Mahkamah berpendapat syarat pengunduran diri dari keanggotaan partai politik sebagaimana diatur dalam Undang-Undang a quo, harus diberi batasan waktu. Secara sosiologis, untuk memutus hubungan antara anggota partai politik yang mencalonkan diri dengan partai politik yang diikutinya, perlu ditetapkan tenggang waktu yang patut dan layak, sesuai dengan prinsip-prinsip kemandirian organisasi penyelenggara pemilihan umum;...;"
d.      Tenggang waktu pengunduran diri dari partai politik, menurut Mahkamah adalah patut dan layak jika ditentukan sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun sebelum yang bersangkutan mengajukan diri sebagai calon anggota komisi pemilihan umum...".
3) Berdasarkan pertimbangan tersebut, maka sangat tepat kiranya, jika Hakim Konstitusi - yang syarat konstitusionalnya "Negarawan" dengan kewenangan konstitusional yang jauh lebih strategis dari KPU, dan nantinya akan memutus sengketa hasil pemilihan umum -, diberikan jedah waktu sebagai anggota Partai Politik (Parpol) selama 7 (tujuh) tahun (lebih lama daripada tenggat waktu pengunduran diri calon anggota KPU dari Parpol) b) Memperjelas mekanisme proses seleksi dan pengajuan hakim konstitusi. Menurut para Pemohon, UU tentang Penetapan Perpu MK yang mengatur tentang mekanisme proses seleksi dan pengajuan hakim konstitusi sebelum ditetapkan oleh Presiden, pengajuan calon hakim konstitusi oleh MA, DPR, dan/atau Presiden, terlebih dahulu dilakukan proses uji kelayakan dan


kepatutan yang dilaksanakan oleh Panel Ahli yang dibentuk oleh Komisi Yudisial. Selanjutnya, Pemohon berpendapat bahwa, pola rekrutmen "Panel Ahli" tersebut bertentangan dengan UUD 1945. Terkait dalil Pemohon tersebut, Pemerintah berpendapat bahwa:
1)      selain kewenangan lembaga negara yang diatur dalam konstitusi, dapat juga diatur dalam Undang-Undang terkait kewenangan lembaga negara tersebut sepanjang tidak bertentangan dengan konstitusi.
2)      dengan ditetapkannya UU tentang Penetapan Perpu MK, maka mekanisme seleksi hakim konstitusi bersifat lebih jelas, transparan, akuntabel, dan partisipatif. Hal ini sesuai dengan aspirasi yang berkembang di masyarakat, yang menghendaki proses seleksi hakim konstitusi dilakukan melalui proses seleksi yang transparan dan partisipatif. Hal ini pula yang menyebabkan timbulnya gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara terkait penetapan salah satu Hakim Konstitusi.
3)      dalam konteks Panel Ahli, kewenangan Komisi Yudisial adalah membentuk Panel Ahli (Pasal 18B UU tentang Penetapan Perpu MK), memilih 4 (empat) orang anggota Panel Ahli berdasarkan usulan masyarakat yang terdiri atas mantan hakim konstitusi, tokoh masyarakat, akademisi di bidang hukum, dan praktisi hukum [Pasal 18C ayat (2) UU tentang Penetapan Perpu MK].
4)      penunjukan Panel Ahli untuk melakukan uji kelayakan dan kepatutan (fit & proper test) tidak bersifat mengurangi kewenangan 3 (tiga) lembaga negara, yaitu Presiden, DPR, dan MA, untuk mengajukan anggota Hakim Konstitusi, sebagaimana diatur dalam Pasal 24C UUD 1945. Selain itu, unsur keanggotaan Panel Ahli juga tetap melibatkan perwakilan yang dipilih oleh lembaga negara pengusul tersebut.
5)      perlu diketahui pula bahwa keberadaan Panel Ahli yang tidak berada di masing-masing lembaga pengusul, dengan pertimbangan agar menjamin kesamaan standarisasi Hakim Konsitusi.
6)      Panel Ahli hanya melakukan fit & proper test terhadap calon Hakim Konstitusi yang diajukan oleh ketiga lembaga negara (Presiden, DPR dan MA). Selanjutnya, hasil kerja Panel Ahli diserahkan kembali kepada lembaga pengusul. Lembaga dimaksud yang akan memilih calon Hakim


Konstitusi yang akan diajukan kepada Presiden untuk ditetapkan sebagai Hakim Konstitusi.
7)      artinya, kewenangan menentukan Hakim Konstitusi tetap menjadi kewenangan lembaga pengusul, sedangkan Panel Ahli hanya membantu melakukan fit & proper test terhadap calon yang pengajuannya hanya bisa dilakukan oleh lembaga pengusul tersebut. Panel Ahli sama sekali tidak mengambil kewenangan konstitusional MA, DPR, dan Presiden untuk mengusulkan Hakim Konstitusi.
8)      dengan demikian kewenangan, Komisi Yudisial dalam membentuk Panel Ahli tersebut tidak bertentangan dengan UUD 1945, sedangkan kewenangan mengusulkan Hakim Konstitusi tetap berada dalam kewenangan Presiden, DPR dan Mahkamah Agung.
c) Perbaikan Sistem Pengawasan Hakim Konstitusi
Terkait dalil para Pemohon yang berpendapat bahwa pembentukan MKHK yang sifatnya permanen yang dibentuk bersama oleh Komisi Yudisial dan MK bertentangan dengan UUD 1945, Pemerintah berpendapat sebagai berikut :
1)    Untuk menegakkan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim Konstitusi yang telah ditetapkan, maka MK bersama-sama dengan Komisi Yudisial membentuk MKHK yang bersifat tetap. Sekretariat MKHK ini berkedudukan di Komisi Yudisial dan dipimpin oleh Sekretaris Jenderal Komisi Yudisial.
2)    Selain itu, pertimbangan pembentukan MKHK ini juga dikarenakan sudah ada Putusan MK yang membatalkan pengawasan KY terhadap Hakim (Putusan MK Nomor 005/PUU-IV/2006 mengenai Uji Materi UU Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial dan Uji Materi UU Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasan Kehakiman, terhadap UUD
1945).
3)    Keanggotaan MKHK tidak melibatkan Hakim Konstitusi atau Anggota KY, karena sifatnya yang permanen dan menghindari adanya rangkap jabatan.
4)    Melalui pembentukan MKHK yang independen ini, maka pengawasan perilaku hakim MK dapat dilaksanakan secara berkesinambungan (tidak


insidentil) dan obyektif, serta tidak bertentangan dengan Putusan MK terkait pembatalan kewenangan pengawasan KY tersebut. 5) Penempatan sekretariat MKHK di KY dimaksudkan agar MKHK betul-betul menjadi pengawas eksternal yang independen dari MK dari tiga sisi, yaitu independen secara fungsional, independen secara struktural, dan yang tak kalah penting adalah independen secara finansial, mengingat kebutuhan MKHK nantinya akan dipenuhi oleh Sekretariat Jenderal (Setjen) KY, bukan Setjen MK. 4. Terkait dalil para Pemohon yang menyatakan bahwa UU tentang Penetapan Perpu MK telah memperbesar kewenangan Komisi Yudisial dengan turut menyeleksi calon-calon hakim Mahkamah Konstitusi dengan serta merta mengurangi kewenangan Mahkamah Agung, DPR dan Presiden terkait pengajuan calon hakim konstitusi dari lembaga-lembaga negara, Pemerintah berpendapat bahwa:
a.   Dalam konteks Panel ahli, kewenangan Komisi Yudisial adalah membentuk Panel Ahli (Pasal 18B), memilih 4 (empat) orang anggota Panel Ahli berdasarkan usulan masyarakat yang terdiri atas mantan hakim konstitusi, tokoh masyarakat, akademisi di bidang hukum, dan praktisi hukum [Pasal 18C ayat (2)]. Dengan demikian, kewenangan Komisi Yudisial tersebut tidak bertentangan dengan UUD 1945 sedangkan kewenangan mengusulkan Hakim Konstitusi tetap berada dalam kewenangan Presiden, DPR, dan Mahkamah Agung.
b.  Dalam konteks Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi, kewenangan Komisi Yudisial adalah bersama-sama dengan MK menyusun dan menetapkan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim Konstitusi [Pasal 27A ayat (1)] dan membentuk Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi [Pasal 27A ayat (4)] sedangkan anggotanya sendiri bukan berasal dari Komisi Yudisial.
Terhadap permohonan Perkara Nomor 2/PUU-XII/2014 Pemerintah memberikan keterangan sebagai berikut:
1. Terkait dalil para Pemohon yang mempersoalkan syarat paling rendah Magister bagi Panel Ahli, padahal yang akan diuji adalah calon hakim Konstitusi yang memiliki kualifikasi Doktor.
Terhadap dalil para Pemohon tersebut, Pemerintah dapat memberikan penjelasan sebagai berikut:


a.      bahwa Ketentuan Pasal 18C ayat (3) UU Nomor 4 Tahun 2014 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua Atas Undang- Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi Menjadi Undang-Undang Menyatakan:
Panel Ahli harus memenuhi syarat sebagai berikut:
1)      memiliki reputasi dan rekam jejak yang tidak tercela;
2)      memiliki kredibilitas dan integritas;
3)      menguasai ilmu hukum dan memahami Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
4)      berpendidikan paling rendah magister;
5)      berusia paling rendah 50 (lima puluh) tahun; dan
b.      tidak menjadi anggota partai politik dalam jangka waktu paling singkat 5 (lima) tahun sebelum Panel Ahli dibentuk.
c.      berdasarkan penjelasan pasal tersebut jelaslah persyaratan yang disyaratkan berpendidikan paling rendah magister sehingga tidak menutup kemungkinan anggota Panel Ahli yang akan di pilih oleh KY dan atau ditunjuk oleh DPR, MA dan Presiden kesemuanya akan berpendidikan Doktor.
d.      bahwa tugas Panel Ahli berdasarkan Pasal 18A UU Nomor 4 Tahun 2014 adalah melaksanakan uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test). Dalam uji kelayakan dan kepatutan, hal yang diuji tidak hanya mengenai kemampuan akademik, namun juga hal lainnya seperti integritas, kemampuan manajerial, rekam jejak dll, sehingga tidak tepat apabila uji kelayakan dan kepatutan dalam jabatan publik sama dengan uji akademis dalam suatu jenjang pendidikan.
e.      bahwa soal tingkat pendidikan semata-mata merupakan legal policy pembentuk undang-undang, tidak berkaitan dengan isu konstitusionalitas. Syarat calon Presiden dan anggota DPR pun saat ini, misalnya, bahkan serendah-rendahnya hanya SMA.
2. Terkait dalil para Pemohon yang menyatakan bahwa Komisi Yudisial sebagai lembaga negara yang bersifat pelengkap/penunjang tidak didelegasikan untuk membentuk Panel Ahli sesuai amanah UUD 1945 sehingga bertentangan Pasal 24C ayat (3) UUD 1945.


Terhadap dalil para Pemohon tersebut, Pemerintah memberikan keterangan bahwa:
a.      sesuai dengan amanah Pasal 24B ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945, Komisi Yudisial adalah lembaga bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Untuk itu, anggota Komisi Yudisial harus mempunyai pengetahuan dan pengalaman di bidang hukum serta memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela.
b.      Berdasarkan amanah konstitusi tersebut, Komisi Yudisial dapat juga membentuk Panel Ahli dalam rangka melaksanakan tugasnya sehingga akan mendapatkan calon hakim yang berintegritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, dan negarawan, sehingga anggapan para Pemohon tidak benar dan tidak beralasan karena dengan amanah dari UUD 1945 tersebut Komisi Yudisial berwenang.

3.     Para Pemohon mempersoalkan tidak adanya syarat "Negarawan" bagi Anggota Panel Ahli dalam Pasal 18C ayat (3) UU tentang Penetapan Perpu MK, sedangkan syarat calon Hakim Konstitusi adalah negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan.
Terkait dalil para Pemohon tersebut, Pemerintah berpendapat para Pemohon tidak menjelaskan dalil dimaksud pertentangannya dengan pasal dalam UUD
1945.
4.     Menurut para Pemohon, ketentuan Pasal 18C ayat (3) UU Penetapan Perpu MK mengenai syarat usia minimal 50 (lima puluh) tahun bagi Panel Ahli bersifat diskriminatif karena tidak ada jaminan usia lebih tua pasti/lebih memiliki jiwa 'negarawan' sehingga bertentangan dengan Pasal 28D ayat (3) UUD 1945.
Terkait dalil para Pemohon tersebut, Pemerintah berpendapat bahwa :
a.   ketentuan a quo merupakan pilihan kebijakan (legal policy), persyaratan tersebut merupakan persyaratan yang objektif dan bebas kepentingan dan tidak diskriminatif.
b.   bahwa terhadap dalil para Pemohon, Pemerintah dapat memberikan keterangan mengenai usia minimal 50 (lima puluh) tahun merupakan kebijakan pembentuk Undang-Undang dalam merumuskannya mengingat


dalam usia tersebut seseorang dianggap sudah menguasai ilmu pengetahuan dan mempunyai pengalaman yang cukup. Dengan demikian, pasal a quo tidak bersifat disikriminatif karena diskriminatif menurut UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM didefinisikan apabila adanya pembedaan ras, etnis, atau agama serta keyakinan politik seseorang, bukan karena usia seseorang. 5. Menurut para Pemohon, pembentukan Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi
(MKHK) sebagaimana Pasal 27A ayat (4) UU tentang Penetapan Perpu MK
bertentangan dengan UUD 1945.
Terhadap dalil para Pemohon tersebut, Pemerintah berpendapat bahwa:
a.   Untuk menegakkan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim Konstitusi yang telah ditetapkan, maka Mahkamah Konstitusi bersama-sama dengan Komisi Yudisial membentuk MKHK yang bersifat tetap. Sekretariat MKHK ini berkedudukan di Komisi Yudisial dan dipimpin oleh Sekretaris Jenderal Komisi Yudisial.
b.   Penempatan sekretariat MKHK di KY dimaksudkan agar MKHK betul-betul menjadi pengawas eksternal yang independen dari MK dari tiga sisi, yaitu independen secara fungsional, independen secara struktural, dan yang tak kalah penting adalah independen secara finansial, mengingat kebutuhan MKHK nantinya akan dipenuhi oleh Sekretariat Jenderal (Setjen) KY.
c.   Selain itu, pertimbangan pembentukan MKHK ini juga dikarenakan sudah ada Putusan MK yang membatalkan pengawasan KY terhadap Hakim KY. (Putusan MK Nomor 005/PUU-IV/2006 mengenai Uji Materi UU Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial dan Uji Materi UU Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasan Kehakiman, terhadap UUD 1945).
d.   Keanggotaan MKHK tidak melibatkan hakim konstitusi atau anggota KY, karena sifatnya yang permanen dan menghindari adanya rangkap jabatan. Melalui pembentukan MKHK yang independen ini, maka pengawasan perilaku hakim MK dapat dilaksanakan secara berkesinambungan (tidak insidentil) dan obyektif, serta tidak bertentangan dengan Putusan MK terkait pembatalan kewenangan pengawasan KY tersebut.
IV. PETITUM
Berdasarkan keterangan tersebut di atas, Pemerintah memohon kepada Yang Mulia Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang memeriksa, mengadili,


dan memutus permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua Atas Undang- Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi Menjadi Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945 dalam Perkara Nomor 1/PUU-XII/2014 dan Nomor 2/PUU-XII/2014 dapat memberikan putusan sebagai berikut:
1.     Menyatakan para Pemohon tidak memiliki Kedudukan hukum (legal standing);
2.     Menolak permohonan pengujian para Pemohon seluruhnya atau setidak-tidaknya menyatakan permohonan para Pemohon tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard);
3.     Menerima Keterangan Pemerintah secara keseluruhan;
4.     Menyatakan Pasal 18A ayat (1), Pasal 18B, Pasal 18C ayat (3) dan Pasal ayat (1) dan ayat (4) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi Menjadi Undang-Undang tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Selain itu, Presiden menyampaikan keterangan tertulis dari lima orang Ahli yang diterima Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 10 Februari 2014, yang pada pokoknya menerangkan sebagai berikut:
AHLI PRESIDEN
1.  Dr. Maruarar Siahaan, S.H.
Sesuai dengan permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 tentang Penetapan Perpu Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi Menjadi Undang-Undang (selanjutnya disebut UU tentang Penetapan Perpu MK) terhadap UUD 1945, Ahli akan memberi keterangan tentang uji konstitusionalitas ketentuan dalam Undang-Undang dimaksud yang terkait dengan: 1. Panel Ahli
Di antara Pasal 18 dan Pasal 19 disisipkan 3 (tiga) pasal, yakni Pasal 18A, Pasal 18B, dan Pasal 18C, sehingga berbunyi sebagai berikut:


Pasal 18A
(1)     Hakim konstitusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) sebelum ditetapkan Presiden, terlebih dahulu harus melalui uji kelayakan dan kepatutan yang dilaksanakan oleh Panel Ahli.
(2)     Mahkamah Agung, DPR, dan/atau Presiden mengajukan calon hakim konstitusi kepada Panel Ahli masing-masing paling banyak 3 (tiga) kali dari jumlah hakim konstitusi yang dibutuhkan untuk dilakukan uji kelayakan dan kepatutan.
(3)     Panel Ahli menyampaikan calon hakim konstitusi yang dinyatakan lolos uji kelayakan dan kepatutan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sesuai dengan jumlah hakim konstitusi yang dibutuhkan ditambah 1 (satu) orang kepada Mahkamah Agung, DPR, dan/atau Presiden.
(4)     Dalam hal calon hakim konstitusi yang dinyatakan lolos uji kelayakan dan kepatutan kurang dari jumlah hakim konstitusi yang dibutuhkan, Mahkamah Agung, DPR, dan/atau Presiden mengajukan kembali calon hakim konstitusi lainnya paling banyak 3 (tiga) kali dari jumlah hakim konstitusi yang masih dibutuhkan.
(5)     Dalam hal calon hakim konstitusi yang dinyatakan lolos uji kelayakan dan kepatutan sama dengan jumlah hakim konstitusi yang dibutuhkan, Mahkamah Agung, DPR, dan/atau Presiden dapat langsung mengajukannya kepada Presiden untuk ditetapkan, atau mengajukan tambahan paling banyak 3 (tiga) calon hakim konstitusi lainnya untuk diuji kelayakan dan kepatutan oleh Panel Ahli.
(6)     Mahkamah Agung, DPR, dan/atau Presiden memilih hakim konstitusi sesuai jumlah yang dibutuhkan dari nama yang dinyatakan lolos uji kelayakan dan kepatutan oleh Panel Ahli, dan mengajukannya kepada Presiden untuk ditetapkan.
Pasal 18B
Panel Ahli menyelesaikan tugasnya dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan setelah dibentuk oleh Komisi Yudisial.
Pasal 18C
(1)     Panel Ahli sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18A ayat (1) berjumlah 7 (tujuh) orang.

a.  1 (satu) orang diusulkan oleh Mahkamah Agung;
b.  1 (satu) orang diusulkan oleh DPR;
c.  1 (satu) orang diusulkan oleh Presiden; dan
d.  4 (empat) orang dipilih oleh Komisi Yudisial berdasarkan usulan
masyarakat yang terdiri atas mantan hakim konstitusi, tokoh masyarakat, akademisi di bidang hukum, dan praktisi hukum.
(2)     Panel Ahli harus memenuhi syarat sebagai berikut:

a.   memiliki reputasi dan rekam jejak yang tidak tercela;
b.   memiliki kredibilitas dan integritas;
c.   menguasai ilmu hukum dan memahami Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
d.   berpendidikan paling rendah magister;
e.   berusia paling rendah 50 (lima puluh) tahun; dan


f.    tidak menjadi anggota partai politik dalam jangka waktu paling singkat 5 (lima) tahun sebelum Panel Ahli dibentuk.
g.   Anggota Panel Ahli dilarang mencalonkan diri sebagai calon hakim konstitusi.
h.   Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemilihan Panel Ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d diatur dengan Peraturan Komisi Yudisial.

Menurut pendapat Ahli, Undang-Undang tentang Penetapan Perpu MK ini mempertegas mekanisme seleksi Hakim Konstitusi, sehingga lebih jelas, transparan, akuntabel dan partisipatif. Hal ini sesuai dengan aspirasi yang berkembang di masyarakat, yang menghendaki proses seleksi hakim konstitusi dilakukan melalui proses seleksi yang transparan dan partisipatif. Penunjukan Panel Ahli untuk melakukan uji kelayakan dan kepatutan (fit & proper test) tidak bersifat mengurangi kewenangan 3 (tiga) lembaga negara yaitu Presiden, DPR, dan MA untuk mengajukan anggota Hakim Konstitusi, sebagaimana diatur dalam Pasal 24C UUD 1945. Selain itu, unsur keanggotaan Panel Ahli juga tetap melibatkan perwakilan yang dipilih oleh lembaga negara pengusul tersebut.
Panel Ahli hanya melakukan fit & proper test terhadap calon Hakim Konstitusi yang diajukan oleh ketiga lembaga negara (Presiden, DPR dan MA). Selanjutnya, hasil kerja Panel Ahli diserahkan kembali kepada lembaga pengusul. Lembaga dimaksud yang akan memilih calon Hakim Konstitusi yang akan diajukan kepada Presiden untuk ditetapkan sebagai Hakim Konstitusi.
Artinya, kewenangan menentukan Hakim Konstitusi tetap menjadi kewenangan lembaga pengusul, sedangkan Panel Ahli hanya membantu melakukan fit & proper test terhadap calon yang pengajuannya hanya bisa dilakukan oleh lembaga pengusul tersebut. Panel Ahli sama sekali tidak mengambil kewenangan konstitusional MA, DPR, dan Presiden untuk mengusulkan Hakim Konstitusi.
2. Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi
Ketentuan Pasal 27A Perpu MK diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 27A
(1) Mahkamah Konstitusi bersama-sama dengan Komisi Yudisial menyusun dan menetapkan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim Konstitusi yang berisi norma yang harus dipatuhi oleh setiap hakim


konstitusi dalam menjalankan tugasnya untuk menjaga kehormatan dan perilaku hakim konstitusi.
(2)        Dalam menyusun Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim Konstitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Mahkamah Konstitusi dan Komisi Yudisial dapat mengikutsertakan pihak lain yang berkompeten.
(3)        Kode etik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersifat mengikat serta wajib dipatuhi oleh hakim konstitusi.
(4)        Untuk menegakkan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim Konstitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Mahkamah Konstitusi bersama-sama dengan Komisi Yudisial membentuk Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi yang bersifat tetap.
(5)        Keanggotaan Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) berjumlah 5 (lima) orang yang terdiri atas unsur:

a.     1 (satu) orang mantan hakim konstitusi;
b.     1 (satu) orang praktisi hukum;
c.     2 (dua) orang akademisi yang salah satu atau keduanya berlatar belakang di bidang hukum; dan
d.     1 (satu) orang tokoh masyarakat.
(6)        Anggota Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) harus memenuhi syarat sebagai berikut:

a.     memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela;
b.     adil;
c.     berusia paling rendah 50 (lima puluh) tahun; dan
d.     tidak menjadi anggota partai politik dalam jangka waktu paling singkat 5 (lima) tahun sebelum diangkat menjadi anggota Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi.
(7)        Masa jabatan Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) selama 5 (lima) tahun dan tidak dapat dipilih kembali.
(8)        Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi mempunyai wewenang untuk:

a.   memanggil hakim konstitusi yang diduga melakukan pelanggaran kode etik untuk memberikan penjelasan dan pembelaan;
b.   memanggil pelapor, saksi, dan/atau pihak lain yang terkait untuk dimintai keterangan, termasuk untuk dimintai dokumen atau bukti lain; dan
c.   memberikan sanksi kepada hakim konstitusi yang terbukti melanggar kode etik.
(9)        Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi bersidang secara terbuka untuk melakukan pemeriksaan dugaan adanya pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh hakim konstitusi
(10)     Ketentuan bersidang secara terbuka sebagaimana dimaksud pada ayat (9) tidak berlaku terhadap pemeriksaan yang terkait dengan perbuatan asusila dan pemeriksaan yang dapat mengganggu proses penegakan hukum yang sedang berjalan.
(11)     Putusan Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi bersifat final dan mengikat.
(12)     Putusan Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi berupa sanksi atau rehabilitasi diambil dalam rapat pleno Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi.


(13)     Ketentuan lebih lanjut mengenai kode etik dan pedoman perilaku hakim konstitusi, tata cara pemilihan Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi, susunan organisasi dan tata kerja Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi diatur dengan Peraturan Bersama Mahkamah Konstitusi dan Komisi Yudisial.
(14)     Untuk mendukung pelaksanaan tugas Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi dibentuk sekretariat yang berkedudukan di Komisi Yudisial dan dipimpin oleh Sekretaris Jenderal Komisi Yudisial.

Bab VII Ketentuan Peralihan ditambah 1 (satu) pasal, yakni Pasal 87A sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 87A
Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi tetap melaksanakan tugas sampai dengan terbentuknya Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini.
Menurut pendapat Ahli, melalui pembentukan MKHK yang independen ini, maka pengawasan perilaku hakim MK dapat dilaksanakan secara kontinyu (tidak insidentil) dan obyektif, serta tidak bertentangan dengan Putusan MK terkait pembatalan kewenangan pengawasan KY (tidak ada anggota KY dalam MKHK - sesuai putusan MK Nomor 005/PUU-IV/2006 mengenai Uji Materi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial dan Uji Materi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasan Kehakiman, terhadap UUD 1945).
Penempatan sekretariat MKHK di KY juga lebih menjamin MKHK betul-betul menjadi pengawas eksternal yang independen dari MK dari tiga sisi, yaitu independen secara fungsional, independen secara struktural, dan yang tak kalah penting adalah independen secara finansial, mengingat kebutuhan MKHK nantinya akan dipenuhi oleh Sekretariat Jenderal (Setjen) KY, bukan Setjen MK.
3. Batas Waktu Paling Singkat 7 (Tujuh) Tahun Bagi Calon Hakim Konstitusi
Dalam Pasal 15 ayat (2) huruf i Perppu MK diatur mengenai syarat untuk menjadi hakim konstitusi, yaitu "tidak menjadi anggota partai politik dalam jangka waktu paling singkat 7 (tujuh) tahun sebelum diajukan sebagai calon hakim konstitusi."


Menurut pendapat Ahli, penetapan batasan waktu "paling singkat 7 (tujuh) tahun" tersebut dinilai cukup untuk memberikan jaminan independensi dan imparsialitas seorang Hakim Konstitusi dalam memeriksa dan memutus perkara-perkara di Mahkamah Konstitusi, khususnya Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU).
Hal demikian juga sejalan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 81/PUU-IX/2011 mengenai uji materi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum terhadap UUD 1945, yang dalam pertimbangan hukum Putusannya memberikan beberapa pertimbangan berikut ini:
e.      " Pelepasan hak anggota partai politik untuk menjadi anggota komisi
pemilihan umum bukan sesuatu hal yang bertentangan dengan konstitusi dan hak asasi manusia, karena justru hal tersebut diperlukan untuk menjamin fairness dalam pemilihan umum, yang artinya memenuhi/melindungi hak-hak peserta lain dalam pemilihan umum;....;"
f.       "...Namun, dalam ketentuan pengunduran diri dari keanggotaan partai politik yang tidak ditentukan jangka waktunya tersebut, menurut Mahkamah dapat dipergunakan sebagai celah oleh partai politik untuk masuknya kader partai politik ke dalam komisi pemilihan umum. Hal ini justru bertentangan dengan sifat "mandiri" dari komisi pemilihan   umum yang dinyatakan dalam Pasal 22E ayat (5) UUD
1945;...";
g.      "...Mahkamah berpendapat syarat pengunduran diri dari keanggotaan partai politik sebagaimana diatur dalam Undang-Undang a quo, harus diberi batasan waktu. Secara sosiologis, untuk memutus hubungan antara anggota partai politik yang mencalonkan diri dengan partai politik yang diikutinya, perlu ditetapkan tenggang waktu yang patut dan layak, sesuai dengan prinsip-prinsip kemandirian organisasi penyelenggara pemilihan umum;...;"
h.      Tenggang waktu pengunduran diri dari partai politik, menurut Mahkamah adalah patut dan layak jika ditentukan sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun sebelum yang bersangkutan mengajukan diri sebagai calon anggota komisi pemilihan umum...".


Berdasarkan pertimbangan tersebut, maka sangat tepat kiranya, jika Hakim Konstitusi dengan kewenangan konstitusional yang jauh lebih strategis dan nantinya akan memutus sengketa hasil pemilihan umum, membutuhkan jaminan independensi dan imparsialitas yang tinggi, sehingga perlu diberikan masa jeda sebagai anggota Parpol selama 7 (tujuh) tahun, lebih lama daripada tenggat waktu pengunduran diri calon anggota KPU dari Parpol.
2.  Mohammad Fajrul Falaakh, S.H., M.H., M.Sc "Kegentingan yang memaksa"
Tidak ada landasan konstitusional mempersoalkan alasan "kegentingan yang memaksa" penerbitan Perppu Nomor 1 Tahun 2013 karena DPR sudah menyetujui Perppu tersebut menjadi Undang-Undang (UU Nomor 4 Tahun 2014). Setelah disetujui DPR maka bukan kewenangan MK untuk menilai kegentingan dimaksud. MK berwenang menilai substansi muatannya sebagai muatan Undang-Undang berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945.
Status Komisi Yudisial
Komisi Yudisial (KY) memerankan checks and balances dengan Presiden dan DPR pada perekrutan hakim agung [Pasal 24A ayat (3) dan frasa pertama Pasal 24B ayat (1) UUD 1945]. KY bukan pendukung yudikatif karena kewenangan KY bukan termasuk kewenangan di bidang peradilan, misalnya sebagaimana kewenangan polisi penyelidik, jaksa penuntut umum, atau juru sita. KY bukan badan yang fungsinya terkait dengan kekuasaan kehakiman (baca: kekuasaan mengadili, teknis yustisi).
Pasal 25 maupun Pasal 24C ayat (6) UUD 1945 menentukan bahwa hakim dapat diberhentikan. KY memiliki kewenangan "dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat, serta perilaku hakim" [Pasal 24B ayat (1) UUD 1945] yang mencakup semua hakim (menurut MPR,
2003: 195).
Maka wajar bahwa peran KY dalam konteks ini diatur dalam suatu Undang-Undang. Kewenangan KY dalam konteks ini bukan merupakan hubungan kekuasaan (power relationship atau gezag verhouding) dan bukan wujud dari kekuasaan mengadili (baca: teknis yustisi). Kewenangan KY ini dalam konteks perilaku profesi hakim (judicial conduct).


Seleksi calon hakim konstitusi
UUD 1945 menentukan perekrutan sembilan hakim MK melalui model split and quota yaitu memberi "jatah" Presiden, DPR dan MA untuk "memajukan" tiga hakim konstitusi. Tiga lembaga berkuasa memajukan Hakim MK. Sejak tahun 2003 perekrutan Hakim MK mengalami politisasi dalam bentuk kooptasi yudikatif oleh koalisi dan distribusi kepentingan sesuai konfigurasi politik ("koalisi pemerintahan presidensial") di Komisi III DPR. Sejak awal DPR merekrut secara terbuka. Berarti kewenangan memajukan hakim konstitusi bukanlah prerogatif DPR, MA maupun Presiden. Syarat transparansi dan akuntabilitas perekrutan dalam UU MK 2003/2011 juga menegaskan bahwa pengajuan hakim konstitusi oleh ketiga lembaga itu bukanlah prerogatif.
Tetapi: MA tak pernah transparan; Presiden mengumumkan pencalonan tanpa transparansi hasil seleksinya pada tahun 2008 dan tanpa transparansi pada perekrutan tahun 2010 dan 2013; keterbukaan perekrutan oleh DPR hanya untuk melegitimasi penjatahan Hakim Konstitusi bagi sejumlah anggota Komisi III (2003, 2008, 2009, 2013). Hasil akhirnya adalah dominasi "koalisi pendukung Presiden" di tubuh MK.
Standar internasional perekrutan hakim, misalnya Basic Principles on the Independent of the Judiciary (Resolusi PBB 1985 Nomor 40/32 dan Nomor 40/146) dan Beijing Statement of Principles on the Independence of the Judiciary in the Law Asia Region (1997), menuntut bahwa jika proses perekrutan melibatkan eksekutif dan atau legislatif maka politisasi harus dikurangi. Seleksi oleh suatu komisi yudisial merupakan metode yang dapat diterima.
UU Nomor 4 Tahun 2014 mengatur pembentukan Panel Ahli (PA) oleh KY namun Undang-Undang ini tidak menentukan bahwa KY mendominasi PA. Jadi, PA bukan instrumen KY karena PA independen terhadap KY. PA menyampaikan hasil seleksi bakal calon Hakim Konstitusi (BCHK) kepada Presiden, DPR atau MA -sesuai dengan "jatah" hakim yang lowong di MK. Suatu model proses perekrutan yudikatif (model of judicial recruitment process) dapat ditentukan dalam Undang-Undang (kebijakan politik, legal policy) bahwa Presiden, DPR atau MA memerankan PA sebagai suatu panitia seleksi (Pansel) untuk menyeleksi BCHK yang direkrut sendiri oleh ketiga


lembaga, kemudian Pansel menghasilkan short-listed candidates dan akhirnya lembaga (Presiden, DPR atau MA) itulah yang menentukan calon Hakim MK. Model proses perekrutan yudikatif tersebut bukan melanggar konstitusi. Model ini menghindari penunjukan anggota partai di DPR, penunjukan oleh Presiden maupun penunjukan oleh atasan (di MA). Proses ini menyumbang independensi MK dengan mengurangi politisasi perekrutan yudikatif meski pihak legislatif dan eksekutif terlibat dalam proses tersebut. Apabila difahami dari UU MK 2003/2011, yang hanya menentukan bahwa pencalonan Hakim MK dilakukan secara transparan dan partisipatif serta pemilihannya dilakukan secara akuntabel, namun pengaturannya diserahkan kepada masing-masing lembaga, maka Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 melanjutkan pengaturan untuk merekrut secara transparan dan akuntabel karena Hakim MK dihasilkan bukan dari penunjukan langsung oleh Presiden, DPR atau MA.
MKHK bukan perangkat MK atau KY
Kewenangan KY dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta perilaku hakim, termasuk dalam rangka pemberhentian Hakim Agung dan Hakim Konstitusi, adalah dalam konteks perilaku profesi hakim (judicial conduct).
Undang-Undang Nomor 4 tahun 2014 tidak memulihkan kewenangan KY seperti dalam UU KY 2004. KY tak mengawasi Hakim Konstitusi. KY hanya diikutkan bersama MK untuk membentuk Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi (MKHK). MKHK bukan perangkat MK maupun KY, keanggotaannya tidak dimonopoli MK maupun KY. MKHK bersifat permanen, bukan ad hoc, dan kesekretariatannya di KY.
3.  Prof. Dr. Philipus M. Hadjon, S.H. I. Isu Hukum
1. Legal Standing Pemohon Pertanyaan:
a.   Apa saja hak konstitusional Pemohon yang dirugikan oleh UU in litis?
b.   Apakah ketentuan Pasal 3 butir a Peraturan MK Nomor 06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang tidak bertentangan dengan ketentuan Pasal 51 ayat (1) UU Nomor 24 Tahun 2003 juncto UU Nomor 8 Tahun 2011?


2.  Kegentingan yang mendesak Pertanyaan:
Apakah yang diajukan pengujian adalah UU Nomor 4 Tahun 2014 tentang Penetapan PERPPU Nomor 1 Tahun 2014 menjadi UU atau PERPPU Nomor
1 Tahun 2014?
3.  Independensi Kekuasan Hakim Pertanyaan:

a.   Apa konsep independensi hakim?
b.   Apakah  dengan  Undang-Undang in litis berujung  pada hilangnya independensi kekuasaan kehakiman?
4.  Asas Nemo Judex in Re Sua Pertanyaan:
Apakah pengujian Undang-Undang in litis oleh MK tidak bertentangan asas nemo judex in re sua? II. Analisis
Isu 1: Legal Standing Pemohon
Pertanyaan a: Apa saja hak konstitusional pemohon yang dirugikan oleh Undang-Undang in litis?
Tidak nampak jelas dalam uraian Pemohon hak konstitusional yang dirugikan.
Dalil Pemohon yang menyatakan Undang-Undang in litis memberi pengaruh terhadap penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang berujung pada hilangnya independensi kekuasaan kehakiman.
Terhadap dalil tersebut dipertanyakan: apakah itu menjadi hak konstitusional Pemohon? Bagaimana menjelaskan hubungan causalnya? Pertanyaan b: Apakah ketentuan Pasal 3 butir a Peraturan MK Nomor 06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang tidak bertentangan dengan ketentuan Pasal 51 ayat (1) UU Nomor 24 Tahun 2003 juncto UU Nomor 08 Tahun 2011? Meskipun dalam permohonan Pemohon tidak secara eksplisit disebutkan ketentuan Pasal 3 butir a Peraturan MK Nomor 06/PMK/2005 berkaitan dengan legal standing namun harus ditegaskan bahwa ketentuan Pasal 3 tersebut tidak sejalan dengan ketentuan Pasal 51 UU MK.


Dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK ditegaskan bahwa Pemohon adalah pihak yang hak konstitusionalnya dirugikan. Dalam Pasal 3 butir a dinyatakan bahwa Pemohon adalah: a.  Perorangan WNI atau kelompok orang yang mempunyai kepentingan sama.
Terhadap ketentuan yang bertentangan tersebut berlaku asas preferensi lex superior. Atas dasar itu ketentuan Pasal 3 butir a Peraturan MK a quo harus di kesampingkan (non application).
Atas dasar itu dalil Pemohon yang menyatakan: Pemohon adalah WNI selaku pembayar pajak (tax payer) yang kesemuanya adalah Advokat dan Konsultan Hukum yang tergabung dalam Forum Pengacara Konstitusi tidak bisa dijadikan dasar legal standing pemohon in casu.
Isu 2: Kegentingan yang mendesak
Pertanyaan: Apakah yang diajukan pengujian adalah UU Nomor 4 Tahun
2014 tentang Penetapan PERPPU Nomor 1 Tahun 2013 menjadi Undang-
Undang atau PERPPU Nomor 1 Tahun 2013?
Yang diuji adalah UU Nomor 4 Tahun 2014 dan bukan PERPPU.
Oleh karena itu sanggahan Pemohon terhadap alasan keadaan kepentingan
yang memaksa tidak relevan.
Isu 3: Independensi Kekuasan Hakim Pertanyaan a: Apa konsep independensi hakim?
Asas kekuasaan kehakiman yang merdeka dalam pelaksanaannya tergantung dari komponen fungsional dan komponen struktural. Komponen fungsional terdiri atas bebas dari (freedom from) campur tangan dan bebas untuk melaksanakan fungsi peradilan serta dihormatinya asas kekebalan hakim yaitu no reprisal for their decisions. Komponen struktural terdiri atas struktur dan organisasi lembaga negara, struktural dan organisasi peradilan, sistem seleksi (calon) hakim dan status kepegawaian hakim.
(Vide: R. Wallace Brewster, Government in Modern Society, Houghtun Mifflin, Boston, 1963).
Pertanyaan b: Apakah dengan Undang-Undang in litis berujung pada hilangnya independensi kekuasaan kehakiman?


Ratio legis Undang-Undang in litis justru dalam rangka mewujudkan Hakim Konstitusi yang memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela serta dalam rangka menyelamatkan demokrasi dan negara hukum Indonesia serta untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap Mahkamah Konstitusi.
Atas dasar itu dalil Pemohon: yang berujung padal hilangnya independensi kekuasaan kehakiman adalah tidak rasional dan tidak berdasar hukum.
Isu 4: Asas Nemo Judex in Re Sua
Pertanyaan: Apakah pengujian Undang-Undang in litis oleh MK tidak bertentangan asas nemo judex in re sua?
Pengujian materi atau substansi Undang-Undang yang mengatur tentang syarat Hakim Konstitusi seperti antara lain dalam Pasal 15 ayat (2) butir 1 Undang-Undang in litis melanggar asas yang dianut dalam civil law system (yang juga kita anut) yaitu nemo iudex in re sua - tidak seorangpun boleh menjadi hakim dalam perkaranya sendiri.
Bahwa ketentuan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 memberi kewenangan kepada Mahkamah Konstitusi untuk menguji Undang-Undang, namun berdasarkan asas tersebut Mahkamah Konstitusi jangan menguji materi tentang syarat untuk menjadi Hakim Konstitusi dan pengawasan terhadap hakim konstitusi.
Atas dasar itu jangan terulang pengujian terhadap Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial yang menyangkut kewenangan Komisi Yudisial mengawasi Hakim Konstitusi (Putusan MK Nomor 005/PUU-IV/2006).
4.  Dr. Tamrin Amal Tomagola I. Konteks Kemasyarakatan
Dalam perspektif kajian negara dalam masyarakat (State In Society), dipahami bahwa pada awalnya, negara banyak meminjam dan memanfaatkan baik berbagai perangkat nilai-nilai fundamental maupun perangkat nilai-nilai instrumental beserta rangkaian tata-norma prilaku yang telah lama dipraktekkan dalam suatu masyarakat, pada tahap lanjutan, negara, lewat berbagai kebijakan dan tata-kenegaraan serta prinsip-prinsip yang   melandasinya   dapat   berbalik   mempengaruhi   berbagai nilai


fundamental dan instrumental serta rangkaian perangkat norma-norma prilaku yang telah mapan.
Pada saat ini, baik masyarakat maupun negara Indonesia sedang proses transformatif yang cukup cepat beralih dari masyarakat dan negara yang masih luas mempraktekkan tata-nilai dan tata-norma komunal yang sangat patriakhi dan tidak tertulis, menuju suatu tata-kenegaraan dan tata sosial yang menjunjung hakat kemanusiaan yang setara, transparan, adil, partisipatif dan akuntabel. Para bapak-bapak, patriakh, sesepuh tidak lagi menggenggam otoritas mutlak yang secara berangsur diserahkan pada tatanan hukum tertulis yang disepakati lewat permusyarawatan demokratis. Bila di satu pihak masyarakat Indonesia sedang beralih dari masyarakat komunal yang sempit terbatas menuju masyarakat terbuka yang nyaris tanpa batas di era globalisasi ini, maka pada saat yang sama negara beserta tata-kenegaraan dan praktek kenegaraan yang tadinya banyak menggunakan tata-cara komunal kekerabatan secara samar maupun terang-terangan; menuju negara yang pertama dan utamanya mengacu pada Konstitusi. Negara Kekerabatan Republik Indonesia sedang bertransformasi ke arah pengokohan Negara Konstitusi Republik Indonesia yang demokratis. Berubah dari NKRI komunal ke NKRI Konstitusi.
II. Peran Strategis Mahkamah Konstitusi (MK).
Setiap rakyat Indonesia sekarang sedang dalam proses belajar perlahan melepaskan diri dari kungkungan komunal sebagai warga dari suatu komunitas terbatas untuk menjadi warga negara konstitusional. Mahkamah Konstitusi saat ini sedang memainkan paling-kurang tiga peran sentral: (1) sebagai pengawal dan penegak konstitusi; (2) sebagai pengawal dan penegak demokrasi-konstitusional: dan (3) sebagai pembawa obor-teladan kekukuhan nilai-nilai fundamental kenegarawanan yang berharkat-martabat dan bermarwah.
Dalam rangka mengemban ketiga peran mulia di ataslah, maka Mahkamah Konstitusi harus dipastikan benar solid dari segi: (1) kelengkapan tata-kelembagaannya; (2) kualitas para hakimnya; serta (3) etika profesional hakim yang tidak mengenal kompromi.
Dalam hubungan inilah, kami berpendapat bahwa UU Nomor 4 Tahun 2014 tidak saja potensial mengokohkan baik peran maupun tata-kelembagaan MK,


tetapi juga MK akan dimungkinkan mampu mempergakan nilai-nilai fundamental dalam penyelenggaraan suatu pemerintahan yang berkebajikan (good governance). Potensi kemungkinan hanya bisa diaktualkan mengejawantah bila: (1) syarat-syarat menjadi hakim MK diperketat dengan pagar-pagar keutamaan profesi dan kenegrawanan; (2) proses seleksi terkawal ketat dari kemungkinan manipulasi politik sempit: (3) pengawasan melembaga permanen yang independen.
III. Signifikansi Sosiologis UU Nomor 4/2014
Undang Undang ini signifikan paling-kurang dalam pengetatan pengaturan tiga hal utama yang tersurat maupun tersirat mengandung dan mengusung nilai-nilai fundamental yang sudah sepatutnya dijunjung oleh suatu penyelenggaraan pemerintahan berkebajikan (good governance). Pertama, nilai-nilai fundamental tentang profesionalisme dan kenegarawanan. Hakim-hakim MK yang menjungjung kedua nilai fundamental itu hanya bisa ditemukan bila penguasaan keilmuan hukum dimiliki secara mumpuni, yang antara lain diketahui dari jenjang pendidikan akademis yang didapat. Tapi syarat ini hanya 'syarat-perlu' (necessary condition), dan karena perlu dilengkapi dengan "jam-terbang praktek" sebagai praktisi hukum ke-tata-negaraan. Bila syarat terakhir ini (sufficient condition) dapat secara memuaskan dipenuhi, barulah seorang dengan latar keilmuan hukum ke-tata-negraaan dapat diakui sebagai benar-benar profesional. Syarat yang terakhir ini tidak bisa ditawar. Nilai fundamental kenegarawanan adaiah nilai tidak memberi peluang bagi kepentingan sempit-terbatas manapun, apalagi kepentingan politik-praktis, untuk masuk dan mempengaruhi keputusan seorang Hakim MK. Kenegarawan berari meletakkan kepentingan negara dan bangsa di atas kepentingan lain di bawahnya (Over and Above all intrest-groups). UU Nomor 4/2014 dengan jelas dan tegas menjungjung dan menuangkan kedua nilai fundamental tersebut di atas dalam syarat-syarat menjadi Hakim MK, yaitu: mandiri, profesional dan berkarakter negarawan. Bila para Hakim MK mampu mempergakan kedua nilai fundamental itu dalam berbagai pikiran, sikap dan prilaku pengambilan keputusan, maka itu akan menjadi acuan teladan utama bagi setiap warga masyarakat bila sekali waktu menduduki jabatan kenegaraan.


Kedua, nilai-nilai fundamental pemerintahan berkebajikan. Pemerintahan berkebajikan (good governance) dalam penyelenggaraan sebuah pemerintahan demokratis juga diatur dan ditekankan oieh UU Nomor 4/2014 lewat pengaturannya tentang proses seleksi hakim konstitusi yang: transparan, partisipatif dan akuntabel. Justru karena kekuasaan MK itu hanya setingkat di bawah Tuhan, maka memang perlu dipastikan suatu proses pencarian dan penyarian Hakim MK yang paripurna terbuka untuk diawasi oleh publik luas secara transparan.
Ketiga, sesungguhnya keseluruhan sistem demokrasi berupaya secara maksimal untuk mengontrol kekuasaan yang digdaya seperti kekuasaan MK untuk tidak digunakan secara sembrono dan tidak betanggung-jawab. Karena itu memang diperlukan suatu Majelis Kehormatan MK yang beranggotakan warga negara pilihan yang mumpuni baik dalam keilmuan maupun dalam karakter pribadi.
5.  Prof. Dr. Saldi Isra S.H., MPA
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu Nomor 1/2013 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 24/2003 tentang Mahkamah Konstitusi disetujui DPR, mengundang debat di sekitar pemenuhan syarat hal ihwal kegentingan memaksa sebagaimana termaktub dalam Pasal 22 UUD 1945. Awalnya, perdebatan lebih banyak berfokus pada keterpenuhan klausul "hal ihwal kegentingan memaksa" seperti diatur dalam Pasal 22 ayat (1) UUD 1945 sebagai landasan konstitusional hak subyektif Presiden menerbitkan Perppu. Secara konstitusional, Perppu diakui sebagai salah satu bentuk peraturan perundang-undangan.
Dalam hal ini, Pasal 22 UUD 1945 memberikan pengaturan mendasar, yaitu: pertama, hak Presiden menerbitkan Perppu hanya dimungkinkan karena alasan "dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa"; kedua, setelah dikeluar-kan, Perppu harus mendapat persetujuan DPR dalam persidangan yang berikut dan ketiga, jika dalam masa persidangan berikutnya tidak mendapat persetujuan DPR, maka Perppu itu harus dicabut. Sesuai dengan ketentuan itu, Perppu merupakan hak darurat (nood verordeningsreht) Presiden untuk menerbitkan produk hukum dengan nama peraturan pemerintah, namun dengan substansi Undang-Undang.


Dari sejarah hukum, terbukanya ruang Presiden menerbitkan Perppu adalah untuk menjamin keselamatan negara dalam keadaan genting memaksa, yang memungkinkan Presiden bertindak cepat. Karenanya, alasan menerbitkan Perppu berada dalam wilayah subyektif Presiden. Secara sederhana, Perppu adaiah emergency power yang dimiliki Presiden. Setelah diterbitkan Presiden, hak subyektif tersebut dinilai oleh DPR. Melihat situasi paska penangkapan Akil Mochtar, Ahli termasuk salah seorang yang menyoal keterpenuhan persyaratan penerbitan Perppu tersebut. Ahli percaya, secara akademik tidak mungkin menghentikan perdebatan tersebut, termasuk perdebatan di sekitar penerbitan Perppu yang pernah ada.
Namun demikian, terkait dengan Perppu Nomor 1/2013, secara faktual DPR telah menyetujuinya menjadi Undang-Undang. Artinya, perdebatan menyangkut keterpenuhan syarat hal ihwal kegentingan yang memaksa tidak begitu relevan dipersoalkan dengan cara mengajukan permohonan ke Mahkamah Konstitusi. Karena itu, Mahkamah tak relevan menjawab permohonan yang terkait dengan syarat subyektif tersebut. Kalau pun harus bertahan dengan pengujian formal, misalnya, yang paling mungkin dipersoalkan: keterpenuhan syarat pembahasan Perppu menjadi Undang-Undang. Salah satunya, apakah pembahasan dilakukan sesuai dengan persyaratan formal yang diatur internal oleh DPR. Di antara soal yang terkait dengan syarat formal, pemenuhan kuorum saat persetujuan Perppu menjadi Undang-Undang.
Sementara itu, terkait dengan substansial yang dipersoalkan Pemohon. Pertama, masalah "Panel Ahli" dan syarat yang harus dipenuhi untuk menjadi panel ahli. Terkait dengan Panel Ahli, substansi dalam UU 4/2014 ini dapat dikatakan sebagai sebuah terobosan dalam proses pengisian Hakim Konstitusi. Karena itu, pembentukan Panel Ahli Tidak dapat dimaknai sebagai bentuk upaya menambah kewenangan Komisi Yudisial (KY). Merujuk substansi dalam UU 4/2014, KY hanya "sebatas" memiiih sebagian calon panel ahli. Lalu, Panel Ahli yang akan melakukan segala macam proses dalam menentukan calon Hakim Konstitusi. Dalam berbagai perspektif, desain yang dibuat UU 4/2014, adalah upaya untuk menjadikan proses pengisian calon Hakim Konstitusi lebih terbuka dan demokratis.


Dalam batas penalaran yang wajar, pembentukan Panel Ahli tidak hanya membuat proses pengisian calon Hakim Konstitusi menjadi lebih terbuka dan demokratis, tetapi juga untuk mengurangi segala macam kepentingan yang ada di lembaga-lembaga yang diberikan wewenang untuk mengusulkan calon Hakim Konstitusi. Karena itu, Panel Ahli dapat dikatakan sebagai "institusi" netral yang didesain dalam pengisian calon Hakim Konstitusi. Dengan pembentukan Panel Ahli, masyarakat memiliki kesempatan berpartisipasi dalam proses pengisian calon Hakim Konstitusi.
Berkenaan dengan syarat yang harus dipenuhi bagi panel ahli, Undang-Undang 4/2014 menentukan persyaratan minimal pendidikan. Karena batas yang ditentukan adalah minimal, semua lembaga yang diberi wewenang untuk mengusulkan Panel Ahli dapat mencari calon dengan syarat pendidikan yang lebih tinggi (misalnya Doktor, atau Profesor Doktor). Menurut pendapat Ahli, syarat batas pendidikan minimal S2 bukanlah persoalan konstitusional sehingga tidak layak dipersoalkan melalui pengujian (judicial review) ke Mahkamah Konstitusi.
Begitu pula dengan pemikiran yang menghendaki agar calon Panel Ahli juga dipersyaratkan sebagai seorang negarawan. Selain hal ini bukan persoalan konstitusionalitas, pemikiran menambahkan syarat negarawan bagi panel ahii potensial menggerus "syarat istimewa" bagi calon hakim kontitusi sebagaimana diatur dalam Pasal 24C ayat (5) UUD 1945. Bahkan, apabila dibaca UUD 1945, syarat negarawan hanya diperlukan bagi Hakim Konstitusi. Syarat tersebutlah yang menunjukkan keistimewaan seorang Hakim Konstitusi. Pertanyaannya; apa sebetulnya yang menjadi dasar pemikiran sehingga Panel Ahli harus memiliki persyaratan negarawan? Karena ini bukan persoalan konstitusional, keinginan menambahkan syarat negarawan dapat saja dikatakan sebagai bentuk resistensi atas kehadiran Panel Ahli dalam perekrutan calon Hakim Konstitusi.
Sementara itu, terkait dengan pembentukan Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi (MKHK) yang dibuat secara permanen yang sekretariatnya di Komisi Yudisial, pembentukan ini sama sekaii tidak bertentangan dengan UUD 1945. Dikatakan demikian, MKHK sama sekali tidak dimaksudkan menghidupkan lagi pengawasan KY terhadap Hakim Konstitusi. Kehadiran MKHK secara  permanen  yang  bersekretariat  di   KY  adalah sebuah


keniscayaan perlu pengawasan yang bersifat permanen terhadap hakim MK. Sebagai sebuah institusi yang memiliki wewenang kuat dan strategis, tidak logis bila tidak memiliki lembaga pengawas permanen. Tanpa pengawas, sangat mungkin Hakim MK terjebak dalam perilaku power tends to corrupt, absolute power corrupt absolutely. Ahli percaya, pilihan membentuk MKHK permanen dengan sekretariat di KY akan menjadi strategi paling efektif untuk mempertahankan MK sebagai sebuah lembaga terhormat.

[2.6]     Menimbang bahwa terhadap permohonan para Pemohon, Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) menyampaikan keterangan tertulis yang diterima Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 10 Februari 2014, yang pada pokoknya menyatakan sebagai berikut:
A. POKOK PERMOHONAN  PENGUJIAN UU PENETAPAN PERPU NOMOR 1 TAHUN 2013 TERHADAP UUD 1945
Para Pemohon dalam permohonannya mengajukan pengujian Formil dan materiil atas UU Penetapan Perppu Nomor 1 Tahun 2013, sebagai berikut: I. Perkara Nomor 1/PUU-XII/2014
Dalam Perkara Nomor 1/PUU-XII/2014, para Pemohon berpendapat bahwa prosedur penetapan Perpu Nomor 1 Tahun 2013 menjadi Undang-Undang telah cacat hukum baik dari segi prosedur (formil) maupun materiil yang pada pokoknya sebagai berikut:
a. Alasan Formil, para Pemohon pada pokoknya berpendapat:
1. Tidak ada unsur kegentingan yang memaksa sebagaimana telah dimaknai dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-VIII/2009 yang menentukan 3 syarat agar suatu keadaan memaksa yaitu:
a.   kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan Undang-Undang;
b.   Undang-Undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, atau ada Undang-Undang tetapi tidak memadai;
c.   kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat Undang-Undang secara prosedur biasa karena akan memakai waktu yang cukup lama, sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan.


2. Perpu hanya dapat dibuat pemerintah bila Dewan Perwakilan Rakyat sedang dalam reses, tetapi faktanya pemerintah tetap mengeluarkan Perpu sekalipun DPR tidak dalam keadaan reses. b. Alasan   Materiil,   para   Pemohon   dalam   permohonannya tidak menyebutkan secara spesifik pasal mana yang dianggap bertentangan dengan konstitusi, akan tetapi pada pokoknya berpendapat bahwa Perpu Nomor 1 Tahun 2013 bertentangan dengan UUD 1945 yang menyangkut 3 (tiga) hal utama yaitu:
1.     Penambahan persyaratan untuk menjadi Hakim konstitusi yaitu tidak menjadi anggota partai politik dalam jangka waktu paling singkat 7 (tujuh) tahun sebelum diajukan sebagai calon Hakim Konstitusi;
2.     Mekanisme proses seleksi dan pengajuan Hakim Konstitusi yang terlebih dahulu dilakukan fit and proper test yang dilaksanakan oleh Panel Ahli yang dibentuk oleh Komisi Yudisial. Para Pemohon beranggapan ketentuan tersebut telah memperbesar kewenangan Komisi Yudisial dengan turut serta menyeleksi Hakim Konstitusi.
3.     Sistem pengawasan yang dilakukan oleh Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi (MKHK) yang sifatnya permanen yang dibentuk bersama oleh Komisi Yudisial dan Mahkamah Konstitusi.
II. Perkara Nomor 2/PUU-XII/2014
Dalam Perkara Nomor 2/PUU-XII/2014, para Pemohon mengajukan pengujian Pasal 18A ayat (1), Pasal 18B, Pasal 18C ayat (3) dan Pasal 27A ayat (1) dan ayat (4) Perpu Nomor 1 Tahun 2013 yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 18A ayat (1):
"Hakim konstitusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) sebelum ditetapkan Presiden, terlebih dahulu harus melalui uji kelayakan dan kepatutan yang dilaksanakan oleh Panel Ahli" Pasal 18B:
"Panel Ahli menyelesaikan tugasnya dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan setelah dibentuk oleh Komisi Yudisial" Pasal 18C ayat (3) :
Panel Ahli harus memenuhi syarat sebagai berikut:
a.    memiliki reputasi dan rekam jejak yang tidak tercela;
b.    memiliki kredibilitas dan integritas;


c.   menguasai ilmu hukum dan memahami Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
d.   berpendidikan paling rendah magister;
e.   berusia paling rendah 50 (lima puluh) tahun; dan
f.    tidak menjadi anggota partai politik dalam jangka waktu paling singkat 5 (lima) tahun sebelum Panel Ahli dibentuk.
Pasal 27A ayat (1) dan ayat (4):
(1) Mahkamah Konstitusi bersama-sama dengan Komisi Yudisial menyusun dan menetapkan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim Konstitusi yang berisi norma yang harus dipatuhi oleh setiap hakim konstitusi dalam menjalankan tugasnya untuk menjaga kehormatan dan perilaku hakim konstitusi.
(4) Untuk menegakkan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim Konstitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Mahkamah Konstitusi bersama-sama dengan Komisi Yudisial membentuk Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi yang bersifat tetap.
B. HAK DAN/ATAU KEWENANGAN KONSTITUSIONAL YANG DIANGGAP
PARA   PEMOHON    TELAH    DIRUGIKAN    DENGAN    BERLAKU UU
PENETAPAN PERPU NOMOR 1 TAHUN 2013
Para Pemohon dalam permohonannya, mengemukakan bahwa hak konstitusionalnya telah dirugikan atau setidaknya potensial dirugikan oleh berlakunya UU Penetapan Perpu Nomor 1 Tahun 2013, yang pada pokoknya sebagai berikut:
I.       Perkara Nomor 1/PUU-XII/2014
Para Pemohon mengalami ketidakpastian hukum sebagai seorang warga negara sehingga terlanggar hak-haknya untuk mendapatkan kepastian hukum sebagaimana dijamin dalam Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD
1945.
II.      Perkara Nomor 2/PUU-XII/2014
Para Pemohon merasa dirugikan secara konstitusional atau pasti mengalami potensi kerugian karena hak-hak konstitusional para Pemohon untuk mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan seterusnya sebagaimana diatur dalam Pasal 28C ayat (1) UUD 1945 serta mendapat pengakuan, jaminan perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta mendapat perlakuan yang sama didepan hukum sebagaimana dijamin dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 dengan keberadaan Panel Ahli yang berfungsi untuk melakukan uji kelayakan dan kepatutan terhadap calon Hakim Konstitusi yang dibentuk oleh Komisi Yudisial serta persyaratan untuk menjadi


anggota Panel Ahli khususnya persyaratan berusia paling rendah 50 tahun serta persyaratan berpendidikan paling rendah megister.
C. KETERANGAN DPR RI
I.      Kedudukan Hukum {Legal Standing)
Mengenai kedudukan hukum (legal standing) para Pemohon a quo, DPR berpandangan bahwa para Pemohon harus dapat membuktikan terlebih dahulu apakah benar para Pemohon sebagai pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan atas berlakunya ketentuan yang dimohonkan untuk diuji, khususnya dalam mengkonstruksikan adanya kerugian terhadap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya sebagai dampak dari diberlakukannya ketentuan yang dimohonkan untuk diuji.
Terhadap kedudukan hukum (legal standing) para Pemohon, DPR menyerahkan sepenuhnya kepada Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang mulya untuk mempertimbangkan dan menilai apakah Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) atau tidak sebagaimana yang diatur oleh Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi dan berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-III/2005 dan Nomor 011/PUU-V/2007.
II.    Pengujian UU Penetapan Perpu Nomor 1 Tahun 2013
Terhadap pandangan-pandangan para Pemohon baik dalam Permohonan Perkara Nomor 1/PUU-XII/2014 dan Nomor 2/PUU-XII/2014,
DPR memberikan keterangan sebagai berikut:
A. Pengujian Formil
1. Bahwa prinsip Pengujian Formil Undang-Undang berdasarkan ketentuan Pasal 51 ayat (3) UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi adalah pengujian formal menyangkut permohonan bahwa "pembentukan Undang-Undang tidak memenuhi ketentuan berdasarkan UUD 1945". Dengan demikian pengujian secara formil adalah menguji, apakah norma tentang pembentukan (penyusunan) Undang-Undang sudah sesuai dengan norma yang oleh konstitusi dikehendaki untuk diikuti.


2.   Bahwa secara eksplisit prosedur formal Penetapan Perpu menjadi
undang-undang telah diatur secara tegas dalam ketentuan
Pasal
22 UUD 1945 yang berbunyi sebagai berkut:
(1)   Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang
(2)   Peraturan pemerintah itu harus mendapat persetujuan Dewan Per wakilan Rakyat dalam persidangan yang berikut.
(3)   Jika tidak mendapat persetujuan, maka peraturan pemerintah itu harus dicabut.

3.    Bahwa syarat hal ihwal kegentingan yang memaksa sebagai syarat formal bagi Presiden untuk dapat menetapkan Perpu Nomor 1 Tahun 2013 secara eksplisit dijelaskan dalam konsideran menimbang huruf b dan Pejelasan Umum UU Penetapan Perpu Nomor 1 Tahun 2013 yang pada pokoknya sebagai berikut:
"Pada saat ini kewibawaan dan kepercayaan masyarakat terhadap hakim konstitusi menurun, padahal hakim konstitusi mengemban amanah sangat penting untuk menjaga tegaknya demokrasi dan pilar negara hukum, sehingga perlu dilakukan upaya penyelamatan terhadap hakim konstitusi secara cepat, khususnya menjelang pelaksanaan pemilihan umum 2014 yang sangat strategis bagi keberlanjutan kehidupan demokrasi di tanah air. Jika ketidakpercayaan masyarakat terhadap hakim konstitusi tidak segera dipulihkan akan berimplikasi terhadap legitimasi hasil pemilihan umum 2014 yang sengketanya merupakan kewenangan hakim konstitusi untuk mengadili."
"Mengingat pelaksanaan pemilihan umum 2014 sudah sangat dekat, diperlukan langkah-langkah cepat dan mendesak untuk memulihkan kewibawaan dan kepercayaan masyarakat terhadap hakim konstitusi dengan melakukan perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi terutama mengenai syarat dan tata cara seleksi, pemilihan, dan pengajuan calon hakim konstitusi serta pembentukan Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi"
4.    Bahwa syarat formal selanjutnya adalah Perpu a quo harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Dalam proses pembahasan Perpu a quo terjadi dinamika perdebatan dalam berbagai hal, khususnya mengenai hal ihwal kegentingan yang memaksa, namun pada akhirnya melalui mekanisme voting dalam Rapat Paripurna tanggal 19 Desember 2013, DPR telah menyetujui Perpu a quo untuk


ditetapkan menjadi Undang-Undang. Dari hasil voting tersebut, sebanyak 221 suara mendukung berlakunya Perppu a quo. Suara ini berasal dari 129 suara dari Fraksi Partai Demokrat, 26 suara Golkar, 28 suara PAN, 20 suara PPP, dan PKB sebanyak 18 suara. Sedangkan yang menolak sebanyak 148 suara, masing-masing dari Fraksi PDIP sebanyak 79 suara, PKS 41 suara, PPP ada 3 suara, dari Gerindra 16 suara, dan dari Fraksi Hanura 9 suara. 5. Bahwa berdasarkan uraian di atas, DPR berpendapat secara formal penetapan Perpu Nomor 1 Tahun 2013 menjadi UU telah sesuai dengan ketentuan Pasal 22 UUD 1945 B. Pengujian Materiil
1.   Bahwa ketentuan Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 menegaskan "kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan kekuasaan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi"
2.   Bahwa berdasarkan Pasal 24 ayat (2) UUD 1945, maka Mahkamah Konstitusi adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman yang berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 mempunyai kewenangan mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
3.   Bahwa ketentuan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 secara tegas menyatakan "kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar". Salah satu bentuk pelaksanaan kedaulatan rakyat dalam bidang kekuasaan kehakiman, Khususnya dalam hal penetapan Hakim Konstitusi telah diatur secara tegas dalam ketentuan Pasal 24C ayat (3) dan ayat (5) UUD 1945 yang berbunyi sebagai berikut:
(3) Mahkamah Konstitusi mempunyai sembilan orang anggota hakim konstitusi yang ditetapkan oleh Presiden, yang diajukan masing­


masing tiga orang oleh Mahkamah Agung, tiga orang oleh Dewan Perwakilan Rakyat, dan tiga orang oleh Presiden. (5) Hakim konstitusi harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan, serta tidak merangkap sebagai pejabat negara.
4.     Bahwa menurut pendapat DPR, ketentuan Pasal 24C ayat (3) UUD 1945 telah mengatur secara tegas mengenai penetapan hakim konstitusi yang secara limitatif menentukan baik dari sisi jumlah Hakim Konstitusi yang diajukan maupun lembaga negara yang berhak untuk mengajukan Hakim Konstitusi yaitu Mahkamah Agung (MA), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Presiden yang masing-masing mengajukan 3 (tiga) orang Hakim Konstitusi untuk ditetapkan oleh Presiden.
Dalam risalah rapat pembahasan perubahan UUD 1945 khususnya pada awal-awal rapat pembahasan PAH I BP MPR masa sidang tahun 2000 perihal Hakim MK, hampir semua fraksi PAH I MPR RI sependapat dengan jumlah Hakim Konstitusi sebanyak 9 orang, Sedangkan mengenai lembaga negara yang berwenang mengajukan hakim pada umumnya juga terdapat pendapat bahwa anggota Mahkamah Konstitusi diatur secara tegas yang menunjukan perimbangan kekuasaan yaitu legislatif, eksekutif dan yudikatif, setiap kekuasaan terwakili dalam keanggotaan Mahkamah Konstitusi dengan jumlah yang sama yaitu 3 (tiga) orang. (dikutip dari buku naskah komprehensif perubahan UUD 1945, buku IV tentang kekuasaan kehakiman)
5.     Bahwa setiap lembaga negara (MA, DPR, dan Presiden) yang memiliki wewenang konstitusional mengajukan hakim konstitusi sebagaimana diamatkan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, harus memiliki mekanisme internal yang berfungsi menyeleksi calon hakim Mahkamah Konstitusi. Dalam proses seleksi yang dilakukan oleh masing-masing lembaga negara tersebut mekanisme kerjanya harus transparan, partisipatif, dan akuntabel.
6.     Bahwa Pasal 24C ayat (3) UUD 1945 hanya mengatur hal-hal yang bersifat umum, pasal a quo tidak mengatur hal-hal yang bersifat lebih tekhnis mengenai mekanisme bagaimana masing-masing lembaga negara (MA,  DPR,  dan  Presiden) melakukan proses seleksi,


pemilihan dan kemudian menentukan 3 (tiga) orang hakim konstitusi untuk diajukan kepada dan ditetapkan oleh Presiden. Oleh karenanya Pasal 24C ayat (6) UUD 1945 telah mengamanatkan untuk mengaturnya dengan Undang-Undang. Adapun bunyi Pasal 24C ayat (6) UUD 1945 adalah sebagai berikut: "Pengangkatan dan pemberhentian hakim konstitusi, hukum acara serta ketentuan lainnya tentang Mahkamah Konstitusi diatur dengan Undang-Undang".
7.   Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 24C ayat (6) UUD 1945, maka DPR bersama dengan Pemerintah telah membentuk UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UU Nomor 4 Tahun 2014 tentang Penetapan Perpu Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang didalamnya antara lain mengatur mekanisme pengangkatan Hakim Konstitusi yaitu sebagaimana tercantum dalam Pasal 18, Pasal 18A, Pasal 18B, Pasal 18C, Pasal 19 dan Pasal 20 UU Mahkamah Konstitusi.
8.   Bahwa terkait dengan permohonan para Pemohon yang pada pokoknya mempersoalkan konstitusionalitas mekanisme rekruitmen hakim konstitusi melalui uji kelayakan dan kepatutan oleh Panel Ahli yang dibentuk oleh Komisi Yudisial serta persyaratan untuk menjadi anggota Panel Ahli sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 18A ayat (1), Pasal 18B, Pasal 18C ayat (3) UU Penetapan Perpu Nomor 1 Tahun 2013, menurut pandangan DPR pasal-pasal a quo merupakan legal policy pembentuk Undang-Undang dalam rangka melaksanakan amanat Pasal 24C ayat (6) UUD 1945 dan untuk menghasilkan hakim-hakim konstitusi yang memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan, serta tidak merangkap sebagai pejabat negara sebagaimana diamanatkan Pasal 24C ayat (5) UUD
1945.
9.   Bahwa terkait dengan permohonan pengujian Pasal 27A ayat (4) UU Penetapan Perpu Nomor 1  Tahun 2013,  DPR berpandangan


ketentuan pembentukan Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi (MKHK) sebagaimana diatur dalam Pasal 27A ayat (4) UU a quo adalah bertujuan untuk menegakan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim Konstitusi yang berisi norma yang harus dipatuhi oleh setiap Hakim Konstitusi dalam menjalankan tugasnya untuk menjaga kehormatan dan perilaku Hakim Konstitusi. Hal tersebut telah sejalan dengan amanah Konstitusi Pasal 24C ayat (5) yang mengharuskan Hakim konstitusi memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan, serta tidak merangkap sebagai pejabat negara.

[2.7]     Menimbang bahwa terhadap permohonan para Pemohon I dan para
Pemohon II, Mahkamah meminta keterangan Komisi Yudisial dan Kepaniteraan Mahkamah menerima keterangan tertulis dari Komisi Yudisial pada tanggal 7 Februari 2014, yang pada pokoknya menyatakan sebagai berikut: I.   Tentang Posisi Hukum Komisi Yudisial
1.1.     Bahwa posisi hukum Komisi Yudisial dalam persoalan pengujian materi muatan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi Menjadi Undang-Undang adalah sebagai pelaksana dan bukan sebagai lembaga yang memiliki kewenangan (formal dan material) dalam pembentukan Undang-Undang ataupun pembentukan Perpu.
1.2.     Komisi Yudisial bukan pihak yang terkait dengan permohonan Pemohon atau tidak relevan dijadikan pihak dalam persoalan ini, sebagaimana telah dijelaskan dalam Pasal 51 ayat (3) Undang-Undang Mahkamah Konstitusi bahwa yang wajib diuraikan dengan jelas oleh Pemohon adalah tentang:

a.   Pembentukan Undang-Undang tidak memenuhi ketentuan berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan/atau;
b.  Materi muatan dalam ayat, pasal, dan/atau bagian Undang-Undang dianggap bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945;


1.3.     Dengan demikian "pihak yang terkait dengan Pemohon uji materiil ini adalah Pemerintah/Presiden (pembentuk Perpu) dan DPR sebagai lembaga yang memiliki kewenangan legislasi membetuk Undang-Undang (formal ataupun materiil) sebagaimana tertuang dalam Pasal 20 dan Pasal 22 Undang-Undang Dasar 1945.
1.4.     Pelibatan Komisi Yudisial sebagai pihak menjadi tidak relevan karena Komisi Yudisial tidak memiliki fungsi legislasi sebagaimana dijelaskan di atas, tetapi sebagai pengemban amanat Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi Menjadi Undang-Undang.
II.  Tentang Asas Hukum
2.1.     Mencermati persoalan yang diajukan Pemohon, penting bagi Mahkamah Konstitusi untuk menengok kembali asas hukum di dalam hukum acara, "seseorang tidak dapat menjadi hakim bagi dirinya sendiri" (nemo judex idoneus in propria causa)", atau juga sering di sebut dengan asas (dalam bahasa latin) Nemo iudex in causa sua (or nemo iudex in sua causa) adalah no-one should be a judge in their own cause. It is a principle of natural justice that no person can judge a case in which they have an interest. The rule is very strictly applied to any appearance of a possible bias, even if there is actually none: "Justice must not only be done, but must be seen to be done"
2.2.     Dalam penegakan hukum modern, kontrol terhadap lembaga penyelenggara kekuasaan kehakiman bukan merupakan hal yang mustahil, hal ini untuk menjaga imparsialitas hakim dan kepercayaan publik. Sebagai yurisprudensi, Pengadilan Tingkat Banding HAM Eropa membatalkan putusan The Royal Court (Pengadilan Tingkat Pertama) dengan menyatakan hakim The Royal Court tidak imparsial, karena memutus menolak perkara Pemohon yang berakibat pelemahan kepentingan hakim.
2.3.     Terkait dengan permohonan Uji Materil Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-


Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi Menjadi Undang-Undang, telah menempatkan Mahkamah Konstitusi, sebagai "hakim bagi dirinya sendiri". Menurut Saldi Isra, (http://www.saldiisra.web.id/) secara universal, asas hanya bisa disimpangi kalau dinyatakan secara tertulis, di luar itu penyimpangan tidak diperbolehkan. Dengan demikian Mahkamah Konstitusi tidak dapat menyimpanginya, karena hal itu dapat menimbulkan bias dan menggerus nilai-nilai objektivitas, netralitas dan imparsialitas yang seharusnya dijunjung oleh Mahkamah Konstitusi.
2.4.     Selama ini Mahkamah Konstitusi menggunakan argumen dalam Putusan Nomor 005/PUU-IV/2006 bahwa berperkara di MK tidak sama berperkara di pengadilan biasa, sehingga asas itu tidak dapat diberlakukan di lingkungan peradilan Mahkamah Konstitusi. Pandangan ini keliru dan tidak dapat dijadikan argumentasi untuk mengabaikan prinsip/asas nemo judex idoneus in propria causa. Dengan kata lain argumentasi itu tidak beralasan atau bahkan grundloss (tanpa dasar) dan tidak didasarkan pada fondasi yang kokoh, yaitu tidak memiliki landasan filosofis yang memadai. Karena selama ini phrase "berperkara di MK tidak sama berperkara di pengadilan biasa" tidak dapat dijelaskan secara memadai. Bahkan sejatinya Mahkamah Konstitusi sebagai pengadilan tata negara yang memiliki fungsi memeriksa, mengadili dan memutus perkara pada hakekatnya sama dengan fungsi pengadilan lain.
2.5.     Penyimpangan terhadap asas ini juga bertentangan dengan prinsip atau asas kepatutan dan etika moral, sebagaimana dijelaskan oleh pakar hukum Satya Arinanto, "Tidak etis apabila Mahkamah Konstitusi memutus, memeriksa apalagi mengabulkan pengujian UU Nomor 4 Tahun 2014. (Kompas, Rabu- 5 Februari 2014, hlm 15).
2.6.     Hakim Mahkamah Konstitusi dalam menghadapi persoalan ini hendaknya memperhatikan prinsip keadilan dan kebijaksanaan, sebagaimana tertuang Pasal 15 UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang sifat adil dan sifat negarawan yang harus dimiliki hakim yaitu sikap yang penuh kearifan dan kebijaksanaan, visioner dan berjiwa besar. Setelah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006, dalam persoalan ini sikap adil dan sikap negarawan Hakim Mahkamah Konstitusi akan kembali diuji.


2.7. Berdasarkan hal itu maka seluruh dasar argumentasi Pemohon menjadi tidak relevan dan tidak logis atau tidak memiliki landasan hukum yang kuat, oleh karena itu sudah sepatutnya Mahkamah Konstitusi "tidak menerima" permohonan Pemohon yaitu tidak melanjutkan kepada pemeriksaan substansi atau menolak seluruh permohonan Pemohon tersebut.
III. Tentang makna kerugian dengan Potensi Kerugian.
3.1.     Bahwa Pemohon, telah mempersoalkan tentang phrase "potensi kerugian yang dapat muncul dari beberapa materi muatan" Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 tentang penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi Menjadi Undang-Undang.
3.2.     Pemohon tidak dapat membedakan atau dapat dikatakan mengalami kekeliruan bernalar ketika menyamakan makna "kerugian" dengan "potensi yang dapat menimbulkan kerugian", dan "persepsi tentang kerugian yang dapat muncul", seolah-olah seluruhnya memiliki makna yang sama.
3.3.     Pemohon menyatakan bahwa kualifikasi akademik minimal Magister dari Panel Ahli dianggap dapat menimbukan kerugian atau potensi kerugian, dengan alasan bahwa "tidak layak seorang Magister (S2) menguji seorang Doktor (S3)". Pemohon menyamakan begitu saja proses pengujian yang dilakukan oleh Tim Panel Ahli terhadap calon hakim dengan pengujian program pendidikan tinggi, yaitu dosen terhadap mahasiswanya. Argumentasi Pemohon memperlihatkan kerancuan berpikir yaitu menyamakan model seleksi untuk "keahlian professional" dalam "seleksi hakim" dengan model ujian di pendidikan tinggi yang lebih berorientasi akademik keilmuan.
3.4.     Bahwa aspek keilmuan sangat penting dalam uji kelayakan dan kepatutan untuk professional seperti hakim hal itu tidak dapat dipungkiri, namun mengatakan bahwa ujian di perguruan tinggi bagi mahasiswa sama dengan ujian kelayakan untuk seleksi professional calon hakim jelas merupakan kekeliruan. Di perguruan tinggi/pendidikan tinggi penguji disyaratkan untuk memiliki jenjang pendidikan dengan level tertentu serta


linieritas. Namun tidak demikian di bidang "professional" seperti hakim. Ukuran tidak semata mata didasarkan kepada jenjang pendidikan, tetapi juga kompetensi lainnya seperti pengalaman dan juga kebijaksanaan. Seorang pensiunan hakim senior yang memiliki integritas tinggi, sekalipun tidak memiliki pendidikan setingkat Doktor secara formal akan menjadi sangat kompeten untuk menguji kelayakan calon hakim sekaliber bergelar Doktor atau Professor sekalipun. Seorang Magister (S2) bidang filsafat dan etika akan sangat kompeten di bidangnya dan menjadi layak untuk menguji seorang calon hakim bergelar S3 yang hanya memahami bidang ilmu hukum.
3.5.     Bahwa apa yang dimaksud dengan "kerugian" atau "potensi kerugian", harus dipahami sebagai sesuatu yang "memiliki kemampuan atau daya sehingga dapat menimbulkan sesuatu" yaitu dapat menimbulkan kerugian. Hal itu berarti terdapat kausalitas yang erat antara satu perbuatan/tindakan yang akan dilakukandengan kerugian yang dapat timbul, sekalipun bersifat potensi. Ada ukuran yang jelas dan bukan sesuatu yang hanya diduga-duga (persepsi tentang kerugian) dan juga bukan kemungkinan. Pemohon hanya menggunakan persepsinya untuk menilai seolah-olah (mungkin) hal itu menimbulkan kerugian, tetapi tidak dapat menunjukan secara akurat tentang aspek "dapat" menimbulkan "kerugian" dan/atau potensi kerugian", yaitu menyajikan relasi kausalitas antara perbuatan/tindakan yang akan dilakukan dengan kerugian yang dapat muncul dari perbuatan atau tindakan itu.
3.6.     Pemohon juga mempersoalkan tentang batasan usia 50 tahun bagi calon Panel Ahli yang dianggapnya sebagai "tindakan diskriminasi" dengan argumentasi bahwa untuk mengukur seseorang bijaksana tidak berhubungan dengan usia 40 tahun atau dengan usia 50 tahun. Cara bernalar demikian sama saja dengan mengatakan bahwa anak usia 5 tahun sama dengan anak usia 15 tahun, dilihat dari tingkat kematangan dan kedewasaannya? Pemohon nampaknya tidak memperhatikan aspek psikologi perkembangan bahwa kematangan itu berkembang sejalan dengan usia seseorang. Bahwa ada orang berusia lebih muda dan lebih matang, jelas sebuah pengecualian bukan sesuatu yang bisa dianggap kelaziman, atau sesuatu hal yang biasa.


3.7. Batasan usia beriringan dengan tingkat kematangan, dan batasan usia 50 tahun dimaksudkan untuk membangun kebijaksanaan, visi yang jelas serta kematangan dalam bertindak dan berfikir, sehingga diharapkan proses seleksi dapat berlangsung dengan standart yang lebih terukur dan komprehensif.
IV. Tentang Komisi Yudisial sebagai lembaga Auxilary organ of State/ Auxilary Body
4.1.     Pemohon menyatakan bahwa Komisi Yudisial adalah sebagai lembaga atau organ penunjang yang memiliki fungsi utamanya adalah Buffer/ penghubung dan juga monitoring. Pendapat ini di dasarkan pada argumen Pemohon dengan melihat Komisi Yudisial ketika baru pertama kali dibentuk. Pemohon nampaknya menggunakan pandangan atau pendapat yang tidak tepat, yaitu pandangan lama yang kemudian digunakan untuk memotret realitas Komisi Yudisial saat ini. Kemudian Pemohon berpendapat bahwa dalam posisinya yang demikian itu, Komisi Yudisial tidak layak untuk mengawasi Mahkamah Konstitusi?
4.2.     Pandangan atau pendapat lama itu dipastikan bukan merupakan pandangan yang kompeten, atau dengan kata lain pandangan itu tidak dapat digunakan untuk memotret kondisi Komisi Yudisial saat ini, hal itu hanya sebuah pandangan parsial dan sangat sempit. Apabila melihat tugas, fungsi dan kewenangan KY terutama dengan lahirnyapembaharuan Undang-Undang Komisi Yudisial yaitu memberikan kewenangan yang sangat besar khususnya terkait dengan upaya untuk "menjaga dan menegakan kehormatan, keluhuran dan martabat hakim" serta kedudukan Komisi Yudisial dalam keprotokolan yang disejajarkan dengan Presiden, MPR, DPR, DPD, BPK, MA dan MK. Posisi Komisi Yudisial sebagai Lembaga Negara juga didukung dengan keputusan paripurna DPR yang menyatakan bahwa dalam menjalankan fungsi-fungsi koordinasi, Komisi Yudisial melakukan Rapat Konsultasi dengan DPR, bukan Rapat Dengar Pendapat.
4.3.     Prestasi Komisi Yudisial dalam upaya mambangun kompetensi dan kesejahteraan hakim telah diakui. Kepercayaan masyarakat yang semakin tinggi, karena setiap tahun laporan masyarakat semakin meningkat serta upaya penyelesaian yang transparan, dan langkah-langkah strategik


lainnya dengan melakukan berbagai kerjasama dengan beragam stakeholder yang kompeten. Komisi Yudisial saat ini tidak lagi dipandang atau ditempatkan hanya sebagai organ pelengkap atau penunjang. Pemohon nampaknya terlalu terkungkung pada pandangan romantisme. Dengan kata lain pandangan atau pendapat sempit yang digunakan oleh Pemohon untuk memotret realitas Komisi Yudisial saat ini tidak cukup, diperlukan pendekatan lain yang lebih komprehensif, untuk melihat Komisi Yudisial dari berbagai sudut, termasuk perkembangan mutakhir dan terkini.
V. Tentang syarat hakim harus memiliki sifat atau jiwa kenegaraan
5.1.     Pemohon berpendapat bahwa Hakim Konstitusi harus memiliki sifat dan jiwa kenegaraan, yang dipandang oleh Pemohon sebagai syarat khusus dan ekslusif. Tentang hal tersebut harus diakui dan bukan sesuatu yang perlu dibantah, namun nampaknya Pemohon keliru memahami aspek sifat kenegaraan dengan hanya melekatkan seolah-olah sifat itu hanya milik Hakim Konstitusi saja. Dan perlu diingat bahwa dalam Pasal 15 Undang-Undang Mahkamah Konstitusi tidak dijelaskan apa sifat negarawan itu dan di dalam penjelasannya dikatakan "cukup jelas". Tampaknya hal ini juga yang menjadikan pemahaman Pemohon keliru.
5.2.     Di dalam Dictionary in English language dijelaskan bahwa kenegarawanan adalah " is a man who is a respected leader in a given field". Pompidou menyatakan "negarawan adalah politisi yang menempatkan dirinya dalam pelayanan kepada bangsa". Pendapat lain menyatakan bahwa negarawan terkait dengan "bertindak dan berjiwa besar, visioner dan lainnya. Mentalitas negarawan dapat dikelompokkan dalam tiga hal, yaitu: (a) la harus memiliki sudut pandang tertentu dalam kehidupannya, yakni berupa pemikiran yang menyeluruh; (b) la harus memiliki sudut pandang tertentu yang dapat menjamin tercapainya kebahagiaan hakiki dalam realitas kehidupan; (c) la harus memiliki suatu peradaban tertentu yang mampu mengangkat manusia dalam keadaan yang luhur bentuk kehidupan yang tertinggi, serta aspek pemikiran yang tertinggi dipadukan dengan nilai-nilai yang luhur dan ketentraman yang abadi. Banyak ahli yang menjelaskan bahwa negarawan itu mencakup pemimpin dan yang di pimpin, artinya


semua hakim dan semua kita harus memiliki sifat atau dapat memiliki jiwa kenegarawanan.
5.3. Bahwa sifat kenegaraan sebagaimana dijelaskan Pemohon jelas bukan hanya terkait dengan "pengetahuan", tetapi juga sikap, perilaku, kebijaksanaan (wisdom), visi, atau kepribadian, komitmen dan juga pengalaman yaitu lebih peduli pada kepentingan negara dan bangsa. Dengan kata lain sifat ini dapat dilekatkan pada siapa saja, tidak harus atau tidak hanya untuk hakim Mahkamah Konstitusi semata, sehingga tidaklah berdasar untuk mengatakan bahwa Hakim Konstitusi lebih negarawan dari yang lainnya?
VI. Simpulan
Berdasarkan paparan di atas, maka aspek kerugian atau potensi kerugian yang dijelaskan oleh Pemohon adalah mengada-ada, atau sikap berlebihan yang tidak meyakinkan. Oleh karena itu seyogyanya Mahkamah Konstitusi tidak perlu melanjutkan sampai tahap pemeriksaan substansi, dan seyogyanya Mahkamah Konstitusi "Tidak Menerima" dan/atau menolak seluruh permohonan Pemohon.

[2.8]     Menimbang bahwa Mahkamah telah menerima kesimpulan yang
disampaikan oleh para Pemohon l, para Pemohon ll, dan Presiden yang masing-masing diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 10 Februari 2014, 7 Februari 2014, dan 10 Februari 2014, yang masing-masing pada pokoknya para pihak tetap pada pendiriannya;

[2.9]     Menimbang bahwa untuk mempersingkat uraian dalam putusan ini,
segala sesuatu yang terjadi di persidangan cukup ditunjuk dalam berita acara persidangan yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan putusan ini;

3. PERTIMBANGAN HUKUM

[3.1]      Menimbang,    sebelum    Mahkamah    mempertimbangkan pokok
permohonan lebih lanjut, Mahkamah memandang perlu untuk menggabungkan dua permohonan yaitu Permohonan Nomor 1/PUU-XII/2014 (para Pemohon I) dan Permohonan Nomor 2/PUU-XII/2014 (para Pemohon II) dalam satu putusan,


karena kedua permohonan tersebut diregistrasi pada hari yang sama, memiliki substansi yang sama, dan dalil-dalil serta pembuktiannya saling berkaitan;

[3.2]      Menimbang bahwa Mahkamah perlu segera memutus perkara a quo
karena terkait dengan agenda ketatanegaraan Tahun 2014, yaitu, pemilihan umum anggota DPR, DPD, dan DPRD provinsi/kabupaten/kota, serta pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden yang berpotensi menimbulkan sengketa hasil pemilihan umum yang menjadi kewenangan Mahkamah untuk menyelesaikannya, sehingga perlu segera ada kepastian hukum bagi lembaga negara yang berwenang mengajukan calon hakim konstitusi - dalam hal ini DPR - untuk segera menjalankan kewenangannya dalam memilih dan menentukan dua orang hakim konstitusi yang keduanya diajukan oleh DPR. Apabila putusan dalam perkara ini ditunda, akan menimbulkan ketidakpastian hukum dalam proses pengisian dua Hakim Konstitusi yang lowong tersebut. Ketidakpastian pengisian dua Hakim Konstitusi tersebut, akan menghambat Mahkamah dalam menjalankan tugas dan wewenangnya yang diberikan oleh UUD 1945 terutama dalam penyelesaian sengketa pemilu Tahun 2014. Bahkan dapat dipastikan dalam waktu dekat, Hakim Konstitusi hanya tersisa tujuh orang dan apabila salah seorang saja di antaranya berhalangan maka berdasarkan Pasal 28 ayat (1) UU MK tidak dapat memutus perkara;

[3.3]      Menimbang, bahwa maksud dan tujuan permohonan para Pemohon I
adalah menguji konstitusionalitas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 5, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5493, selanjutnya disebut UU 4/2014) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945) khususnya pasal-pasal sebagai berikut:

Pasal 1 ayat (3)      :  "Negara Indonesia adalah negara hukum."
Pasal 28D ayat (1)   :  "Setiap   orang   berhak   atas   pengakuan, jaminan,
perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum."


Bahwa maksud dan tujuan permohonan para Pemohon II adalah menguji konstitusionalitas UU 4/2014, khususnya pasal-pasal sebagai berikut:


Pasal 18A ayat (1)





Pasal 18B




Pasal 18C ayat (3)


















Pasal 27A ayat (1)









Pasal 27A ayat (4)


"Hakim konstitusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) sebelum ditetapkan Presiden, terlebih dahulu harus melalui uji kelayakan dan kepatutan yang dilaksanakan oleh Panel Ahli."
"Panel Ahli menyelesaikan tugasnya dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan setelah dibentuk oleh Komisi Yudisial."
"Panel Ahli harus memenuhi syarat sebagai berikut:
a.     memiliki reputasi dan rekam jejak yang tidak tercela;
b.     memiliki kredibilitas dan integritas;
c.     menguasai ilmu hukum dan memahami Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
d.     berpendidikan paling rendah magister;
e.     berusia paling rendah 50 (lima puluh) tahun; dan
f.      tidak menjadi anggota partai politik dalam jangka waktu paling singkat 5 (lima) tahun sebelum Panel Ahli dibentuk."
"Mahkamah Konstitusi bersama-sama dengan Komisi Yudisial menyusun dan menetapkan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim Konstitusi yang berisi norma yang harus dipatuhi oleh setiap hakim konstitusi dalam menjalankan tugasnya untuk menjaga kehormatan dan perilaku hakim konstitusi."
"Untuk menegakkan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim Konstitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Mahkamah Konstitusi bersama-sama dengan Komisi Yudisial membentuk Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi yang bersifat tetap"



terhadap UUD 1945 khususnya pasal-pasal sebagai berikut:


Pasal 24B ayat (1)





Pasal 24B ayat (2)


Pasal 24B ayat (3) Pasal 24B ayat (4) Pasal 24C ayat (3)







Pasal 28C ayat (1)









Pasal 28D ayat (1)




Pasal 28D ayat (3)


"Komisi   Yudisial   bersifat   mandiri   yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim." "Anggota Komisi Yudisial harus mempunyai pengetahuan dan pengalaman di bidang hukum serta memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela" "Anggota Komisi Yudisial diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat." "Susunan, kedudukan, dan keanggotaan Komisi Yudisial diatur dengan undang-undang"
"Mahkamah Konstitusi mempunyai sembilan orang anggota hakim konstitusi yang ditetapkan oleh Presiden, yang diajukan masing-masing tiga orang oleh Mahkamah Agung, tiga orang oleh Dewan Perwakilan Rakyat, dan tiga orang oleh Presiden."
"Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia"
"Setiap   orang   berhak   atas   pengakuan, jaminan, perlindungan,  dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum." "Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan"



[3.4]      Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan pokok permohonan,
Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut Mahkamah) akan mempertimbangkan terlebih dahulu hal-hal berikut:
a.     kewenangan Mahkamah untuk mengadili permohonan a quo;
b.    kedudukan hukum (legal standing) Pemohon untuk mengajukan permohonan a quo;


Terhadap kedua hal tersebut, Mahkamah berpendapat sebagai berikut: Kewenangan Mahkamah

[3.5]      Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, Pasal
10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana diubah terakhir dengan UU 4/2014, dan Pasal 29 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076), salah satu kewenangan konstitusional Mahkamah adalah menguji Undang-Undang terhadap UUD 1945;

[3.6]      Menimbang   bahwa   para   Pemohon   I   mengajukan Permohonan
bertanggal 26 Desember 2013 dan dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi dengan Nomor 1/PUU-XII/2014 pada tanggal 8 Januari 2014 dan para Pemohon II mengajukan Permohonan bertanggal 28 Desember 2013 dan dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi dengan Nomor 2/PUU-XII/2014 pada tanggal 8 Januari 2014. Pada saat para Pemohon mendaftarkan permohonannya, para Pemohon belum mencantumkan nomor Undang-Undang yang dimohonkan pengujiannya. Undang-Undang yang dimohonkan pengujiannya oleh para Pemohon tersebut adalah Undang-Undang yang berasal dari Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5456, selanjutnya disebut PERPU 1/2013) yang oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada tanggal 19 Desember 2013 disetujui untuk menjadi Undang-Undang. Pada tanggal 15 Januari 2014, PERPU 1/2013 a quo disahkan oleh Presiden menjadi UU 4/2014;
Bahwa dalam sidang Pemeriksaan Pendahuluan yang dilaksanakan pada hari Kamis, 23 Januari 2014, Mahkamah telah memberi nasihat kepada para Pemohon untuk mencantumkan nomor Undang-Undang yang berasal dari PERPU 1/2013 tersebut, yaitu, menjadi UU 4/2014. Meskipun pada saat mendaftarkan permohonan pengujian UU 4/2014 a quo, para Pemohon belum mencantumkan nomor Undang-Undang dimaksud karena pengesahan oleh Presiden baru dilakukan pada 15 Januari 2014, namun oleh karena maksud para Pemohon jelas,


yaitu, menguji Undang-Undang yang berasal dari PERPU 1/2013 dan oleh Mahkamah dalam pemeriksaan pendahuluan tersebut telah dinasihatkan untuk mencantumkan nomor Undang-Undang, yaitu, Nomor 4 Tahun 2014 serta dalam sidang perbaikan permohonan yang dilaksanakan pada hari Kamis, 30 Januari 2014, para Pemohon telah memperbaiki permohonannya dengan mencantumkan Nomor Undang-Undang yang diuji, maka Mahkamah berpendapat permohonan para Pemohon telah memenuhi persyaratan formil sebagai pengujian Undang-Undang sehingga Mahkamah berwenang untuk memeriksa permohonan para Pemohon;
Bahwa terhadap keterangan tertulis Komisi Yudisial yang mengemukakan bahwa Mahkamah seharusnya tidak melakukan pengujian terhadap Undang-Undang yang mengatur Mahkamah Konstitusi, Mahkamah merujuk beberapa pertimbangan yang termuat dalam putusan Mahkamah sebelumnya dan menjadikannya pula sebagai pertimbangan dalam perkara ini, sebagai berikut:
a. Putusan Nomor 004/PUU-I/2003, tentang pengujian Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, bertanggal 30 Desember 2003, yang mengenyampingkan Pasal 50 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Dalam halaman 10 s.d. 14, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
"Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Pasal 24C ini merupakan dasar kompetensi Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa, mengadili, dan memutus perkara yang diajukan kepadanya, yang sifatnya limitatif dalam arti hanya apa yang disebut dalam pasal ini sajalah yang menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi. Terhadap kewenangan dimaksud di satu pihak tidak dapat ditambahkan kewenangan lain, dan di lain pihak tidak dapat dikurangi kecuali karena adanya perubahan terhadap pasal dimaksud yang terjadi dengan jalan perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagaimana diatur dalam Pasal 37;
Meskipun dalam ayat (6) Pasal 24C dinyatakan bahwa "pengangkatan dan pemberhentian Hakim Konstitusi, hukum acara serta ketentuan lainnya tentang Mahkamah Konstitusi diatur dengan undang-undang", yang hal ini kemudian dilakukan dengan mengundangkan Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003,


tidaklah dapat diartikan bahwa pembentuk undang-undang dapat melakukan pengaturan yang bertentangan dengan pokok substansi yang diatur oleh Undang-Undang Dasar; Kewenangan Mahkamah Konstitusi merupakan hal yang sangat fundamental untuk ditentukan dalam Undang-Undang Dasar. Perlunya hal-hal lain untuk diatur dalam undang-undang sebagaimana dimaksud oleh ayat (6) Pasal 24C Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 harus diartikan tidak lain untuk memungkinkan dan mendukung agar Mahkamah Konstitusi dapat menjalankan kewenangannya sebagaimana telah ditentukan oleh Undang-Undang Dasar. Kedudukan undang-undang sebagai pelaksanaan Pasal 24C ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah undang-undang yang berfungsi untuk melaksanakan Undang-Undang Dasar dan tidak membuat aturan baru apalagi yang bersifat membatasi pelaksanaan Undang-Undang Dasar. In casu dalam perkara permohonan ini adanya Pasal 50 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 yang mengatur pembatasan kewenangan pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar dapat menghambat pelaksanaan tugas konstitusional Mahkamah Konstitusi. Untuk melaksanakan ayat (6) dimaksud pembuat undang-undang mempunyai kewenangan untuk menentukan hal yang terbaik dan dianggap tepat, namun pembentuk undang-undang tidak dapat mengubah hal-hal yang secara tegas telah ditentukan oleh Undang-Undang Dasar, apalagi menyangkut kewenangan lembaga negara yang diatur oleh Undang-Undang Dasar. Pasal 50 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 dipandang mereduksi kewenangan Mahkamah Konstitusi yang diberikan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan bertentangan dengan doktrin hirarki norma hukum yang telah diakui dan diterima secara universal;
Haruslah dimengerti bahwa Mahkamah Konstitusi adalah lembaga negara yang kekuasaan dan kewenangannya ditentukan oleh Undang-Undang Dasar. Mahkamah Konstitusi bukanlah organ undang-undang melainkan organ Undang-Undang Dasar. Ia adalah Mahkamah Konstitusi, bukan Mahkamah undang-undang. Dengan demikian, landasan yang dipakai oleh Mahkamah Konstitusi dalam menjalankan tugas dan kewenangan konstutusionalnya adalah Undang-Undang Dasar. Kalaupun undang-undang dan peraturan perundang-undangan lainnya, sesuai dengan asas legalitas wajib ditaati oleh siapapun dan lembaga apapun sebagai subjek dalam sistem hukum nasional, segala peraturan perundang-undangan yang dimaksud sudah seharusnya dipahami dalam arti sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Ketentuan dalam Bab IX tentang Kekuasaan Kehakiman Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 jelas membedakan mengenai perumusan kewenangan Mahkamah Agung dalam Pasal 24A ayat (1) dan kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam Pasal 24C ayat (1). Kewenangan Mahkamah Agung dirumuskan secara tidak limitatif (non-limitatif), karena sebagian masih dapat ditentukan lebih lanjut dengan undang-undang sedangkan kewenangan Mahkamah Konstitusi dirumuskan tegas dan bersifat limitatif. Karena itu, pembentuk undang-undang - dalam hal ini adalah Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden - diberi kewenangan oleh Undang-Undang Dasar untuk menambah dan melengkapi ketentuan tentang kewenangan Mahkamah Agung. Akan halnya kewenangan Mahkamah Konstitusi, Dewan Perwakilan Rakyat bersama Presiden tidaklah berwenang menambah dan


karena itu secara a contrario juga tidak berwenang mengurangi kewenangan Mahkamah Konstitusi itu dengan undang-undang. Karena itu, landasan hukum yang dapat dipakai untuk menentukan apakah Mahkamah Konstitusi berwenang atau tidak berwenang untuk memeriksa sesuatu permohonan haruslah didasarkan atas ketentuan Undang-Undang Dasar bukan undang-undang.
Jika seandainya benar - quod non - Pasal 50 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 dipandang sebagai delegasi wewenang secara sah yang diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 maka timbul kekosongan dimana tidak ada badan peradilan atau lembaga tertentu yang disebut berwenang memeriksa, mengadili dan memutus permohonan uji undang-undang yang diundangkan sebelum perubahan pertama Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pada tahun 1999, sebagaimana yang dihadapi dengan permohonan uji undang-undang dalam permohonan a quo. Dalam hal demikian Mahkamah Konstitusi juga wajib memeriksa dan mengadili karena Mahkamah tidak boleh menolak perkara atas dasar tidak ada hukumnya akan tetapi adalah menjadi kewajiban Mahkamah untuk menemukan norma dimaksud, sehingga terlepas dari adanya ketentuan Pasal 50 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 Mahkamah Konstitusi berwenang memeriksa, mengadili dan memutus permohonan ini oleh karena salah satu maksud dari kehadiran Mahkamah Konstitusi adalah untuk membawa semua perbedaan pendapat tentang hukum yang menyangkut undang-undang yang dipandang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar untuk diselesaikan oleh pihak ketiga yang netral dan imparsial, berdasar hukum dan keadilan;
Pembatasan undang-undang yang boleh diuji terhadap Undang-Undang Dasar hanya sebatas undang-undang sejak perubahan pertama maka jika sekiranya benar sebagaimana didalilkan oleh Pemohon bahwa undang-undang yang dimohonkan pengujiannya dalam permohonan a quo mengandung diskriminasi yang menyolok dan bertentangan dengan pasal-pasal Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, manakala diterapkan akan membiarkan adanya ketidakadilan yang boleh diterima oleh warga negara karena dia diundangkan sebelum perubahan pertama Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan ketidakadilan yang dikandung oleh undang-undang yang diundangkan setelah perubahan pertama, yang tidak diterima dan boleh diuji oleh Mahkamah Konstitusi. Ketentuan Pasal 50 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tersebut akan menciptakan berlakunya tolok ukur ganda dalam sistim hukum Indonesia dengan tetap membiarkan sah dan mempunyai kekuatan hukum mengikat Undang-Undang yang diundangkan sebelum perubahan pertama Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, meskipun undang-undang tersebut melanggar hak konstitusional seseorang, sementara itu pada waktu yang bersamaan harus dinyatakan sebagai tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat undang-undang yang melanggar dan merugikan hak konstitusional seseorang;
Berdasarkan uraian pertimbangan tersebut di atas dan sejalan dengan rumusan bunyi sumpah/janji jabatan hakim konstitusi yang antara lain berisi pernyataan sumpah/janji akan "... menjalankan segala peraturan perundang-undangan dengan selurus-lurusnya menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945." maka meskipun Pasal 50 Undang-undang


Nomor 24 Tahun 2003 tidak termasuk objek pengujian, Hakim Mahkamah Konstitusi karena jabatannya akan memeriksa perkara permohonan in casu dengan mengenyampingkan Pasal 50 tersebut dengan berpegang teguh kepada bunyi sumpah/janji sebagaimana dimaksud dalam rumusan Pasal 21 ayat (1) Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 untuk memastikan bahwa keterikatan hakim konstitusi dalam menjalankan segala peraturan perundang-undangan itu adalah sepanjang peraturan perundang-undangan tersebut sejalan dan/atau tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Jikalau ada peraturan perundang-undangan yang tidak sejalan atau justru bertentangan dengan Undang-Undang Dasar, maka dengan kewenangan yang dimilikinya, Mahkamah Konstitusi dapat menyatakan tidak terikat pada peraturan perundang-undangan dimaksud atau jika peraturan dimaksud berbentuk undang-undang dan dimohon untuk diuji berdasarkan Undang-Undang Dasar, maka sudah dengan sendirinya, Mahkamah Konstitusi berwenang untuk mengujinya sesuai dengan ketentuan Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945;
Dengan demikian Mahkamah Konstitusi wajib memeriksa, mengadili dan memutus permohonan Pemohon sebagaimana mestinya dengan mengenyampingkan ketentuan Pasal 50 Undang-undang Nomor 24 tahun 2003 tersebut...";
b. Putusan Nomor 066/PUU-II/2004, tentang pengujian Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1987 tentang Kamar Dagang dan Industri, bertanggal 12 April 2005, Mahkamah menegaskan kembali dengan mendasarkan pada Putusan Nomor 004/PUU-I/2003 tersebut, bahwa Mahkamah berwenang menguji Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi dan pada akhirnya mengabulkan permohonan Pemohon dengan menyatakan Pasal 50 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi bertentangan dengan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat;
c. Putusan Nomor 49/PUU-IX/2011, tentang perkara Pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, bertanggal 18 Oktober 2011, dalam pertimbangannya, antara lain, menegaskan kembali dengan menyatakan sebagai berikut:
"[3.5] Menimbang bahwa meskipun Mahkamah Konstitusi berwenang untuk memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan a quo, akan tetapi untuk menghilangkan adanya keragu-raguan mengenai objektivitas, netralitas, dan imparsialitas Mahkamah Konstitusi dalam melaksanakan kewenangannya


yang diberikan oleh UUD 1945, perlu lebih dahulu Mahkamah menyatakan pendiriannya sebagai berikut:
a.   bahwa keberadaan Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga negara yang oleh UUD 1945 diberi kewenangan untuk mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final terhadap persoalan-persoalan ketatanegaraan merupakan konsekuensi dari sistem ketatanegaraan yang hendak dibangun oleh UUD 1945 setelah melalui serangkaian perubahan. Sistem ketatanegaraan dimaksud adalah sistem yang gagasan dasarnya bertujuan mewujudkan Indonesia sebagai negara hukum yang demokratis dan konstitusional, yaitu negara demokrasi yang berdasar atas hukum dan konstitusi, sebagaimana tercermin dalam ketentuan Pasal 1 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945, yang merupakan bagian dari penjabaran Pembukaan UUD 1945, khususnya alinea keempat.
b.   bahwa sebagai negara yang menempatkan undang-undang dasar atau konstitusi sebagai hukum tertinggi, Negara Republik Indonesia harus menyediakan mekanisme yang menjamin ketentuan-ketentuan konstitusi dimaksud benar-benar dilaksanakan dalam praktik kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Guna menjamin tegak dan dilaksanakannya konstitusi itulah keberadaan Mahkamah Konstitusi menjadi keniscayaan yaitu sebagai lembaga yang berfungsi mengawal konstitusi atau undang-undang dasar. Berdasarkan fungsi tersebut maka dengan sendirinya Mahkamah Konstitusi merupakan penafsir akhir undang-undang dasar ketika terjadi sengketa konstitusional. Dalam kerangka pemikiran itulah seluruh kewenangan Mahkamah diberikan oleh konstitusi, sebagaimana tertulis dalam Pasal 24C ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945;
c.   bahwa Mahkamah memahami adanya keterkaitan antara Mahkamah dengan Undang-Undang yang dimohonkan pengujian oleh para Pemohon, karena Undang-Undang yang dimohonkan pengujian adalah menyangkut Mahkamah. Hal demikian terkait dengan prinsip universal di dalam dunia peradilan tentang nemo judex in causa sua artinya hakim tidak mengadili hal-hal yang terkait dengan dirinya sendiri. Namun dalam konteks ini ada tiga alasan Mahkamah harus mengadili permohonan pengujian undang-undang ini yaitu: (i) tidak ada forum lain yang bisa mengadili permohonan ini; (ii) Mahkamah tidak boleh menolak mengadili permohonan yang diajukan kepadanya dengan alasan tidak ada atau tidak jelas mengenai hukumnya; (iii) kasus ini merupakan kepentingan konstitusional bangsa dan negara, bukan semata-mata kepentingan institusi Mahkamah itu sendiri atau kepentingan perseorangan hakim konstitusi yang sedang menjabat. Namun demikian dalam mengadili permohonan ini tetaplah Mahkamah imparsial dan independen. Mahkamah memastikan untuk memutus permohonan ini berdasarkan salah satu kewenangan yang diberikan oleh Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, yaitu menguji apakah pasal-pasal yang dimohon pengujian bertentangan dengan UUD 1945 atau tidak;
d.   bahwa salah satu objectum litis dari proses peradilan di Mahkamah adalah masalah konstitusionalitas undang-undang yang menyangkut kepentingan publik yang dijamin oleh konstitusi sebagai hukum yang tertinggi. Oleh karena itu, Mahkamah lebih menekankan pada fungsi dan tugasnya mengawal dan menegakkan konstitusi dengan tetap menjaga prinsip independensi dan imparsialitas dalam keseluruhan proses peradilan. Apalagi Pasal 10 ayat (1) UU 48/2009 menyatakan dengan tegas bahwa


"Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya". Terlebih lagi, menurut Mahkamah, dengan mendasarkan pada kewenangan Mahkamah dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 serta asas dalam kekuasaan kehakiman, Mahkamah harus tetap memeriksa, mengadili, dan memutus secara keseluruhan permohonan a quo sesuai dengan kewenangan konstitusionalnya, dengan tetap menjaga independensi, imparsialitas, dan integritasnya guna menegakkan konstitusi;"
Selain mendasarkan pada pertimbangan hukum di atas, Mahkamah juga berpendapat bahwa terhadap pandangan yang menyatakan Mahkamah seharusnya tidak melakukan pengujian terhadap Undang-Undang yang mengatur Mahkamah Konstitusi tidaklah tepat. Di samping hal demikian tidak dilarang oleh UUD 1945, Mahkamah tidak bisa menolak untuk mengadili suatu permohonan pengujian Undang-Undang walaupun menyangkut dirinya, karena persoalannya, apabila nyata-nyata terdapat Undang-Undang mengenai Mahkamah Konstitusi yang bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak dapat dilakukan pengujian secara hukum oleh Mahkamah maka pertanyaannya, peradilan mana lagi yang secara konstitusional berwenang mengadili pengujian konstitusionalitas terhadap Undang-Undang tersebut. Sebagaimana putusan Mahkamah untuk mengembalikan kewenangan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) melalui pengujian Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah [vide Putusan Mahkamah Nomor 92/PUU-X/2012, bertanggal 27 Maret 2013] maka tidak menutup kemungkinan terdapat materi Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi yang dapat merugikan kewenangan Mahkamah. Jika Mahkamah dilarang menguji Undang-Undang yang mengatur tentang Mahkamah maka Mahkamah akan menjadi sasaran empuk untuk dilumpuhkan melalui pembentukan Undang-Undang untuk kepentingan kekuasaan, yaitu manakala posisi Presiden mendapat dukungan yang kuat dari DPR atau sebaliknya. DPR memang dapat melakukan perubahan terhadap Undang-Undang tetapi perubahan tersebut lebih bersifat politis. DPR dan Presiden tidak berwenang melakukan pengujian melalui mekanisme peradilan dalam penegakan konstitusi. Adanya istilah legislative review tidak dapat disamakan dengan judicial review, karena dalam melakukan legislative review DPR bersama Presiden sebenarnya tidak melakukan pengujian tetapi melakukan perubahan Undang-Undang yang hasilnya tidak secara serta merta menjadi tidak bertentangan dengan UUD 1945, yang tidak


dapat diuji oleh Mahkamah. DPR dan Presiden menurut UUD 1945 tidak mempunyai kewenangan untuk menyatakan suatu Undang-Undang bertentangan atau tidak bertentangan dengan UUD 1945;
Apabila dikaji secara historis, judicial review yang kemudian dipraktikkan di banyak negara berdasarkan konstitusi masing masing, untuk pertama kali terjadi pada tahun 1803 dalam kasus Marbury vs. Madison di Mahkamah Agung Amerika Serikat. Kasus tersebut kemudian menjadi kasus yang sangat terkenal dan menjadi rujukan bagi kewenangan lembaga peradilan di berbagai negara dalam melakukan pengujian Undang-Undang. Dalam kasus tersebut, justru objek yang diuji oleh Mahkamah Agung Amerika Serikat waktu itu adalah Undang-Undang tentang Kekuasaan Kehakiman (Judiciary Act 1789), yaitu, Undang-Undang yang mengatur Mahkamah Agung Amerika Serikat sendiri. Terhadap Undang-Undang tersebut Mahkamah Agung Amerika Serikat melakukan pengujian sendiri untuk pertama kali dan memutus untuk pertama kali pula hal yang tidak dimohonkan oleh Pemohon juga diputuskan sehingga putusannya pun ultra petita. Dengan demikian, judicial review tidak dapat dipisahkan dari historisnya, yaitu, pengujian Undang-Undang oleh Mahkamah Agung Amerika Serikat terhadap Undang-Undang kekuasaan kehakiman itu sendiri dan memutus hal yang tidak dimohonkan atau ultra petita. Oleh karenanya, tidak ada dasar konstitusional bagi Mahkamah untuk tidak melakukan pengujian terhadap Undang-Undang yang materinya berisi ketentuan yang mengatur Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Konstitusi memutus berdasarkan kewenangan konstitusionalitas yang dimilikinya untuk menegakkan konstitusi, termasuk di dalamnya etika dalam penegakan konstitusi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara;

[3.7] Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan hukum di atas, dan oleh karena Permohonan para Pemohon a quo adalah mengenai pengujian Undang-Undang in casu UU 4/2014 terhadap UUD 1945, Mahkamah berwenang untuk mengadili permohonan a quo;

Kedudukan Hukum {Legal Standing) para Pemohon

[3.8]      Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 51 ayat (1) UU MK beserta
Penjelasannya, yang dapat bertindak sebagai Pemohon dalam pengujian suatu Undang-Undang terhadap UUD 1945 adalah mereka yang menganggap hak


dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian, yaitu:
a.      perorangan warga negara Indonesia (termasuk kelompok orang yang mempunyai kepentingan sama);
b.      kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang;
c.      badan hukum publik atau privat; atau
d.      lembaga negara;
Dengan demikian, Pemohon dalam pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945 harus menjelaskan dan membuktikan terlebih dahulu:
a.      kedudukannya sebagai Pemohon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat
(1) UU MK;
b.      kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang diberikan oleh UUD 1945 yang diakibatkan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian;

[3.9]      Menimbang pula bahwa Mahkamah sejak Putusan Nomor 006/PUU-
III/2005, bertanggal 31 Mei 2005 dan Putusan Nomor 11/PUU-V/2007, bertanggal 20 September 2007 serta putusan-putusan selanjutnya telah berpendirian bahwa kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana dimaksud Pasal 51 ayat (1) UU MK harus memenuhi lima syarat, yaitu:
a.      adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional pemohon yang diberikan oleh UUD 1945;
b.      hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut oleh pemohon dianggap dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian;
c.      kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut harus bersifat spesifik dan aktual atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
d.      adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian dimaksud dengan berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian;
e.      adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi;


[3.10] Menimbang bahwa para Pemohon I mendalilkan diri sebagai perorangan warga negara Indonesia yang memiliki hak-hak yang dijamin konstitusi berupa hak-hak konstitusional untuk mendapatkan pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil, memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan, perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan hak asasi manusia, dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara dalam naungan negara hukum sebagaimana dimaksud Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28H ayat (2), Pasal 28I ayat (4), Pasal 28J ayat (1) UUD 1945. Menurut para Pemohon, UU 4/2014 akan memberi pengaruh terhadap penyelenggaraan kekuasaan kehakiman di lingkungan kekuasaan kehakiman, yang berujung pada hilangnya independensi kekuasaan kehakiman. Bilamana independensi kekuasaan kehakiman hilang maka pada akhirnya juga berimplikasi pada hilangnya integritas pelayanan hukum yang melibatkan para advokat, sehingga kualitas pelayanan hukum juga akan merosot dan pada akhirnya akan menghilangkan kepercayaan publik terhadap penegakan hukum, termasuk proses hukum di Mahkamah Konstitusi. Oleh karena itu, bila UU 4/2014 dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, maka para Pemohon I tidak akan mengalami kerugian konstitusional di masa datang;
Bahwa para Pemohon II mendalilkan diri sebagai dosen yang mengabdikan diri untuk menjadi pendidik di Fakultas Hukum Universitas Jember, yang menganggap hak konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya Pasal 18A ayat (1), Pasal 18B, Pasal 18C, dan Pasal 27A UU 4/2014, karena pada pokoknya Panel Ahli yang dibentuk oleh Komisi Yudisial, dilihat dari ketentuan persyaratan keanggotaannya, memiliki kualifikasi akademik minimal seorang magister yang akan melakukan uji kelayakan dan kepatutan terhadap calon hakim konstitusi yang memiliki kualifikasi akademik atau memiliki gelar minimal doktor (S3). Menurut para Pemohon II, apabila seleksi hakim konstitusi dilakukan oleh orang-orang (dalam Panel Ahli) yang dimungkinkan hanya bergelar magister, sudah barang tentu dari segi kualitas-akademik tidak profesional dan tidak patut. Selain itu, persyaratan untuk menjadi anggota Panel Ahli yang mencantumkan hanya minimal magister, menurut para Pemohon II, menginjak-injak dan tidak menghargai secara hukum sistem penjenjangan pendidikan nasional. Jika ketentuan ini tetap diberlakukan, maka para Pemohon II yang sebagian adalah dosen atau pendidik baik di program sarjana, magister, dan doktor, tentu merasa tidak dihormati hak


atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukumnya sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Oleh karenanya, para Pemohon merasa dirugikan hak-hak konstitusionalnya sebagai warga negara yang menegakkan sistem pendidikan nasional;

[3.11] Menimbang bahwa PERPU 1/2013 yang kemudian menjadi UU 4/2014, menurut Mahkamah, mengandung materi yang menyangkut lembaga negara yang kewenangannya ditetapkan oleh UUD 1945, yaitu, Mahkamah Agung, DPR, Mahkamah Konstitusi, Presiden, dan Komisi Yudisial. Apabila dihubungkan dengan ketentuan Pasal 51 UU MK, maka yang secara langsung berpotensi dirugikan oleh adanya Undang-Undang a quo adalah lembaga negara tersebut di atas. Namun persoalannya, apabila dalam kasus a quo terdapat materi yang bertentangan dengan UUD 1945, apakah memang secara logika lembaga negara tersebut akan mengajukan permohonan pengujian konstitusionalitas Undang-Undang a quo ke MK. DPR secara kelembagaan tentunya tidak akan pernah mengajukan permohonan pengujian konstitusionalitas Undang-Undang a quo ke Mahkamah, karena Undang-Undang adalah produk DPR bersama Presiden. Apabila DPR menilai terdapat materi dalam PERPU 1/2013 yang bertentangan dengan UUD 1945, semestinya DPR tidak akan menerima PERPU 1/2013 untuk menjadi Undang-Undang, namun dengan diterimanya PERPU 1/2013 menjadi Undang-Undang tidak berarti bahwa Undang-Undang a quo pasti dijamin konstitusionalitasnya, mengingat pengambilan keputusan di DPR mendasarkan pada mekanisme politik yang berbasis pada prinsip mayoritas. Dengan demikian, PERPU 1/2013 yang diterima secara musyawarah atau aklamasi sekali pun, artinya disetujui tanpa ada suara yang menolak, belumlah secara serta merta dijamin konstitusionalitasnya;
Presiden dalam kasus tersebut pasti juga tidak akan mengajukan pengujian konstitusionalitas terhadap Undang-Undang a quo yang berasal dari PERPU yang telah diterima oleh DPR menjadi Undang-Undang karena seluruh materi PERPU tersebut berasal dari Presiden. Anggota DPR yang menolak untuk menerima PERPU 1/2013 menjadi Undang-Undang tidak mungkin mengajukan permohonan pengujian konstitusionalitas Undang-Undang tersebut meskipun seandainya mempunyai dasar yang kuat bahwa Undang-Undang a quo bertentangan dengan UUD 1945, karena Mahkamah dalam Putusan Nomor


151/PUU-VII/2009, bertanggal 3 Juni 2010, telah memutus bahwa anggota DPR tidak mempunyai kedudukan hukum (legal standing) untuk menguji Undang-Undang, kecuali terkait dengan hak Anggota DPR untuk mengusulkan penggunaan hak menyatakan pendapat sebagaimana Putusan Nomor 23-26/PUU-VIII/2010 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, bertanggal 12 Januari 2011;
Komisi Yudisial sebagai lembaga negara mempunyai hak untuk mengajukan permohonan pengujian konstitusionalitas terhadap Undang-Undang a quo yang berasal dari PERPU, namun persoalannya tidak ada kerugian hak atau kewenangan konstitusional Komisi Yudisial yang diakibatkan oleh berlakunya UU 4/2014, sehingga tentunya tidak ada alasan bagi Komisi Yudisial untuk mengajukan permohonan pengujian, terlebih lagi jika justru Undang-Undang yang berasal dari PERPU tersebut menambah kewenangannya;
Mahkamah Agung yang secara konstitusional juga mempunyai hak untuk mengajukan permohonan pengujian konstitusionalitas apabila materi PERPU yang telah menjadi Undang-Undang ini merugikan hak konstitusionalnya, tentu tidak akan mengajukan permohonan pengujian, karena pada saat pertemuan antara pimpinan lembaga negara dalam menyikapi penangkapan M. Akil Mochtar -yang pada waktu itu Ketua Mahkamah Konstitusi - oleh KPK, Ketua Mahkamah Agung ikut diundang hadir untuk membicarakan penerbitan PERPU yang kemudian menjadi Undang-Undang a quo;
Bahwa berdasarkan hal-hal sebagaimana diuraikan di atas, Mahkamah berpendapat bahwa penegakan konstitusi - termasuk menjaga supaya ketentuan Undang-Undang yang di dalamnya mengatur kewenangan lembaga negara tidak melanggar UUD 1945 - menjadi bagian dari kewajiban konstitusional Mahkamah yang diamanatkan oleh UUD 1945 yang tidak sebatas hanya untuk kepentingan sebuah lembaga negara tertentu saja, tetapi demi tegaknya konstitusi yang menjadi kepentingan seluruh warga negara. Para Pemohon I dan para Pemohon II tidak mewakili salah satu lembaga negara tersebut, tetapi sebagai warga negara, para Pemohon tersebut berhak mendapatkan kepastian hukum yang adil perihal keberlakuan kewenangan masing-masing lembaga negara dan demi tegaknya negara hukum dalam hal ini tegaknya aturan tentang kewenangan lembaga negara


sesuai dengan UUD 1945. Dengan demikian, permohonan a quo menjadi kepentingan seluruh warga negara Indonesia, termasuk para Pemohon, yaitu menyangkut kepentingan adanya kepastian hukum yang adil;
Dalam Permohonannya, para Pemohon I juga mendalilkan adanya hak bagi para pembayar pajak (tax payer) untuk mengajukan permohonan pengujian konstitusionalitas Undang-Undang ke Mahkamah, yang oleh Mahkamah dalam banyak putusan sebelumnya, telah dinyatakan bahwa warga masyarakat pembayar pajak (tax payers) dipandang memiliki kepentingan sesuai Pasal 51 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Hal ini sesuai dengan adagium "no taxation without participation" dan sebaliknya "no participation without tax" [vide Putusan Nomor 003/PUU-I/2003 tentang pengujian Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2002 tentang Surat Utang Negara, bertanggal 29 Oktober 2004]. Sesungguhnya setiap warga negara pembayar pajak mempunyai hak konstitusional untuk mempersoalkan setiap Undang-Undang [vide Putusan Nomor 001-021-022/PUU-I/2003 tentang pengujian Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan, bertanggal 15 Desember 2004] yang hal ini juga menjadi acuan bagi putusan-putusan Mahkamah selanjutnya yang terkait dengan kedudukan hukum pemohon sebagai pembayar pajak;
Bahwa terhadap para Pemohon I sebagai advokat yang sering beracara di Mahkamah dan para Pemohon II sebagai dosen ilmu hukum yang lembaga pendidikannya memiliki kerjasama dengan Mahkamah, sehingga menimbulkan dugaan bahwa para Pemohon memiliki keterkaitan erat dengan Mahkamah, menurut Mahkamah, setiap orang memiliki kedudukan yang sama di hadapan hukum sebagaimana dijamin dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945, oleh karena itu, setiap orang juga memiliki hak yang sama untuk mengajukan permohonan pengujian konstitusionalitas Undang-Undang ke Mahkamah Konstitusi. Di hadapan Mahkamah tidak ada pembedaan perlakukan terhadap para Pemohon, siapa pun mereka;


[3.12]    Menimbang   bahwa   berdasarkan   pertimbangan   hukum   di atas,
Mahkamah berpendapat bahwa para Pemohon I dan para Pemohon II mempunyai kedudukan hukum atau legal standing untuk mengajukan permohonan a quo;


Pokok Permohonan

[3.13]   Menimbang, pada pokoknya para Pemohon I dan para Pemohon II
mendalilkan bahwa pengaturan mengenai penambahan persyaratan untuk menjadi hakim konstitusi; mekanisme proses seleksi dan pengajuan hakim konstitusi; sistem pengawasan hakim konstitusi; komposisi dan kualifikasi anggota Panel Ahli; pembentukan Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi; yang ditetapkan dalam Undang-Undang a quo serta kewenangan Komisi Yudisial untuk turut serta mengawasi hakim Mahkamah Konstitusi adalah bertentangan dengan UUD 1945. Menurut para Pemohon I pula, UU 4/2014 telah menyinggung kewenangan beberapa lembaga negara yang telah diatur secara limitatif dalam UUD 1945;

[3.14] Menimbang bahwa Mahkamah telah mendengar keterangan Ahli Prof. H.A.S Natabaya S.H., LL.M., yang diajukan oleh para Pemohon I pada persidangan tanggal 4 Februari 2014, dan Mahkamah telah membaca keterangan tertulis Ahli Dr. Jayus, S.H., M.Hum dan Dr. Widodo Ekatjahjana, S.H., M.Hum. yang diajukan oleh para Pemohon II yang keterangan selengkapnya termuat dalam bagian Duduk Perkara;

[3.15]   Menimbang bahwa Mahkamah telah mendengar keterangan lisan dan
membaca keterangan tertulis dari Presiden dan DPR yang pada pokoknya mengemukakan bahwa UU 4/2014 adalah konstitusional;

[3.16]   Menimbang bahwa Mahkamah telah membaca keterangan tertulis dari
Komisi Yudisial, yang keterangan selengkapnya termuat dalam bagian Duduk Perkara;

[3.17] Menimbang bahwa Mahkamah telah membaca keterangan tertulis dari Ahli yang diajukan oleh Presiden, yaitu, Dr. Maruarar Siahaan S.H.; Prof. Philipus M. Hadjon; Dr. Tamrin Amal Tomagola, S.H.; Prof. Saldi Isra, S.H.; dan Fajrul Falaakh S.H., M.H. M.Sc., yang keterangan selengkapnya termuat dalam bagian Duduk Perkara;

[3.18]    Menimbang,   setelah   Mahkamah   memeriksa   dengan saksama
permohonan para Pemohon, keterangan Presiden, keterangan tertulis DPR, keterangan ahli yang diajukan oleh para Pemohon dan keterangan tertulis ahli dari


Presiden, dan bukti-bukti surat/tulisan yang diajukan oleh para Pemohon, serta kesimpulan tertulis para Pemohon dan kesimpulan tertulis Presiden, sebagaimana selengkapnya termuat pada bagian Duduk Perkara, Mahkamah berpendapat sebagai berikut:

Pendapat Mahkamah

[3.19]    Menimbang    sebelum    mempertimbangkan    pokok permohonan
Mahkamah perlu menyatakan bahwa putusan Mahkamah hanya berdasarkan UUD 1945 sesuai dengan alat bukti dan keyakinan hakim. Oleh karena itu, adanya tekanan opini publik dalam mengambil putusan haruslah dihindarkan oleh hakim. Betapapun kuatnya tekanan tersebut baik yang berasal dari anggota masyarakat, pejabat eksekutif, maupun anggota badan perwakilan, hakim harus tetap independen. Jika hakim terpengaruh oleh tekanan tersebut maka terkuburlah kekuasaan kehakiman yang independen dan dapat dipastikan hakim akan tunduk pada kekuasaan. Kekuasaan-kekuasaan di luar kekuasaan kehakiman sangat berpotensi untuk menekan hakim dan bila hal demikian terjadi yang menjadi korban adalah masyarakat pada umumnya dan para pencari keadilan pada khususnya serta kepentingan penegakan hukum konstitusi secara berkesinambungan. Oleh karena itu, hakim berkewajiban untuk menegakkan independensi pada dirinya, sebaliknya masyarakat maupun kekuasaan lain di luar kekuasaan kehakiman juga wajib untuk menegakkan independensi tersebut dengan tidak mencampuri proses peradilan termasuk di dalamnya pengambilan putusan. Apabila ada pihak yang melakukan tekanan kepada Mahkamah dengan membentuk opini-opini publik, apalagi pihak tersebut merepresentasikan cabang kekuasaan yang lain, hal demikian telah melanggar prinsip kebebasan kekuasaan kehakiman yang secara universal dapat dikategorikan telah melakukan tindakan contempt of court;

[3.20]    Menimbang bahwa UUD 1945 merupakan hukum tertinggi negara
dalam mengatur ketatanegaraan Indonesia. Salah satu materi yang diatur dalam hukum tertinggi tersebut adalah lembaga-lembaga negara. Oleh karena sebagai hukum tertinggi negara, UUD 1945 bersifat normatif, artinya mengikat kepada semua lembaga negara dalam menjalankan fungsinya sesuai dengan kewenangan yang diberikan oleh UUD 1945. Dalam hubungan antara lembaga negara, UUD


1945 mengandung prinsip checks and balances antar lembaga negara yang satu dengan yang lain berdasarkan prinsip kekuasaan dibatasi kekuasaan (power limited by power) dan bukan kekuasaan mengawasi kekuasaan lain (power supervises other powers), apalagi kekuasaan dikontrol oleh kekuasaan lain (power controls other powers). Kekuasaan pemerintahan dipandang sebagai mahadaya yang harus dibatasi sehingga tidak terjadi penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power). Checks and balances menjaga agar suatu cabang pemerintahan tidak terlalu kuat kekuasaannya. Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, itulah makna relevansinya Mahkamah Konstitusi diberi kewenangan memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945. Artinya, karena kewenangan lembaga negara diberikan oleh UUD 1945 sebagai hukum tertinggi maka Mahkamah Konstitusi sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman yang diberi kewenangan untuk menyelesaian sengketa konstitusional harus memutus berdasar hukum yang tertinggi tersebut, yaitu UUD 1945 apabila terjadi sengketa konstitusional antar lembaga negara. Sengketa tersebut tidak boleh dibiarkan berlarut-larut dan digantungkan pada penyelesaian proses politik tetapi harus diselesaikan secara hukum. Demikianlah implementasi prinsip negara demokrasi konstitusional (democratic constitutional state);
Selain itu, dalam rangka menjaga sistem ketatanegaraan yang menyangkut hubungan antar lembaga negara yang diatur oleh UUD 1945 sebagai hukum tertinggi, Mahkamah harus menggunakan pendekatan yang rigid sejauh UUD 1945 telah mengatur secara jelas kewenangan atributif masing-masing lembaga tersebut. Dalam hal Mahkamah terpaksa harus melakukan penafsiran atas ketentuan yang mengatur sebuah lembaga negara maka Mahkamah harus menerapkan penafsiran original intent, tekstual, dan gramatikal yang komprehensif yang tidak boleh menyimpang dari apa yang telah secara jelas tersurat dalam UUD 1945 termasuk juga ketentuan tentang kewenangan lembaga negara yang ditetapkan oleh UUD 1945. Apabila Mahkamah tidak membatasi dirinya dengan penafsiran secara rigid tetapi melakukan penafsiran secara sangat bebas terhadap ketentuan yang mengatur lembaga negara dalam UUD 1945, sama artinya Mahkamah telah membiarkan pembentuk Undang-Undang untuk mengambil peran pembentuk UUD 1945 dan akan menjadi sangat rawan terjadi penyalahgunaan kekuasaan manakala Presiden didukung oleh kekuatan mayoritas DPR, atau bahkan Mahkamah sendiri yang mengambil alih fungsi pembentuk UUD 1945


untuk mengubah UUD 1945 melalui putusan-putusannya. Memang benar bahwa Mahkamah adalah penafsir UUD 1945, yaitu, menafsirkan ketentuan yang dapat menimbulkan multitafsir, namun penafsiran tersebut haruslah diletakkan dalam kerangka menjaga dan menegakkan UUD 1945 dengan tidak mengubah UUD 1945. Sebagai contoh, Putusan Nomor 92/PUU-X/2012 mengenai pengujian konstitusionalitas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, bertanggal 27 Maret 2013, yang mengembalikan kewenangan DPD sesuai dengan UUD 1945; Putusan Nomor 56/PUU-VI/2008 mengenai pengujian konstitusionalitas Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, bertanggal 17 Februari 2009, mengenai permohonan adanya Calon Presiden Independen; dan Putusan Nomor 005/PUU-IV/2006 mengenai pengujian konstitusionalitas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial dan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, bertanggal 23 Agustus 2006, mengenai kewenangan Komisi Yudisial untuk mengawasi hakim, adalah putusan-putusan dalam rangka menjaga konstitusi;

[3.21]    Menimbang bahwa salah satu materi UU 4/2014 adalah mengatur
proses pengangkatan Hakim Konstitusi. Ketentuan UUD 1945 yang mengatur materi tersebut adalah Pasal 24C ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan, "Mahkamah Konstitusi mempunyai sembilan orang anggota hakim konstitusi yang ditetapkan oleh Presiden, yang diajukan masing-masing tiga orang oleh Mahkamah Agung, tiga orang oleh Dewan Perwakilan Rakyat, dan tiga orang oleh Presiden." UUD 1945 dalam beberapa pasalnya menggunakan kata yang sama maknanya dengan "ajukan" selain yang terdapat dalam Pasal 24C UUD 1945 a quo, yaitu sebagai berikut:

Pasal 5 ayat (1)      :  "Presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang
kepada Dewan Perwakilan Rakyat."

Pasal 21                         :  "Anggota Dewan Perwakilan Rakyat berhak mengajukan
usul rancangan undang-undang."

Pasal 22D ayat (1)   :  " Dewan Perwakilan Daerah dapat mengajukan kepada
Dewan Perwakilan Rakyat rancangan undang-undang


yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah."

Pasal 23 ayat (2)    :  "Rancangan undang-undang anggaran pendapatan dan
belanja negara diajukan oleh Presiden untuk dibahas bersama Dewan Perwakilan Rakyat dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Daerah."
Menurut Mahkamah, kata "diajukan" atau "mengajukan" dalam beberapa pasal UUD 1945 tersebut mempunyai makna yang sama karena kata tersebut dipakai oleh UUD 1945 sebagai norma hukum yang tertinggi. Pengajuan yang dilakukan oleh sebuah lembaga negara, apakah Presiden, Mahkamah Agung, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, adalah merupakan kewenangan atributif yang bersifat mutlak bagi masing-masing lembaga secara penuh yang tidak dapat diberi syarat-syarat tertentu oleh Undang-Undang dengan melibatkan lembaga negara lain yang tidak diberikan kewenangan oleh UUD 1945.
Menurut Mahkamah, Undang-Undang yang mengatur pengajuan calon Hakim Konstitusi melalui Panel Ahli yang dibentuk oleh Komisi Yudisial - walaupun 3 (tiga) dari 7 (tujuh) orang anggotanya masing-masing ditunjuk oleh Mahkamah Agung, DPR, dan Presiden - telah nyata-nyata mereduksi kewenangan konstitusional Mahkamah Agung, DPR, dan Presiden. Sama halnya apabila pengajuan Rancangan Undang-Undang, termasuk RAPBN oleh Presiden harus melalui Panel Ahli yang dibentuk oleh lembaga negara yang lain adalah juga pasti mereduksi kewenangan Presiden. Demikian juga DPD yang mengajukan Rancangan Undang-Undang tertentu kepada DPR yang harus melalui Panel Ahli yang dibentuk oleh lembaga negara yang lain juga akan mereduksi kewenangan DPD. Begitu pula dengan kewenangan Komisi Yudisial dalam mengusulkan calon Hakim Agung jika harus melalui Panel Ahli yang dibentuk oleh lembaga negara lain juga akan mereduksi kewenangan Komisi Yudisial. Lain halnya apabila lembaga negara yang bersangkutan membentuk panitia yang akan menyeleksi secara intern untuk melaksanakan kewenangan konstitusionalnya dalam mengajukan


calon Hakim Konstitusi. Hal demikian tidaklah bertentangan dengan konstitusi karena tidak ada kewenangan konstitusional lembaga negara yang direduksi;
Penggunaan kata "Ahli" pada "Panel" ini menimbulkan pertanyaan tentang keahlian dalam bidang apa sebenarnya yang diperlukan. Syarat keahlian pada Panel Ahli haruslah terukur secara rasional. Dengan demikian, untuk menjadi anggota Panel Ahli pun sewajarnya dilakukan tes untuk menentukan apakah telah memenuhi syarat keahlian yang diperlukan untuk memilih Panel Ahli yang akan melakukan tes pada pemilihan Hakim Konstitusi. Hakim Konstitusi memiliki karakteristik tersendiri, yang dalam UUD 1945, karakteristik khusus tersebut disebutkan sebagai seorang negarawan. Meskipun syarat "negarawan" adalah sulit untuk ditentukan kriterianya secara pasti, namun hal demikian haruslah dipahami betapa pembentuk UUD 1945 secara sadar mengidealkan bahwa dalam diri seorang Hakim Konstitusi sekurang-kurangnya layak untuk diharapkan memiliki kepribadian dimaksud. Hakim Konstitusi hanya terdiri atas sembilan orang dan jika dibandingkan dengan hakim Mahkamah Konstitusi di negara lain, jumlah hakim sembilan orang adalah jumlah yang paling sedikit. Dari seorang Hakim Konstitusi yang diharapkan adalah pendapat hukumnya dalam membuat putusan. Dengan hanya satu Panel Ahli untuk pemilihan Hakim Konstitusi yang berasal dari tiga lembaga negara maka secara pasti akan terpilih Hakim Konstitusi yang sama standarnya termasuk juga kesamaan latar belakangnya sebagaimana yang diinginkan oleh Panel Ahli. Dalam pemilihan Hakim Konstitusi, harus dihindarkan adanya unsur favoritisme dan popularisme. Oleh karenanya, tes pemilihan hakim bukanlah tes litmus bagi calon hakim dari kacamata pemilihnya, yaitu, Panel Ahli, padahal subjektivitas Panel Ahli tidak dapat dihindari. Dengan dasar pemikiran tersebut, adanya tim seleksi yang dibentuk oleh masing-masing lembaga negara dapat menghindarkan dominasi subjektivitas Panel Ahli dalam pemilihan Hakim Konstitusi dan dapat menghindari terpilihnya Hakim Konstitusi yang memiliki latar belakang yang sama (homogen). Justru keragaman latar belakang itulah yang diperlukan di antara kesembilan Hakim Konstitusi, bukan homogenitas kesembilan Hakim Konstitusi. Makna bahwa Hakim Konstitusi dipilih oleh lembaga negara yang berbeda tidak hanya sekedar bagi-bagi porsi kewenangan namun mempunyai substansi tujuan yang lebih mendasar, yaitu adanya tiga kelompok Hakim Konstitusi yang masing-masing memiliki latar belakang yang berbeda karena berasal dari pilihan tiga cabang kekuasaan negara;


Walaupun bakal calon Hakim Konstitusi yang akan diseleksi oleh Panel Ahli sebagaimana diatur dalam Undang-Undang a quo berasal dari Mahkamah Agung, DPR, dan Presiden masing-masing satu orang, dan empat orang dipilih oleh Komisi Yudisial, namun adanya satu Panel Ahli yang dibentuk oleh Komisi Yudisial menjadi sangat menentukan dalam penyeleksian calon hakim konstitusi, sehingga hal demikian jelas mereduksi, bahkan mengambil alih kewenangan Mahkamah Agung, DPR, dan Presiden. Oleh karena itu, adanya satu Panel Ahli untuk memilih Hakim Konstitusi sebagaimana diatur dalam UU 4/2014 di samping bertentangan dengan Pasal 24C ayat (3) UUD 1945 juga bertentangan dengan filosofi yang mendasari perlunya Hakim Konstitusi dipilih oleh lembaga negara yang berbeda. Pasal 24C UUD 1945 memberikan kewenangan atributif yang bersifat mutlak kepada masing-masing lembaga negara. Oleh karenanya, menurut Mahkamah, dalil para Pemohon sepanjang mengenai tatacara pemilihan Hakim Konstitusi sebagaimana diatur dalam UU 4/2014 beralasan menurut hukum;

[3.22]    Menimbang bahwa UU 4/2014 juga mengatur keterlibatan Komisi
Yudisial dalam pembentukan Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi. Terhadap ketentuan ini, menurut Mahkamah, bahwa checks and balances adalah suatu mekanisme yang diterapkan untuk mengatur hubungan antara kekuasaan legislatif dan eksekutif. Dalam praktik ketatanegaraan, seperti yang terjadi di Amerika Serikat, checks and balances diwujudkan dengan adanya hak veto oleh Presiden terhadap Undang-Undang yang telah disahkan oleh Kongres. Checks and balances tidak ditujukan kepada kekuasaan kehakiman karena antara kekuasaan kehakiman dan cabang kekuasaan yang lain berlaku pemisahan kekuasaan. Prinsip utama yang harus dianut oleh negara hukum maupun rule of law state adalah kebebasan kekuasaan yudisial atau kekuasaan kehakiman. Setiap campur tangan terhadap kekuasaan kehakiman dari lembaga negara apa pun yang menyebabkan tidak bebasnya kekuasaan kehakiman dalam menjalankan fungsinya, akan mengancam prinsip negara hukum. Dalam negara hukum, kekuasaan kehakiman bahkan mempunyai kewenangan untuk melakukan koreksi atas kekuasaan eksekutif dan kekuasaan legislatif. Koreksi terhadap kekuasaan eksekutif dilakukan dalam kasus atau perkara tata usaha negara, yaitu kewenangan pengadilan tata usaha negara untuk menyatakan keputusan tata usaha negara sebagai batal karena bertentangan dengan Undang-Undang. Selain itu, kewenangan lembaga peradilan untuk mengoreksi kekuasaan lembaga negara


yang lain diwujudkan pula dengan adanya kewenangan Mahkamah Agung untuk menguji peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang terhadap Undang-Undang, sedangkan koreksi terhadap Undang-Undang dilakukan dengan memberi kewenangan kepada Mahkamah Konstitusi untuk melakukan pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar. Dengan demikian, berdasarkan prinsip pemisahan kekuasaan dan kebebasan kekuasaan kehakiman, bentuk campur tangan apa pun kepada kekuasaan kehakiman adalah dilarang. Prinsip tersebut telah diterima secara universal dan UUD 1945 telah mengadopsinya dan dalam negara hukum tidak terdapat satu ketentuan pun yang membuka peluang kekuasaan lain untuk campur tangan kepada kekuasaan kehakiman;
Bahwa Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 dengan tegas menyatakan kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Dalam UUD 1945 tidak ada satu ketentuan yang membatasi kebebasan kekuasaan kehakiman. Kebebasan kekuasaan kehakiman bukanlah sebuah privilege dari kekuasaan kehakiman itu sendiri, melainkan ruh dari kekuasaan kehakiman dalam sebuah negara hukum. Kebebasan kekuasaan kehakiman, sebagaimana dinyatakan oleh Montesquieu, adalah untuk melindungi warga negara dari kesewenang-wenangan kekuasaan legislatif maupun kekuasaan eksekutif.
Meskipun kekuasaan kehakiman tidak dapat diintervensi oleh cabang kekuasaan lain di luar kekuasaan kehakiman sebagaimana telah dijamin dalam UUD 1945, namun tidak berarti hakim, termasuk hakim konstitusi, terbebas atau kebal dari sanksi etika maupun sanksi hukum apabila yang bersangkutan melakukan pelanggaran baik etika maupun tindak pidana yang masing-masing pelanggaran tersebut, telah tersedia tata cara dan forum penyelesaiannya.
Dalam hubungannya dengan Komisi Yudisial, Mahkamah telah memutus dalam Putusan Nomor 005/PUU-IV/2006, bertanggal 23 Agustus 2006, bahwa Hakim Mahkamah Konstitusi tidak terkait dengan ketentuan yang diatur dalam Pasal 24B UUD 1945. Komisi Yudisial bukanlah lembaga pengawas dari Mahkamah Konstitusi apalagi lembaga yang berwenang untuk menilai benar atau tidak benarnya putusan Mahkamah sebagai putusan lembaga peradilan. Dalam praktik negara hukum, tidak pernah terjadi di manapun putusan pengadilan dapat dinilai benar atau tidak benarnya oleh lembaga negara yang lain, alih-alih oleh


sebuah komisi, bahkan komentar yang berlebihan dan tidak sewajarnya terhadap kekuasaan kehakiman dalam menjalankan fungsinya menyelesaikan sengketa (dispute settlement) yang dapat menimbulkan ketidakpercayaan publik yang meluas di banyak negara dikualifikasikan sebagai contempt of court. Kebebasan untuk menyatakan pendapat dijamin sebagai hak asasi manusia namun dalam hubungannya dengan kekuasaan kehakiman kebebasan tersebut dibatasi dengan mensyaratkan formalitas, bahkan pembatasan tersebut dapat berupa sanksi pidana sebagaimana ditetapkan dalam Undang-Undang. Negara Eropa yang dapat dikatakan sebagai penganut demokrasi yang sangat liberal, bahkan membatasi kebebasan menyampaikan pendapat yang berkaitan dengan kekuasaan kehakiman. Hal demikian dapat ditemukan dalam Article 10 European Convention on Human Rights yang menyatakan:
(1)   Everyone has the right to freedom of expression. This right shall include freedom to hold opinions and to recieve and impart information and ideas without interference by public authority and regardless of frontiers. This article shall not prevent States from requiring the licensing of broadcasting television or cinema enterprises.
(2)   The exercise of these freedom since it carries with it duties and responsibilities, may be subject to such formalities, conditions, restrictions or penalties as are prescribed by law and are necessary in a democratic society, in the interests of national security, territorial integrity or public safety, for the prevention of disorder or crime, for the protection of health or morals, for the protection of the reputation or rights of others, for preventing the disclosure of information received in confidence, or for maintaining the authority and impartiality of the judiciary.
Bahwa negara-negara Eropa yang berdasarkan demokrasi liberal dan sangat menjunjung tinggi kebebasan menyatakan pendapat membatasi kebebasan tersebut demi menjaga kewenangan dan imparsialitas lembaga peradilan, dan tentunya hal tersebut diperlukan untuk menegakkan negara hukum, bukan untuk kepentingan kekuasaan lembaga peradilan. Persoalannya justru bagaimana dengan sistem ketatanegaraan Indonesia yang tidak berdasarkan demokrasi liberal. Apakah dalam penggunaan hak kebebasannya dalam negara hukum akan lebih liberal dari negara-negara Eropa. Tentunya pembentuk Undang-Undang yang akan menjawabnya;
Memang peran Komisi Yudisial dalam pembentukan Majelis Kehormatan tidaklah langsung, namun Pasal 87B UU 4/2014 menimbulkan banyak persoalan hukum. Ayat (2) pasal a quo menyatakan, "Peraturan pelaksanaan dari


Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang ini harus ditetapkan paling lama 3 (tiga) bulan terhitung sejak Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini diundangkan."

Permasalahan hukum pertama adalah apa yang dimaksud dengan peraturan pelaksanaan dari PERPU. Mahkamah berpendapat bahwa secara konstitusional PERPU memiliki kekuatan mengikat yang sama dengan Undang-Undang. Oleh karenanya, peraturan pelaksanaan dari PERPU juga harus sama dengan peraturan pelaksanaan dari suatu Undang-Undang. Ketentuan yang termuat di dalam Pasal 87B UU 4/2014 ini bersifat umum. Artinya, peraturan pelaksanaan tersebut adalah peraturan pelaksanaan dari seluruh PERPU dan bukan pelaksanaan dari pasal tertentu saja. Oleh karena PERPU sama kekuatan mengikatnya dengan Undang-Undang, maka peraturan pelaksana yang dimaksud oleh pasal a quo secara konstitusional tidak ada lain kecuali Peraturan Pemerintah sesuai ketentuan Pasal 5 ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan, "Presiden menetapkan peraturan pemerintah untuk menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya." Dengan demikian, atas perintah ketentuan ini Pemerintah wajib membuat peraturan pelaksanaan.
Permasalahan kedua menyangkut frasa yang menyatakan, "... harus ditetapkan paling lama 3 (tiga) bulan terhitung sejak Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang ini diundangkan." Penjelasan Pasal 87B menyatakan, "Cukup jelas". Dengan demikian, pasal ini harus dimaknai berdasar rumusan kalimat atau frasa yang tertulis dari aspek tatanan kalimat dan bahasa yang digunakan dan tidak dapat dimaknai di luar bahasa yang digunakan, serta bukan berdasar penafsiran perorangan atau Pemerintah maupun DPR, karena Undang-Undang yang dinyatakan dalam simbol bahasa tersebut telah mengikat umum dan menjadi milik publik pula. Frasa yang menggunakan kata "harus", pastilah punya makna normatif untuk ditaati. Apabila tidak ditaati berarti telah terjadi pelanggaran terhadap perintah "harus" tersebut. PERPU 1/2013 diundangkan pada tanggal 17 Oktober 2013. Tiga bulan dari tanggal tersebut jatuh pada 17 Januari 2014 dan tidak ada Peraturan Pemerintah untuk pelaksanaan PERPU tersebut. Dengan demikian, sekarang telah terjadi pelanggaran. Sebuah pelanggaran menimbulkan


konsekuensi hukum. Jika merupakan pelanggaran pidana dapat dijatuhi pidana. Ketentuan Pasal 87B bermaksud memberikan kewenangan delegatoir kepada pembuat peraturan pelaksana, namun jika dibaca rumusannya, ketentuan kewenangan delegatoir tersebut disyarati, yaitu, waktunya selama tiga bulan. Hal tersebut terbukti dari frasa "harus ditetapkan paling lama 3 (tiga) bulan". Oleh karena ketentuan ini bukan mengatur pidana tetapi mengatur kewenangan yang didelegasikan, sehingga jika ternyata kewenangan tersebut tidak digunakan sesuai perintah maka kewenangan tersebut akan kadaluwarsa atau hapus. Sejak PERPU tersebut diundangkan sampai dengan tanggal 17 Januari 2014 tidak ditetapkan peraturan pelaksanaan oleh Presiden dalam bentuk Peraturan Pemerintah, sehingga tidak ada lagi kewenangan untuk membuat Peraturan Pemerintah. Pasal 87B telah habis masa berlakunya, artinya delegasi kewenangan membuat peraturan pelaksanaan telah daluwarsa;
Permasalahan hukum ketiga timbul dari rumusan Pasal 87B ayat (3) a quo yang menyatakan, "Selama peraturan pelaksanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) belum ditetapkan, pembentukan Panel Ahli dan Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi dilaksanakan oleh Komisi Yudisial." Sebagaimana diuraikan sebelumnya, yang didelegasikan oleh Pasal 87B ayat (2) PERPU 1/2013 adalah pembuatan peraturan pelaksanaan, artinya delegasi untuk mengatur. Hal itu menurut Mahkamah, secara konstitusional bentuk hukumnya adalah Peraturan Pemerintah, sedangkan ayat (3) yang didelegasikan adalah kewenangan untuk membentuk Panel Ahli dan Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi yang keduanya merupakan hal berbeda. Kewenangan membuat peraturan pelaksanaan akan menghasilkan peraturan yang bersifat umum, sedangkan kewenangan untuk membentuk Panel Ahli dan Majelis Kehormatan akan menghasilkan keputusan yang konkret;
Bahwa hal berikutnya berkaitan dengan kapan kewenangan untuk membentuk Panel Ahli dan Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi. Hal itu diatur dalam Pasal 87B ayat (3) UU 4/2014 yang menyatakan, "Selama peraturan pelaksanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) belum ditetapkan, pembentukan Panel Ahli dan Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi dilaksanakan


oleh Komisi Yudisial". Sejak PERPU a quo diundangkan sampai dengan permohonan ini diajukan, peraturan pelaksanaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) belum ditetapkan, sehingga semestinya Komisi Yudisial sudah harus menetapkan Panel Ahli dan Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi. Demikianlah maksud PERPU tersebut - terlepas konstitusional atau tidak konstitusionalnya -mengenai apa yang harus dilakukan oleh Komisi Yudisial menurut PERPU yang telah menjadi Undang-Undang tersebut. Pendapat Mahkamah di atas memperlihatkan secara jelas betapa rancunya PERPU a quo dibuat yang tujuannya adalah untuk melibatkan Komisi Yudisial dalam pengajuan Hakim Konstitusi dan pengawasan terhadap Mahkamah Konstitusi.
Pelibatan Komisi Yudisial sebagaimana ketentuan dalam UU 4/2014 adalah merupakan bentuk penyelundupan hukum karena hal tersebut secara jelas bertentangan dengan Putusan Mahkamah Nomor 005/PUU-IV/2006, tanggal 23 Agustus 2006, yang menegaskan secara konstitusional bahwa Hakim Mahkamah Konstitusi tidak terkait dengan Komisi Yudisial yang mendapatkan kewenangan berdasarkan Pasal 24B UUD 1945. Terhadap tindakan penyelundupan hukum yang demikian maupun tindakan yang inkonstitusional lainnya harus dikoreksi oleh Mahkamah melalui upaya judicial review ini demi menjaga tegaknya konstitusi.
Berdasarkan pertimbangan hukum di atas, Mahkamah berpendapat bahwa dalil-dalil permohonan para Pemohon sepanjang mengenai pembentukan Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi beralasan menurut hukum;
[3.23] Menimbang bahwa UU 4/2014 mengubah ketentuan yang mengatur tentang syarat Hakim Konstitusi sebagaimana tertuang dalam Pasal 15 ayat (2) huruf i UU 4/2014 a quo yang menyatakan, "Tidak menjadi anggota partai politik dalam jangka waktu paling singkat 7 (tujuh) tahun sebelum diajukan sebagai calon hakim konstitusi." Ketentuan a quo dicantumkan dalam PERPU 1/2013 setelah kejadian tertangkap tangannya M. Akil Mochtar, yang waktu itu sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi, oleh KPK. Oleh karenanya, sulit untuk dilepaskan anggapan bahwa ayat ini tidak didasarkan atas kenyataan bahwa M. Akil Mochtar berasal dari politisi/Anggota DPR sebelum menjadi Hakim Konstitusi. Dengan demikian,


Pasal 15 ayat (2) huruf i UU 4/2014 dicantumkan berdasarkan stigma yang timbul dalam masyarakat.
Bahwa hak untuk berserikat dan berkumpul, termasuk hak untuk menjadi anggota partai politik dijamin Pasal 28 dan Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 dan hak untuk ikut serta dalam pemerintahan adalah hak yang dijamin Pasal 28D ayat (3) UUD 1945. Stigma biasanya menggeneralisasi, yaitu apa yang telah terjadi pada M. Akil Mochtar kemudian dijadikan dasar bahwa setiap anggota partai politik pastilah tidak pantas menjadi Hakim Konstitusi. Stigmatisasi seperti ini menciderai hak-hak konstitusional seorang warga negara yang terkena stigmatisasi tersebut padahal haknya dijamin oleh UUD 1945. Hak untuk menjadi Hakim Konstitusi bagi setiap orang adalah hak dasar untuk ikut dalam pemerintahan. Oleh karenanya, setiap pembatasan terhadap hak tersebut haruslah memiliki landasan hukum yang kokoh dan valid. Mahkamah pernah memutus satu ketentuan dalam Undang-Undang yang didasarkan atas suatu stigma, yaitu larangan bagi seorang warga negara untuk menjadi calon anggota DPR, DPD, dan DPRD provinsi/kabupaten/kota yang terlibat tidak langsung dalam peristiwa G30S/PKI yang menyatakan, "...bahwa dari sifatnya, yaitu pelarangan terhadap kelompok tertentu warga negara untuk mencalonkan diri sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Pasal 60 huruf g jelas mengandung nuansa hukuman politik kepada kelompok sebagaimana dimaksud. Sebagai negara hukum, setiap pelarangan yang mempunyai kaitan langsung dengan hak dan kebebasan warga negara harus didasarkan atas putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap;" [vide Putusan Nomor 011-017/PUU-I/2003, bertanggal 24 Februari 2004]. Pertimbangan Mahkamah mengenai larangan melakukan hukuman politik berdasarkan stigma tersebut harus berlaku pula untuk perkara a quo, yaitu tidak membuat aturan berdasarkan stigmatisasi baik terhadap anggota partai politik atau anggota DPR, maupun kelompok atau golongan masyarakat lainnya, untuk mencalonkan diri atau dicalonkan menjadi Hakim Konstitusi. Dari segi original intent pengajuan Hakim Konstitusi dari DPR dimaksudkan bahwa DPR bebas memilih calon Hakim Konstitusi termasuk dari Anggota DPR yang


memenuhi syarat, asalkan pada saat menjadi Hakim Konstitusi melepaskan keanggotaannya dari partai politik. Sumber calon Hakim Konstitusi haruslah dibuka seluas-luasnya dari berbagai latar belakang, sepanjang sesuai dengan syarat-syarat yang telah ditentukan;
Bahwa korupsi haruslah diberantas adalah benar, tetapi memberikan stigma dengan menyamakan semua anggota partai politik sebagai calon koruptor dan oleh karenanya berkepribadian tercela dan tidak dapat berlaku adil sehingga tidak memenuhi syarat menjadi Hakim Konstitusi adalah suatu penalaran yang tidak benar. Perilaku tercela dan tidak adil merupakan tabiat individual yang harus dilihat secara individual juga. Di samping melanggar UUD 1945, persyaratan yang terdapat dalam Pasal 15 ayat (2) huruf i UU 4/2014 tersebut sangatlah rentan untuk diselundupi. Partai politik di Indonesia cukup banyak, tidak saja yang lolos ikut pemilihan umum tetapi juga yang tidak lolos ikut pemilihan umum. Sudahkah semua partai politik mempunyai daftar anggota yang disusun secara tertib dan terdapat kewajiban bagi partai politik mengeluarkan kartu anggota kepada anggotanya. Kalaupun ada seseorang menyatakan diri sudah sejak tujuh tahun tidak menjadi anggota partai politik, adakah catatan resmi yang bisa memberi kepastian hal tersebut sebab jika tidak ada catatan resmi, akan dengan mudah dipalsukan. Siapakah yang harus memberikan keterangan bahwa seseorang paling tidak sudah tujuh tahun tidak menjadi anggota partai politik. Tentunya supaya benar dan dapat dipastikan, keterangan tersebut haruslah diperoleh dari semua pengurus partai yang ada di Indonesia, termasuk partai lokal. Keanggotaan partai politik tidak dapat didasarkan atas dugaan semata. Bagaimana halnya dengan mereka yang menjadi simpatisan partai politik. Atas dasar rasionalitas apa sesungguhnya ketentuan ini dibuat. Mungkin saja terjadi seseorang yang hanya menjadi simpatisan partai politik tertentu, namun keterlibatannya dalam partai politik tersebut justru sangat dalam, baik secara langsung maupun tidak langsung, dibandingkan dengan anggota biasa. Kepada siapa sebetulnya larangan ini ditujukan. Kepada simpatisan tersebut atau memang kepada anggota biasa. Lain halnya jika larangan ini ditujukan kepada anggota partai politik yang pernah duduk menjadi Anggota DPR, yang akan sangat jelas maksudnya. Persoalan lain yang


juga akan muncul adalah, bagaimana jika anggota partai politik tersebut menjadi anggota DPD. Larangan ini mungkin dapat dilakukan kepada pengurus partai, namun demikian apakah ada catatan yang memadai siapa saja pengurus partai dari tingkat pusat sampai daerah. Pengurus partai di tingkat pusat terdaftar di Kementerian Hukum dan HAM. Masalahnya, bagaimana dengan kepengurusan partai di tingkat daerah sampai terbawah. Apakah juga ada catatan resminya disertai dengan kepemimpinan siapa yang sah dan valid, karena seringkali pula terjadi adanya sengketa keabsahan kepengurusan partai politik, baik di tingkat pusat sampai dengan tingkat daerah;
Bahwa berdasarkan uraian sebagaimana tersebut di atas, menurut Mahkamah, ketentuan a quo bertentangan dengan Pasal 24C ayat (3), Pasal 28, Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3), Pasal 28E ayat (3) UUD 1945. Ketentuan a quo tanpa landasan konstitusional yang benar sebagaimana ditentukan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945. Pengaturan dalam Pasal 15 ayat (2) huruf i UU 4/2014 lebih didasarkan pada stigmatisasi belaka yang dalam penerapannya penuh dengan permasalahan hukum, sehingga dalil permohonan para Pemohon sepanjang mengenai syarat yang ditentukan dalam Pasal 15 ayat (2) huruf i UU 4/2014 beralasan menurut hukum;
[3.24] Menimbang bahwa pendapat Mahkamah mengenai tiga substansi hukum sebagaimana diuraikan di atas adalah pendapat terhadap jantung atau substansi inti UU 4/2014. Oleh karena itu cukup alasan bagi Mahkamah untuk menyatakan bahwa ketentuan dalam UU 4/2014 sebagaimana telah dipertimbangkan di atas, dan keseluruhan UU 4/2014 adalah bertentangan dengan UUD 1945;
[3.25] Menimbang bahwa selain itu, karena UU 4/2014, berasal dari PERPU 1/2013, Mahkamah perlu menegaskan hal-hal sebagai berikut:
Mahkamah dalam Putusan Nomor 138/PUU-VII/2009, tanggal 8 Februari 2010, telah dengan jelas menyatakan bahwa oleh karena materi PERPU adalah sama dan setingkat dengan materi Undang-Undang maka Mahkamah berwenang untuk menguji apakah PERPU tersebut bertentangan atau tidak


bertentangan dengan UUD 1945. Presiden berwenang untuk mengeluarkan PERPU hanya dalam keadaan kegentingan yang memaksa. Syarat ini ditetapkan oleh konstitusi yang oleh karenanya mengikat. Tanpa adanya kegentingan yang memaksa Presiden tidak berwenang untuk membuat PERPU;
Materi muatan PERPU adalah materi muatan Undang-Undang, mempunyai daya berlaku seperti Undang-Undang, mengikat umum sejak diundangkan, artinya sama dengan produk legislatif yaitu Undang-Undang. Dalam negara demokrasi, produk legislatif dibentuk oleh lembaga perwakilan rakyat atau parlemen. PERPU yang sama materi dan kekuatannya dengan Undang-Undang tidak dibentuk oleh Presiden bersama DPR [vide Pasal 20 UUD 1945], tetapi hanya dibentuk oleh Presiden seorang diri. Oleh karenanya, sangat beralasan jika UUD 1945 memberi syarat dalam keadaan apa PERPU dapat dibentuk oleh Presiden yaitu keadaan kegentingan yang memaksa;
Putusan Mahkamah Nomor 138/PUU-VII/2009, tanggal 8 Februari 2010, menetapkan tiga syarat adanya kegentingan yang memaksa sebagaimana dimaksud oleh Pasal 22 ayat (1) UUD 1945 yaitu:
1.    adanya keadaan yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan Undang-Undang;
2.    Undang-Undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, atau ada Undang-Undang tetapi tidak memadai;
3.    kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat Undang-Undang secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan."

Dengan demikian, meskipun kegentingan yang memaksa menjadi kewenangan Presiden untuk menafsirkannya, yang artinya diserahkan pada subjektifitas Presiden, namun subjektifitas itu harus ada dasar objektifitasnya, dan pembatasan tersebut disyaratkan oleh konstitusi. Pembentukan PERPU tidak boleh disalahgunakan, mengingat sebenarnya materi PERPU adalah materi Undang-Undang yang tidak dapat diputuskan sendiri oleh Presiden tanpa persetujuan DPR. Ketiga syarat konstitusionalitas sebagaimana disebutkan di atas adalah sebagai indikasi kegentingan yang memaksa, atau dengan kata lain, karena adanya keadaan tertentu yang harus diatasi segera supaya tidak terjadi


ketidakpastian hukum. Hal tersebut dilakukan dengan pembentukan hukum, dalam
hal ini PERPU;
PERPU harus mempunyai akibat prompt immediately yaitu "sontak segera" untuk memecahkan permasalahan hukum. Menurut Mahkamah, PERPU 1/2013 tidak ada akibat hukum yang "sontak segera". Hal tersebut terbukti bahwa meskipun PERPU telah menjadi Undang-Undang, PERPU tersebut belum pernah menghasilkan produk hukum apapun;
Konsiderans (menimbang) PERPU tidak mencerminkan adanya kesegeraan tersebut, yaitu apa yang hanya dapat diatasi secara segera. Panel Ahli sampai sekarang belum kunjung terbentuk, perekrutan Hakim Konstitusi untuk menggantikan M. Akil Mochtar belum dapat dilakukan, justru semakin tertunda karena adanya ketentuan yang terdapat dalam PERPU. Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi belum terbentuk dan kalaupun terbentuk pun tidak ada masalah mendesak yang harus diselesaikan;
Dari uraian tersebut di atas, pembentukan PERPU 1/2013 tidak memenuhi syarat konstitusional kegentingan yang memaksa. Hal ini sesuai dengan ungkapan yang dikemukakan oleh ahli Prof. H.A.S Natabaya, S.H., LL.M. bahwa "ke atas tak berpucuk, ke bawah tak berakar, di tengah digerek kumbang";
Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, menurut Mahkamah keadaan kegentingan yang memaksa, yang disyaratkan oleh UUD 1945 dan Putusan Nomor 138/PUU-VII/2009 tersebut, dalam penetapan PERPU, tidak terpenuhi;
[3.26] Menimbang oleh karena UU 4/2014 beserta lampirannya dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan dengan demikian tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sebagaimana amar putusan yang akan disebutkan di bawah ini, maka Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi dinyatakan berlaku kembali sebagaimana sebelum diubah oleh PERPU 1/2013 yang kemudian menjadi UU 4/2014.


4. KONKLUSI
Berdasarkan penilaian atas fakta dan hukum sebagaimana diuraikan di atas, Mahkamah berkesimpulan:

[4.1]     Mahkamah berwenang untuk mengadili permohonan a quo;
[4.2]     Para Pemohon mempunyai kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan a quo;
[4.3]     Pokok permohonan para Pemohon beralasan menurut hukum untuk seluruhnya;

Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226), dan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076);


5. AMAR PUTUSAN
Mengadili,
Menyatakan:
1. Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk seluruhnya;
1.1. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi Menjadi Undang-Undang beserta lampirannya (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 5, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5493) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;


1.2.     Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi Menjadi Undang-Undang beserta lampirannya (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 5, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5493) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
1.3.     Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226), berlaku kembali sebagaimana sebelum diubah oleh Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5456) yang kemudian menjadi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 5, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5493);
2. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya.

Demikian diputuskan dalam Rapat Permusyawaratan Hakim oleh delapan Hakim Konstitusi, yaitu Hamdan Zoelva selaku Ketua merangkap Anggota, Arief Hidayat, Harjono, Maria Farida Indrati, Muhammad Alim, Patrialis Akbar, Anwar Usman, dan Ahmad Fadlil Sumadi, masing-masing sebagai Anggota, pada hari Selasa, tanggal sebelas, bulan Februari, tahun dua ribu empat belas, dan diucapkan dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi terbuka untuk umum pada hari Kamis, tanggal tiga belas, bulan Februari, tahun dua ribu empat belas, selesai diucapkan pukul 16.20 WIB, oleh delapan Hakim Konstitusi,


yaitu Hamdan Zoelva selaku Ketua merangkap Anggota, Arief Hidayat, Harjono, Maria Farida Indrati, Muhammad Alim, Patrialis Akbar, Anwar Usman, dan Ahmad Fadlil Sumadi, masing-masing sebagai Anggota, dengan didampingi oleh Yunita Rhamadani dan Wiwik Budi Wasito sebagai Panitera Pengganti, dihadiri oleh para Pemohon, Presiden/yang mewakili, dan Dewan Perwakilan Rakyat/yang mewakili.


KETUA,


ttd.

Hamdan Zoelva

ANGGOTA-ANGGOTA,


ttd.


ttd.





Arief Hidayat


Harjono





ttd.


ttd.





Maria Farida Indrati


Muhammad Alim





ttd.


ttd.





Patrialis Akbar


Anwar Usman



ttd.

Ahmad Fadlil Sumadi


PANITERA PENGGANTI,


ttd.


ttd.





Yunita Rhamadani


Wiwik Budi Wasito

Tidak ada komentar:

Posting Komentar