PUTUSAN Nomor 1-2/PUU-XII/2014
DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA
MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA
[1.1] Yang mengadili perkara konstitusi pada tingkat pertama
dan terakhir,
menjatuhkan putusan dalam perkara Pengujian
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi Menjadi
Undang-Undang, terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, yang diajukan oleh:
Alamat
Sebagai
2.
Nama Alamat
Sebagai
3.
Nama Alamat
|
[1.2] I-
PARA PEMOHON PERKARA NOMOR 1/PUU-XII/2014 1. Nama
: Dr. A- Muhammad Asrun, S.H,
M.H.
: Jalan Setia Nomor 23 RT 008/002, Bidara Cina,
Jatinegara, Jakarta Timur
Pemohon 1;
: Heru Widodo, S.H., M.Hum.
: Jalan Blok Dukuh RT 004/010 Cibubur, Ciracas,
Jakarta Timur
Pemohon 2;
Pemohon 2;
: Samsul Huda, S.H.,M.H.
Sebagai 4. Nama Alamat
Sebagai
|
: Jalan Tarumanegara Nomor 48C RT 004/011, Pisangan,
Ciputat Timur, Tangerang Selatan, Banten
----------------------------------------------------------------------- Pemohon
3;
: Dorel
Almir, S-H-, M-Kn-
: Jalan Taman Meruya Ilir I-2
Nomor 6 RT 006/007, Meruya Utara, Kembangan, Jakarta Barat
Pemohon 4;
5.
Nama Alamat
Sebagai
6.
Nama Alamat
Sebagai
7.
Nama Alamat
Sebagai
8.
Nama Alamat
Daniel Tonapa Masiku, S.H.
Jalan
Kalipasir, Gang Eretan Nomor 256 RT
004/008, Kebon Sirih, Menteng, Jakarta Pusat
----------------------------------------------------------------------- Pemohon 5;
004/008, Kebon Sirih, Menteng, Jakarta Pusat
----------------------------------------------------------------------- Pemohon 5;
: Samsudin, S-H-
: Villa Perwata Blok B Nomor 6 RT 001/003 Pondok
Petir, Bojongsari, Depok, Jawa Barat
Pemohon 6;
: Dhimas Pradana, S-H-
: Bojong Menteng, RT 006/009, Rawalumbu, Bekasi, Jawa Barat
----------------------------------------------------------------------- Pemohon
7;
: Aan
Sukirman, S-H-
: Dusun Puhun RT 001/001 Windusari, Nusaherang,
Kuningan, Jawa Barat
Sebagai Selanjutnya disebut sebagai
Pemohon 8; para Pemohon I;
II. PARA PEMOHON PERKARA NOMOR 2/PUU-XII/2014
1.
Nama Alamat
Sebagai
2.
Nama Alamat
Sebagai
3.
Nama Alamat
Sebagai
: Gautama Budi Arundhati, S.H., L.L.M.
: Jalan Kalimantan 37, Kampus Tegal Boto, Kotak
Pos
9, Jember
Pemohon 1;
Pemohon 1;
: Dr. Nurul Ghufron, S.H., M.H.
: Jalan Kalimantan 37, Kampus Tegal Boto, Kotak
Pos 9, Jember
Pemohon 2; : Dr. Aries Harianto, S.H., M.H.
: Jalan Kalimantan 37, Kampus
Tegal Boto, Kotak
Pos 9, Jember
Pemohon 3;
4. Nama
Alamat
Sebagai
5. Nama
Alamat
Sebagai
6. Nama
Alamat
Jalan Kalimantan 37, Kampus Tegal Boto, Kotak Pos 9, Jember
Sebagai--------------------------------------------------------------------------------- Pemohon
6;
7. Nama
: Iwan Rachmat Soetijono, S.H.,
M.H.
Alamat :
Jalan Kalimantan 37, Kampus Tegal Boto, Kotak
Pos 9, Jember
Sebagai
Pemohon 7;
Selanjutnya disebut sebagai---------------------------------------------------------------------- para
Pemohon II;
Selanjutnya keselurahannya
disebut sebagai............................................... para
Pemohon;
[1.3] Membaca permohonan para Pemohon I dan para Pemohon II;
Mendengar keterangan para
Pemohon I dan para Pemohon II; Mendengar dan membaca keterangan Presiden;
Membaca keterangan tertulis Dewan Perwakilan Rakyat; Membaca keterangan
tertulis Komisi Yudisial;
Mendengar dan membaca keterangan ahli para Pemohon I
dan para Pemohon II, serta Presiden;
Memeriksa bukti-bukti tertulis
para Pemohon I dan para Pemohon II;
Membaca
kesimpulan tertulis para Pemohon I dan para Pemohon II, serta Presiden.
2. DUDUK PERKARA
[2.1] Menimbang bahwa para Pemohon I telah mengajukan
permohonan
bertanggal 26 Desember 2013 yang diterima di
Kepaniteraan Mahkamah dan telah dicatat dalam Buku Registrasi Perkara
Konstitusi dengan Nomor 1/PUU-XII/2014 pada tanggal 8 Januari 2014, yang telah
diperbaiki dengan permohonan bertanggal 23 Januari 2014 dan diterima
Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 23 Januari 2014, serta diperbaiki kembali
dengan perbaikan permohonan kedua bertanggal 23 Januari 2014 yang diterima
Kepaniteraan Mahkamah pada persidangan tanggal 30 Januari 2014, yang pada
pokoknya sebagai berikut:
I. KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI
Berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, Pasal 10 ayat
(1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
[selanjutnya disebut UU 24/2003, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003
Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4316, bukti P-3], sebagaimana diubah dengan
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tetang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24
Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi [selanjutnya disebut UU 8/2011, bukti P-4], Pasal 29 ayat (1) huruf a
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman [Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5076, selanjutnya disebut UU 48/2009, bukti P-5], maka salah satu kewenangan
Mahkamah Konstitusi adalah menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar.
Bahwa Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013
tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi [selanjutnya disebut Perppu 1/2013, bukti P-6] telah disahkan menjadi
Undang-Undang oleh Dewan Perwakilan Rakyat dalam Rapat Paripurna pada tanggal
19 Desember 2013, sebagaimana dimaksud Pasal 22 UUD 1945. I.2. Bahwa berdasarkan kewenangan
Mahkamah Konstitusi sebagaimana diuraikan di atas, apabila ada warga negara
atau sejumlah warga negara yang menganggap hak konstitusionalnya dirugikan
sebagai akibat pemberlakuan materi muatan dalam ayat, pasal, dan/atau bagian
Undang-
Undang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, Mahkamah Konstitusi berwenang
menyatakan materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian Undang-Undang tersebut
"tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat" sebagaimana diatur dalam
pasal 57 ayat (1) UU 8/2011.
1.3.
Bahwa Pemohon beranggapan hak-hak konstitusional
Pemohon yang diatur dan dilindungi dalam UUD 1945 telah dirugikan dengan adanya
UU 4/2014.
1.4.
Bahwa berkenaan dengan jurisdiksi Mahkamah Konstitusi
tersebut di atas dan uraian tersebut di atas, maka Mahkamah berhak dan
berwenang untuk melakukan pengujian konstitusionalitas UU 4/2014 terhadap UUD
1945.
II.Kedudukan Hukum (Legal Standing) Para Pemohon
Berdasarkan Pasal 51 ayat (1) UU 24/2003 Pemohon
adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya
dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang yaitu;
a.
perorangan warga negara Indonesia;
b.
kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup
dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang;
c.
badan hukum publik atau privat; atau
d.
lembaga negara.
11.2.
Bahwa dalam Penjelasan Pasal 51 ayat (1) UU 24/2003
dikatakan bahwa: "Yang dimaksud dengan hak konstitusional' adalah hak-hak yang
diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945." Uraian kerugian hak
konstitusional Pemohon akan dijabarkan lebih lanjut dalam permohonan a quo.
11.3.
Bahwa Mahkamah Konstitusi sejak Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 006/PUU-III/2005 tanggal 11 Mei 2005 dan Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 11/PUU-V/2007 tanggal 20 September 2007 serta putusan-putusan
selanjutnya berpendirian bahwa kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional
sebagaimana dimaksud Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Mahkamah Konstitusi harus
memenuhi lima syarat yaitu:
a. adanya hak dan/atau
kewenangan konstitusional Pemohon yang
diberikan UUD 1945;
b. hak dan/atau kewenangan
konstitusional tersebut oleh Pemohon dianggap dirugikan oleh berlakunya
Undang-Undang yang dimohonkan pengujian;
c. kerugian hak dan/atau
kewenangan konstitrusional tersebut harus bersifat spesifik (khusus) dan aktual
atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat
dipastikan akan terjadi;
d. adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian dimaksud dan
berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian;
e. adanya kemungkinan bahwa
dengan dikabulkannya permohonan, maka kerugian hak dan/atau kewenangan
konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi;
11.4.
Bahwa lima syarat sebagaimana dimaksud di atas
dijelaskan lagi oleh Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 27/PUU-VII/2009
tanggal 16 Juni 2010 dalam pengujian formil Perubahan Kedua Undang-Undang
Mahkamah Agung, yang menyebutkan sebagai berikut: "Dari praktik Mahkamah
(2003-2009), perorangan WNI, terutama pembayar pajak (tax payer; vide Putusan Nomor 003/PUU-I/2003
tanggal 29 Oktober 2004) berbagai asosiasi dan NGO/LSM yang concern terhadap suatu Undang-Undang
demi kepentingan publik, badan hukum, pemerintah daerah, lembaga negara, dan
lain-lain, oleh Mahkamah dianggap memiliki legal standing untuk mengajukan permohonan
pengujian, baik formil maupun materiil Undang-Undang terhadap UUD 1945. Pemohon
sebagai perorangan warga negara Indonesia.
11.5.
Bahwa berkaitan dengan permohonan ini, para Pemohon
menegaskan bahwa para Pemohon [bukti P-8, bukti P-8.a, bukti P-8.1, bukti P-8.1.a,
bukti P-8.2, bukti P-8.2.a, bukti P-8.3, bukti P-8.3.a, bukti P-8.4, bukti
P-8.4.a, bukti P-8.5, bukti P-8.5.a, bukti P-8.6, bukti P-8.6.a, bukti P-8.7,
bukti P-8.7.a] memiliki hak-hak konstitusional yang diatur dalam UUD 1945, yaitu
apabila dinyatakan sebagai setiap pribadi warga negara berhak untuk mendapatkan
perlakuan sesuai dengan prinsip "perlindungan dari kesewenang-wenangan"
sebagai konsekuensi dari dinyatakannya Negara Republik Indonesia sebagai negara
hukum, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 dan hak atas
pengakuan, jaminan, perlindungan,
dan kepastian hukum yang adil
serta perlakuan yang sama di hadapan hukum, sebagaimana diatur dalam Pasal 28D
ayat (1) UUD 1945.
11.6.
Bahwa para Pemohon adalah perorangan warga negara
Indonesia sebagaimana dimaksud Pasal 51 ayat
(1) huruf
a UU MK yang hak-hak konstitusionalnya telah dirugikan oleh berlakunya
Undang-Undang Nomor 4 Tahun
2014
tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun
2013 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi Menjadi Undang-Undang.
11.7.
Bahwa para Pemohon merupakan warga negara Indonesia
yang memiliki hak-hak yang dijamin konstitusi berupa hak-hak konstitusional
untuk mendapatkan pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang
adil, memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan
keadilan, perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan hak asasi manusia,
dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara dalam naungan
negara hukum sebagaimana dimaksud Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1), Pasal
28H ayat (2), Pasal 28I ayat (4), Pasal 28J ayat (1) UUD 1945.
Bahwa merujuk kepada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
006/PUU-III/2005 tanggal 31 Mei 2005 dan Putusan Nomor 11/PUU-V/2007 tanggal 20
September 2007 dan putusan-putusan selanjutnya, berpendirian bahwa kerugian hak
dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana dimaksud Pasal 51 ayat (1) UU MK
harus memenuhi 5 (lima) syarat sebagaimana yang telah diuraikan di atas, maka
para Pemohon memiliki
kedudukan hukum (legal standing) untuk bertindak sebagai Pemohon dalam permohonan
pengujian Undang-Undang a quo.
Bahwa UU 4/2014 akan memberi pengaruh terhadap
penyelenggaraan kekuasaan kehakiman di lingkungan kekuasaan kehakiman, yang
berujung pada hilangnya independensi kekuasaan kehakiman. Bilamana independensi
kekuasaan kehakiman hilang, maka pada akhirnya juga berimplikasi pada hilangnya
integiritas pelayanan jasa hukum yang melibatkan para advokat, sehingga
kualitas pelayanan jasa hukum juga akan merosot dan pada akhirnya akan
menghilangkan kepercayaan publik
terhadap penegakan hukum, termasuk proses hukum di
Mahkamah Konstitusi.
Oleh karena itu, bila UU
4/2014
dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, maka para Pemohon tidak akan
mengalami kerugian konstitusional di masa datang.
III. POKOK-POKOK PERMOHONAN
III.A. ALASAN FILOSOFIS
III.A.1. Bahwa keterkaitan hukum dengan dinamika sosial yang
bergerak secara sentrifugal, maka dengan sendirinya hukumpun harus berkembang dan
mengimbanginya pergerakannya secara sentripetal ke arah pembentukan nilai-nilai substantif yang
berbanding lurus dengan dinamika sosial tersebut, dan hukum bukan sekedar kotak
kosong (empty
box) yang
tanpa makna dan manfaat. Dalam tataran ini, maka hukum harus memiliki spirit
nilai-nilai komunitas manusia yang bersukma keadilan, menjamin kepastian dan
memiliki nilai kemanfaatan (Charles de Scondat, Baron de Montesquieu,
1914:152-154).Oleh karena itu, Hukum tidak sekedar dipahami sebagai norma yang
menjamin kepastian dan keadilan tetapi juga harus dilihat dari perspektif
kemanfaatan. (John Rawl, 2006:513-517)-Seperti halnya kajian Kelsen tentang hukum
adalah norma hukum (the legal norm), elemen-elemennya,
interelasinya, tatanan hukum secara keseluruhan strukturnya, hubungan tatanan
hukum yang berbeda, dan kesatuan hukum dalam tatanan hukum positif yang
majemuk. Realitas hukum adalah suatu fenomena yang lebih banyak dirancang
sebagai "the
positiveness of law",dan dalam hal ini Kelsen membedakan dengan jelas antara "empirical law and
transcendental justice by excluding the letter from specific concerns." (Hans Kelsen, 1978: xiii -
xiv).Hukum bukan manifestasi dari suatu "superhuman authority", tetapi merupakan suatu teknik
sosial berdasarkan pengalaman manusia. Konsekuensinya, dasar suatu hukum atau
"validitasnya" bukan dalam prinsip-prinsip meta juristik, tetapi
dalam suatu hepotesis juristik, yakni suatu norma dasar yang ditetapkan oleh "a logical analysis of
actual juristic thinking". Dengan demikian, Kelsen tidak berbicara tentang hukum
sebagai kenyataan dalam praktek, tetapi hukum sebagai disiplin ilmu, yakni apa
yang terjadi dengan hukum dalam praktek berbeda dengan apa yang dipelajari
dalam ilmu
hukum, yang hanya mempelajari
norma-norma hukum positif bukan aspek-aspek etis, politis, atau sosiologis yang
dapat muncul dalam praktek hukum (Hans Kelsen,
1978:5). III.A.2.
Bahwa oleh
karena itu, lembaga peradilan sebagai perwujudan kekuasaan kehakiman (judicial power) hendaknya difungsikan sebagai:
a)
Katup penekan (Pressure value), yaitu bahwakewenangan yang
diberikan oleh konstitusi dan undang-undang adalah untuk menekan setiap tindakan
yang bertentangan dengan hukum dengan cara menghukum setiap pelanggaran yang
dilakukan oleh siapapun dan oleh pihak manapun. Setiap pelanggaran tersebut
adalah yang bersifat inkonstitusional, yang bertentangan dengan ketertiban umum
(contrary
to the public order); dan yang melanggar kepatutan (violation with the
reasonableness);
b)
Senjata pamungkas (ultimum remedium), yaitu bahwa konstitusi dan
Undang-Undang menempatkan badan-badan peradilan sebagai senjata pamungkas, di
samping sebagai tempat terakhir (the last resort) untuk mencari dan menegakkan
kebenaran dan keadilan. Hal ini berarti menutup adanya lembaga di luar pengadilan
untuk mencari kebenaran dan keadilan;
c)
Penjaga kemerdekaan masyarakat (The Guardian of
citizen's constitutional rights and human rights), yaitu bahwa lembaga peradilan
harus mampu dan mengedapankan hak-hak konstitusional warga negara dan hak asasi
manusia (to
respect, to protect and to fullfil of human rights);
d)
Sebagai Wali Masyarakat (judiciary are regarded as
costudian of society), yaitu bahwa badan-badan peradilan merupakan tempat
perlindungan (protection)
dan
pemulihan kepada keadaan semula (restitio in integrum) bagi anggota masyarakat yang
merasa teraniaya atau dirugikan kepentingannya atau diperkosa haknya baik oleh
perorangan, kelompok bahkan oleh penguasa. Hal ini berarti lembaga peradilan
berwenang memutus dan menentukan: apakah tindakan itu boleh dilakukan atau
tidak; apakah tindakan/perbuatan yang boleh dilakukan itu telah melampaui batas
atau tidak; dan menentukan apakah suatu perjanjian yang dibuat berdasar asas
kebebasan
berkontrak (the freedom of contract
principle) bertentangan
dengan ketertiban umum atau kepatutan,
e)
Prinsip Hak Imunitas(Immunity Right) yaitu bahwa dalam menjalankan
fungsi peradilan, maka lembaga peradilan oleh hukum diberikan hak immunitas
(lihat Pasal 1365 BW dan SEMA Nomor 9 Tahun 1976 tanggal 16 Desember 1976), dan
f)
Putusan Pengadilan seperti Putusan Tuhan (Judicium
Dei) yaitu
bahwahal ini sebagai konsekuensi dari prinsip bebas dan mandiri yang diberikan
konstitusi dan Undang-Undang kepada lembaga peradilan dan hakim. (Yahya
Harahap, 2011:3-9)
III.A.3. Bahwa sebagaimana dikemukan oleh Gustav Radbruch bahwa
jika hukum positifisinya tidak adil dan gagal untuk melindungi kepentingan
rakyat, maka Undang-Undang seperti ini adalah cacat secara hukum dan tidak
memiliki sifat hukum, sebab hukum itu pada prinsipnya untuk menegakkan
keadilan. Dalam kalimat Radbruch, dikatakan bahwa, "The positive law,
secured by legislation and power, takes precedence even when its content is
unjust and fails to benefit the people, unless the conflict between statute and
justice reaches such an intolerable degree that the statute, as 'flawed law',
must yield to justice. It is impossible to draw sharper line between cases of
statutory lawlessness and statutes that are valid despite their flaws. One line
of distinction, however, can be drawn without most clarity: Where there is not
even an attempt at justice, where equality, the core of justice, is
deliberately betrayed in the issuance of positive law, then the statute is not
merely 'flawed law', it lacks completely the very nature of law. For law,
including positive law, cannot be otherwise defined than as a system and an
institution whose very meaning is to serve justice. Measured by this standard,
whole portions of National Socialist law never attained the dignity of valid
law. (Statutory Lawlessness and Supra-Statutory Law (1946), Oxford Journal of Legal
Studies, Vol. 26, No. 1 (2006), pp. 1-11, hal 7).Singkatnya, menurut
Radbruch, peradilan yang adil harus memuat elemen kemanfaatan (utility) dan kepastian (certainty) untuk menjaga keseimbangan
antara "thin
concept" (procedural of rule of law) dengan "thick concept"
(substantive rule of law). Elemen-elemen "the rule of law principles" menurut Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB), yaitu:
1) supremacy of law (UN, 2006);
2) equality before the law;
3) accountability to the law;
4) fairness in the application of
the law;
5) separation of power;
6) legal certainty;
7) avoidance of arbitrary;
8) procedural of legal certainty;
Sebagai kritik yang acapkali dilontarkan terhadap
terhadap kebijaksanaan adalah bahwa hal itu dapat mengakibatkan keputusan yang
sewenang-wenang. "Di mana ada kebijaksanaan". Menurut Dicey hal tersebut selalu "terdapat ruang untuk
kesewenang-wenangan" dan merupakan "A common criticism levelled
against discretion is that it may result in arbitrary decisions. 'Wherever
there is discretion', Dicey wrote, 'there is room for arbitrariness.'15 An
arbitrary decision may be defined as one based upon improper criteria which do
not relate in any rational way to the relevant goal. Thus 'the paradigm
arbitrary decision', Jowell points out, 'is one based upon particularistic
criteria such as friendship, or ascriptive criteria such as race, or upon
caprice, whim, or prejudice.'(A. V. Dicey, Introduction to the Study of the Law
of the Constitution (10th edn., 1964), 188. Oleh karena itu sebuah
keputusan sewenang-wenang dapat didefinisikan sebagai salah satu berdasarkan
kriteria yang tidak benar, tidak diputus dengan cara yang rasional sesuai
dengan tujuannya, karena tidak jarang keputusan sewenang-wenang timbul dari
paradigma, berdasarkan kriteria partikularistik seperti persahabatan, atau
kriteria askriptif seperti ras, atau prasangka.
III.A.4. Bahwa secara yuridis Undang-Undang Dasar Tahun 1945
memberikan jaminan semua warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan
pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan sebagaimana ditegaskan
oleh Pasal 1 ayat (3), Pasal 27 ayat (1) dan 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar
Tahun 1945.
III.B. ALASAN SUBSTANTIF
III.B.1. Dari sudut materiil, substansi
yang diatur dalam UU 4/2014, yang menurut para Pemohon dianggap telah
bertentangan dengan Undang-Undang
Dasar 1945 pada pokoknya
menyangkut tiga hal
utama, yaitu:
(a)
Penambahan
persyaratan untuk menjadi
hakim konstitusi;
(b)
Memperjelas mekanisme proses seleksi dan pengajuan
hakim konstitusi; dan (c) Perbaikan sistem pengawasan hakim konstitusi.
III.B.2. Bahwa UU 4/2014 yang mengatur
tentang "syarat
hakim konstitusi", sesuai Pasal 15 ayat (2) huruf i ditambah, "tidak
menjadi anggota partai politik dalam jangka waktu paling singkat 7 (tujuh)
tahun sebelum diajukan sebagai calon hakim konstitusi", adalah
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945.
III.B.3. Bahwa UU 4/2014 yang mengatur
tentang mekanisme proses seleksi dan pengajuan hakim konstitusi sehingga,
sebelum ditetapkan oleh Presiden, pengajuan calon hakim konstitusi oleh MA, DPR
dan/atau Presiden, terlebih dahulu dilakukan proses uji kelayakan dan kepatutan
yang dilaksanakan oleh Panel Ahli yang dibentuk oleh Komisi Yudisial. Panel
Ahli beranggotakan tujuh orang yang terdiri dari:
a. Satu orang diusulkan oleh MA;
b. Satu orang diusulkan oleh DPR;
c. Satu orang diusulkan oleh
Presiden; dan
d. Empat orang dipilih oleh
Komisi Yudisial berdasarkan usulan masyarakat yang terdiri atas mantan hakim
konstitusi, tokoh masyarakat, akademisi di bidang hukum, dan praktisi hukum.
adalah bertentangan dengan
Undang-Undang Dasar 1945.
Bahwa dengan merujuk pada "original intent" teks konstitusi, maka pola
rekruitmen "Panel
Ahli" tersebut bertentangan dengan UUD 1945, karena
UUD 1945 tidak mengamanatkan
pengajuan calon hakim konstitusi melalui
Komisi Yudisial, melainkan
diajukan masing-masing 3 (tiga) orang calon
hakim konstitusi dari DPR,
Presiden dan Mahkamah Agung.
Pasal 24C ayat (3) UUD 1945
mengatakan:
"Mahkamah Konstitusi mempunyai sembilan orang
hakim anggota hakim konstitusi yang ditetapkan oleh Presiden, yang diajukan
masing-masing tiga orang oleh Mahkamah Agung, tiga orang oleh Dewan Perwakilan
Rakyat, dan tiga orang oleh Presiden."
Perubahan pola rekruitmen calon hakim konstitusi
tersebut juga menjadikan Komisi Yudisial telah memperluas kewenangannya dengan
mengambil alih kewenangan lembaga Presiden, DPR dan Mahkamah Agung
dalam mekanisme pengajukan calon hakim konstitusi. Perubahan pola rekruitmen
calon hakim konstitusi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang a quo jelas bertentangan dengan UUD
dan merusak sistem konstitusi kita. Mahkamah Konstitusi harus konsisten menolak
penyimpangan konstitusi tersebut sebagaimana diperlihatkan dengan putusan yang
menolak permohonan pengujian UU Pilpres hendak maksud untuk membuka jalan bagi
calon presiden dari jalur perseorangan beberapa waktu lalu. Oleh karena itu,
sangat berasalan menurut hukum para Pemohon memohon kepada Mahkamah Konstitusi
untuk menyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat Undang-Undang a quo. III.B.4. Bahwa UU 4/2014 yang mengatur
tentang sistem pengawasan yang dilakukan dengan membentuk Majelis Kehormatan
Hakim Konstitusi (MKHK) yang sifatnya permanen, yang dibentuk bersama oleh
Komisi Yudisial dan MK dengan susunan keanggotaan lima orang terdiri dari:
a.
satu orang mantan hakim konstitusi;
b.
satu orang praktisi hukum;
c.
dua orang akademisi yang salah satu atau keduanya
berlatar belakang di bidang hukum; dan
d.
satu orang tokoh masyarakat.
Dan untuk mengelola dan membantu administrasi MKHK
dibentuk sekretariat yang berkedudukan di KY, adalah bertentangan dengan
Undang-Undang Dasar 1945.
III.B.5. Bahwa UU 4/2014
dikeluarkan dengan menyinggung setidaknya lembaga-lembaga negara lain berikut ini, yaitu Mahkamah
Konstitusi, Komisi Yudisial, Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat, Kekuasaan
Kehakiman, dan Mahkamah Agung, akan tetapi pada bagian "Mengingat"
hanya menjadikan "Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 8 Tahun 2011
tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi [Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226]. Seharusnya bagian
"Mengingat" Perpu Nomor 1 Tahun 2013 juga mencantumkan peraturan
perundang-undangan yang
mengatur Komisi Yudisial, Dewan
Perwakilan Rakyat, Mahkamah Agung dan Kekuasaan Kehakiman, yaitu Undang-Undang
Nomor 18 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 22 Tahun
2004
tentang Komisi Yudisial; Undang-Undang Nomor
3 Tahun
2009
tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor
14 Tahun
1985
tentang Mahkamah Agung juncto Undang-Undang Nomor
5 Tahun
2004
tentang Perubahan Atas Atas Undang-Undang Nomor
14 Tahun
1985
tentang Mahkamah Agung; Undang-Undang Nomor
48 Tahun
2009
tentang Kekuasaan Kehakiman.
III.B.6. Bahwa sekalipun UU 4/2014 menyinggung
lembaga-lembaga negara lain dimaksud, tetapi UU 4/2014 tidak sedikit pun membahas
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22
Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial; Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang
Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung juncto Undang-Undang Nomor 5 Tahun
2004 tentang Perubahan Atas Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang
Mahkamah Agung; Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
III.B.7. Bahwa UU 4/2014 telah
memperbesar kewenangan Komisi Yudisial dengan turut menyeleksi calon-calon
hakim Mahkamah Konstitusi dengan serta merta mengurangi kewenangan Mahkamah
Agung, Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden terkait pengajuan calon hakim
konstitusi dari lembaga-lembaga negara tanpa mengubah Undang-Undang yang mengatur Komisi
Yudisial. Bahwa
Undang-Undang a quo juga telah memperbesar kewenangan Komisi Yudisial dengan turut,
melakukan pengawasan terhadap hakim-hakim Mahkamah Konstitusi tanpa sedikitpun
melakukan perubahan terhadap Undang-Undang yang mengatur Komisi Yudisial, yaitu
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22
Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial.
III.B.8. Dengan adanya Undang-Undang a quo, maka para Pemohon mengalami ketidakpastian hukum
sebagai seorang warga negara dan terlanggar hak-haknya untuk mendapatkan
kepastian hukum sebagaimana dijamin dalam UUD 1945. Undang-Undang a quo melanggar UUD 1945, yaitu: 1)
Pasal 1 ayat (3), "Negara Indonesia adalah negara hukum";
Bahwa salah satu muatan cita
"negara hukum" adalah pemerintahan
dijalankan berdasarkan atas
hukum. 2) Pasal 28D ayat (1), "Setiap orang berhak atas pengakuan,
jaminan,
perlindungan, dan kepastian
hukum yang adil serta perlakuan yang
sama di hadapan hukum." Bahwa untuk memperkuat
dalil-dalil yang para Pemohon kemukakan di atas, dalam pemeriksaan perkara ini,
para Pemohon selain mengajukan bukti-bukti, juga akan menghadirkan ahli-ahli
untuk memperkuat dalil-dalil permohonan a quo.
IV. PETITUM
Berdasarkan seluruh dalil-dalil yang diuraikan di atas dan bukti-bukti
terlampir, serta keterangan para ahli yang akan didengar dalam pemeriksaan
perkara, dengan ini para Pemohon mohon kepada Majelis Hakim Konstitusi agar
berkenan memberikan putusan sebagai berikut:
1.
Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk seluruhnya;
2.
Menyatakan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2014 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2013
tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi Menjadi Undang-Undang bertentangan dengan UUD 1945;
3.
Menyatakan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2014 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2013
tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi Menjadi Undang-Undang tidak memiliki kekuatan hukum mengikat;
4.
Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara
Republik Indonesia sebagaimana mestinya.
Atau, apabila Majelis Hakim Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan
yang seadil-adilnya (ex aequo et bono)
[2.2] Menimbang bahwa para Pemohon II telah mengajukan
permohonan
yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah dan telah
dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi dengan Nomor 2/PUU-XII/2014
pada tanggal 8 Januari 2014, yang telah diperbaiki dengan permohonan yang
diterima Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 28 Januari 2014, serta diperbaiki
kembali dengan perbaikan
permohonan kedua yang diterima Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal
3 Februari
2014, yang pada pokoknya sebagai berikut:
A.
Kewenangan Mahkamah Konstitusi
1.
Bahwa berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 juncto Pasal 10 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, Mahkamah
Konstitusi berwenang memeriksa dan mengadili dalam tingkat pertama dan terakhir
perkara pengujian Undang-Undang terhadap UUD
1945;
2.
Bahwa oleh karena objek permohonan pengujian ini
adalah materi muatan dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang
Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013
Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5456, selanjutnya
disebut UU 4/2014) maka Mahkamah Konstitusi berwenang untuk memeriksa dan
mengadili permohonan pengujian ini;
B.
Kedudukan Hukum {Legal Standing) Para Pemohon
a)
Bahwa para Pemohon adalah dosen yang mengabdikan diri
untuk menjadi pendidik di Fakultas Hukum Universitas Jember, selama ini
melakukan proses pembelajaran berdasarkan jenjang pendidikan sarjana, magister,
dan doktor sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi (selanjutnya disebut UU 12/2012), menyatakan
Pendidikan Tinggi adalah jenjang pendidikan setelah pendidikan menengah yang
mencakup program diploma, program sarjana, program magister, program doktor,
dan program profesi, serta program spesialis, yang diselenggarakan oleh
perguruan tinggi berdasarkan kebudayaan bangsa Indonesia;
b)
Bahwa dalam sistem pendidikan nasional secara hukum
ditegaskan bahwa penjenjangan pendidikan tersebut dilakukan untuk menunjukkan
kualifikasi dan kemampuan peserta didik, dosen dan kelembagaan lembaga
pendidikan dimaksud. Kualifikasi dan kompetensi dari penjenjangan tersebut
setidaknya dalam proses pembelajaran sampai kewenangan evaluasi. Sebagaimana
ditegaskan dalam Pasal 18 ayat (3)
UU 12/2012 yang menyatakan, "Program sarjana wajib
memiliki dosen yang berkualifikasi akademik minimum lulusan program magister
atau sederajat."; juga sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 19 ayat (3) UU
12/2012 yang menyatakan, "Program magister wajib memiliki dosen yang
berkualifikasi akademik lulusan program doktor atau yang sederajat."; juga sebagaimana ditegaskan
dalam Pasal 20 ayat (3) UU 12/2012 yang menyatakan, "Program doktor wajib
memiliki Dosen yang berkualifikasi akademik lulusan program doktor atau yang
sederajat." Berdasarkan ketentuan hukum dimaksud jelas penjenjangan pendidikan
adalah menunjukkan "pengakuan" tentang kualifikasi pendidikan yang
harus dilindungi dan dihormati kepastian hukumnya;
c) Bahwa konstitusi secara tegas menjamin
atas kepastian hukum dan
selanjutnya menjadi hak konstitusional setiap warga negara termasuk
para Pemohon sebagaimana ditegaskan dalam:
selanjutnya menjadi hak konstitusional setiap warga negara termasuk
para Pemohon sebagaimana ditegaskan dalam:
a.
Pasal 28C ayat (1) UUD 1945, para Pemohon memiliki hak
konstitusional untuk mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya,
berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan
teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi
kesejahteraan umat manusia;
b.
Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, para Pemohon memiliki hak
konstitusional untuk mendapatkan pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian
hukum yang adil serta hak konstitusional untuk mendapatkan perlakuan yang sama
di depan hukum;
d) Bahwa para Pemohon merasa dirugikan secara
konstitusional atau pasti
mengalami potensi kerugian karena hak-hak konstitusional para
Pemohon sebagai pendidik atas adanya ketentuan/norma dalam UU
4/2014, yaitu dalam Pasal 18A ayat (1) menyatakan, "Hakim konstitusi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) sebelum ditetapkan
Presiden, terlebih dahulu harus melalui uji kelayakan dan kepatutan yang
dilaksanakan oleh Panel Ahli.";
mengalami potensi kerugian karena hak-hak konstitusional para
Pemohon sebagai pendidik atas adanya ketentuan/norma dalam UU
4/2014, yaitu dalam Pasal 18A ayat (1) menyatakan, "Hakim konstitusi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) sebelum ditetapkan
Presiden, terlebih dahulu harus melalui uji kelayakan dan kepatutan yang
dilaksanakan oleh Panel Ahli.";
Syarat untuk menjadi "Panel Ahli" dalam
Pasal 18C ayat (3) dinyatakan sebagai berikut:
Panel Ahli harus memenuhi
syarat sebagai berikut:
a.
memiliki reputasi dan rekam jejak yang tidak tercela;
b.
memiliki kredibilitas dan integritas;
c.
menguasai ilmu hukum dan memahami Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
d.
berpendidikan paling rendah magister;
sementara syarat calon hakim Mahkamah Konstitusi
sebagaimana diatur dalam Pasal 15 dinyatakan sebagai berikut:
Untuk dapat diangkat menjadi hakim konstitusi, selain
harus memenuhi syarat sebagaimana dimaksud pada ayat
(1),
seorang calon hakim konstitusi harus memenuhi syarat:
a.
warga negara Indonesia;
b.
berijazah doktor dengan dasar sarjana yang
berlatar belakang pendidikan tinggi hukum;
e) Bahwa berdasarkan ketentuan dalam UU 4/2014 ini, secara hukum
berarti memberikan kewenangan kepada "Panel Ahli" yang berpendidikan
magister untuk menguji calon Hakim Mahkamah Konstitusi yang bergelar doktor.
Ketentuan ini jelas menginjak-nginjak dan tidak menghargai secara hukum sistem
penjenjangan pendidikan nasional. Atas dasar tersebut para Pemohon merasa tidak
dihormati hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukumnya
sebagaimana diatur dalam Pasal 28D UUD 1945. Karenanya para Pemohon merasa
dirugikan hak-hak konstitusionalnya sebagai warga negara yang menegakkan sistem
pendidikan nasional; C. Alasan Permohonan
1. Kewenangan Komisi Yudisial
a) Bahwa kewenangan Komisi Yudisial sebagaimana dimandatkan dalam
konstitusi Pasal 24B UUD 1945 ditegaskan:
(1)
Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang
mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka
menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.
(2)
Anggota Komisi Yudisial harus mempunyai pengetahuan
dan pengalaman di bidang hukum serta memiliki integritas dan kepribadian yang
tidak tercela.
(3) Anggota Komisi Yudisial diangkat dan diberhentikan oleh Presiden
dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
(4) Susunan, kedudukan, dan
keanggotaan Komisi Yudisial diatur dengan undang-undang.
b) Bahwa dalam Pasal 18A ayat
(1) UU
4/2014
dinyatakan bahwa uji kelayakan calon Hakim Mahkamah Konstitusi dilakukan oleh
Panel Ahli, sementara Panel Ahli dibentuk oleh Komisi Yudisial. Ini menunjukkan
bahwa Komisi Yudisial diberi kewenangan oleh UU 4/2014 ini di luar/tidak diatur
oleh UUD 1945, sehingga secara tegas dapat dikatakan Undang-Undang ini telah
merubah secara nyata Konstitusi UUD 1945 yaitu memberikan kewenangan baru
kepada Komisi Yudisial yang tidak diatur dalam konstitusi. 2. Komposisi Anggota Panel Ahli.
a. Bahwa dalam Pasal 18C UU 4/2014 dinyatakan
bahwa:
Pasal 18C
Panel Ahli sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 18A ayat (1)
berjumlah 7 (tujuh) orang
Panel Ahli terdiri atas:
a.
1 (satu) orang diusulkan oleh Mahkamah Agung;
b.
1(satu) orang diusulkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat
Republik Indonesia;
c.
1 (satu) orang diusulkan oleh Presiden; dan
d.
4 (empat) orang dipilih oleh Komisi Yudisial
berdasarkan usulan masyarakat yang terdiri atas mantan hakim konstitusi, tokoh
masyarakat, akademisi di bidang hukum, dan praktisi hukum.
bagaimanapun dalam sistem hukum ketatanegaraan yang
demokratis komposisi adalah menunjukkan kekuatan dan kewenangan. Sehingga
secara hukum dapat dipandang bahwa komposisi 4 orang dari Komisi Yudisial,
dibandingkan 1 dari Mahkamah Agung, 1 dari Dewan Perwakilan Rakyat dan 1 dari
Presiden, Hal ini secara tegas dan eksplisit hendak menyatakan bahwa kewenangan
dalam uji kelayakan calon hakim Mahkamah Konstitusi adalah ditangan Komisi
Yudisial atau setidaknya dapat dinilai lebih besar kewenangannya pada Komisi
Yudisial dibanding wewenang Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat dan
Mahkamah Agung dalam meiakukan uji kelayakan calon Hakim Mahkamah Konstitusi.
Norma ini kembali hendak menyatakan bahwa Komisi Yudisial diberi kewenangan
oleh Undang-Undang ini yang tidak diatur oleh UUD 1945 yaitu dalam meiakukan
uji kelayakan calon Hakim Mahkamah Konstitusi. Sehingga secara tegas dapat
dikatakan Undang-Undang ini telah merubah secara nyata UUD 1945 yaitu dengan
memberikan kewenangan baru kepada kelembagaan negara yang tidak diatur dalam
konstitusi. 3. Kedudukan Komisi
Yudisial sebagai the auxiliary state body
a) Bahwa UUD 1945 pasca amandemen sebagaimana risalah perubahan
UUD 1945 sebagai proses reformasi dan jurisprudensi Mahkamah
Konstitusi dalam Perkara Pengujian Undang-Undang Komisi Yudisial
(Nomor 005/PUU-IV/2006), membagi kategori lembaga negara dalam
dua kategori yaitu:
UUD 1945 sebagai proses reformasi dan jurisprudensi Mahkamah
Konstitusi dalam Perkara Pengujian Undang-Undang Komisi Yudisial
(Nomor 005/PUU-IV/2006), membagi kategori lembaga negara dalam
dua kategori yaitu:
a.
Lembaga negara pemangku tugas utama ketatanegaraan;
b.
Lembaga negara supporting body;
Bahwa lembaga negara pemangku tugas utama
ketatanegaraan adalah Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Daerah, Majelis Permusyawaratan Rakyat, BPK, Mahkamah Agung, dan Mahkamah
Konstitusi.
Bahwa Komisi Yudisial adalah lembaga negara yang
bersifat pelengkap atau penunjang (the auxiliary state body atau the supporting state body) dari pemegang kekuasaan
kehakiman dalam hal ini Mahkamah Agung. Mengenai hal ini dapat diperiksa
Yurisprudensi Mahkamah Konstitusi dalam Perkara Pengujian Undang-Undang Komisi
Yudisial (Nomor 005/PUU-IV/2006), sehingga posisi kelembagaan Komisi Yudisial
bukan merupakan lembaga negara yang setara atau sederajat dengan lembaga negara
utama (main
state body), yaitu:
Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Majelis Permusyawaratan
Rakyat, BPK, Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi.
b) Bahwa kedudukan Komisi Yudisial dalam struktur ketatanegaraan
sebagai supporting sistem untuk mengusulkan, mengawasi, menjaga
sebagai supporting sistem untuk mengusulkan, mengawasi, menjaga
harkat dan keluhuran martabat
hakim Mahkamah Agung, maka menjadi tidak logisAidak memiliki dasar hukum yang sah apabila Komisi Yudisial
oleh UU 4/2014 diposisikan sebagai poros kekuasaan baru di luar poros kekuasaan
eksekutif (Presiden), poros kekuasaan legislatif (Dewan Perwakilan Rakyat), dan
poros kekuasaan yudikatif (MA) yang ikut menentukan proses seleksi hakim
konstitusi dengan kewenangannya membentuk Panel Ahli, dan diposisikan dalam
komposisi yang paling berwenang.
c) Bahwa berdasarkan alasan tersebut di atas, maka Panel Ahli yang
dibentuk oleh Komisi Yudisial itu jelas merupakan lembaga yang bertentangan
dengan Pasal 24C ayat (3) UUD 1945 yang mengatur bahwa, "Mahkamah Konstitusi
mempunyai sembilan orang anggota hakim konstitusi yang ditetapkan oleh
Presiden, yang diajukan masing-masing tiga orang oleh Mahkamah Agung, tiga
orang oleh Dewan Perwakilan Rakyat, dan tiga orang oleh Presiden". Bahwa Pembentukan Panel Ahli
yang inkonstitusional itu dapat menjadi preseden buruk dalam praktik
penyelenggaraan negara yang apabila dibiarkan terus berjalan berpotensi
mendekonstruksi prinsip supremasi konstitusi atau Undang-Undang Dasar sebagai
hukum dasar yang tertinggi dalam penyelenggaraan negara, sehingga para Pemohon
beranggapan, bahwa pembentukan Panel Ahli a quo merupakan bentuk penyimpangan
kekuasaan terhadap konstitusi atau UUD yang dilakukan secara sistemik dan
terstruktur melalui proses legislasi. Sehingga secara tegas dapat dikatakan
Undang-Undang ini telah merubah dan menyimpangi secara nyata Konstitusi UUD
1945 yaitu memberikan kewenangan baru kepada kelembagaan negara yang tidak
diatur dalam konstitusi. 4.
Kualifikasi Panel Ahli tidak
Iogis menguji kelayakan calon Hakim
Mahkamah Konstitusi.
a) Bahwa untuk diangkat sebagai sebagai Panel Ahli yang akan dibentuk
oleh Komisi Yudisial harus memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam Pasal
18C ayat (3) UU 4/2014 yaitu: Panel Ahli harus memenuhi syarat sebagai berikut: a.
memiliki reputasi dan rekam jejak yang tidak tercela;
b. memiliki kredibilitas dan
integritas;
c. menguasai ilmu
hukum dan memahami Undang-Undang
Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
d. berpendidikan paling rendah
magister;
e. berusia paling rendah 50 (iima
puluh) tahun; dan
f. tidak menjadi anggota partai
politik daiam jangka waktu paling
singkat 5 (lima) tahun sebelum
Panel Ahli dibentuk. b) Bahwa sementara itu calon hakim Mahkamah Konstitusi
yang akan menjadi subyek yang akan diseleksi/diuji kelayakannya oleh Panel Ahli
tersebut, sebagaimana dimaksud Pasal 15 UU 4/2014, yaitu:
Pasal 15
(1)
Hakim konstitusi harus memenuhi syarat sebagai
berikut:
a.
memiliki integritas dan kepribadian yang tidak
tercela;
b.
adil; dan
c.
negarawan yang menguasai konstitusi dan
ketatanegaraan.
(2) Untuk dapat diangkat menjadi
hakim konstitusi, selain harus memenuhi syarat sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), seorang calon hakim konstitusi harus memenuhi syarat:
a.
warga negara Indonesia;
b.
berijazah doktor dengan dasar sarjana yang berlatar
belakang pendidikan tinggi hukum;
c.
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berakhlak
mulia;
d.
berusia paling rendah 47 (empat puluh tujuh) tahun dan
paling tinggi 65 (enam puluh lima) tahun pada saat pengangkatan;
e.
mampu secara jasmani dan rohani dalam menjalankan
tugas dan kewajiban;
f.
tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan
putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap;
g.
tidak
sedang dinyatakan pailit
berdasarkan putusan pengadilan;
h.
mempunyai pengalaman kerja di bidang hukum paling
sedikit 15 (lima belas) tahun; dan
i. tidak menjadi anggota partai politik dalam jangka
waktu paling singkat 7 (tujuh) tahun sebelum diajukan sebagai calon hakim
konstitusi.
c) Bahwa berdasarkan
perbandingan persyaratan untuk menjadi anggota Panel Ahli yang nantinya akan
melakukan uji kelayakan terhadap calon hakim Mahkamah Konstitusi sebagaimana
diatur dalam UU 4/2014 itu, terlihat secara tegas bahwa ternyata syarat untuk
menjadi panel ahli yang akan melakukan uji kelayakan jauh di bawah kualifikasi
subyek hukum yang akan dilakukan uji kelayakannya, hal ini dapat Pemohon
Syarat Hakim Mahkamah Konstitusi
a.
memiliki integritas dan kepribadian
yang tidak tercela;
b. adil; dan
c.
negarawan yang menguasai konstitusi dan
ketatanegaraan.
d. warga negara Indonesia;
e.
berijazah doktor dengan dasar sarjana yang berlatar
belakang pendidikan tinggi hukum;
f.
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berakhlak
mulia;
g.
berusia paling rendah 47 (empat puluh tujuh) tahun dan
paling tinggi 65 (enam puluh lima) tahun pada saat pengangkatan;
h. mampu secara jasmani dan rohani
dalam menjalankan tugas dan
kewajiban;
dalam menjalankan tugas dan
kewajiban;
i. tidak pernah dijatuhi pidana penjara
berdasarkan putusan pengadilan
yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap;
berdasarkan putusan pengadilan
yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap;
j. tidak
sedang dinyatakan pailit
berdasarkan putusan pengadilan;
k. mempunyai pengalaman kerja di
bidang hukum paling sedikit 15 (lima
belas) tahun; dan
l. tidak menjadi anggota partai politik
dalam jangka waktu paling singkat 7
(tujuh) tahun sebelum diajukan
sebagai calon hakim konstitusi.______________
k. mempunyai pengalaman kerja di
bidang hukum paling sedikit 15 (lima
belas) tahun; dan
l. tidak menjadi anggota partai politik
dalam jangka waktu paling singkat 7
(tujuh) tahun sebelum diajukan
sebagai calon hakim konstitusi.______________
d) Bahwa berdasarkan perbandingan
syarat antara Panel Ahli yang akan
melakukan uji
kelayakan dengan hakim
Mahkamah Konstitusi,
menunjukkan bahwa syarat calon
Panel Ahli sangatlah jauh di bawah
kualifikasi calon Hakim Mahkamah Konstitusi,
setidaknya ada beberapa syarat yaitu:
a. Calon Hakim Mahkamah
Konstitusi harus negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan,
sementara Panel Ahli tidak;
b. Calon Hakim Mahkamah
Konstitusi berijazah doktor sementara panel ahli hanya berpendidikan magister;
c. Calon Hakim Mahkamah
Konstitusi tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan
yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, sementara Panel Ahli tidak;
d. Calon hakim Mahkamah
Konstitusi tidak sedang dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan,
sementara Panel Ahli tidak;
e. Calon hakim Mahkamah
Konstitusi mempunyai pengalaman kerja di bidang hukum paling sedikit 15 (lima
belas) tahun, sementara Panel Ahli tidak;
f. Calon hakim Mahkamah Konstitusi
tidak menjadi anggota partai politik dalam jangka waktu paling singkat 7
(tujuh) tahun sebelum diajukan, sementara Panel Ahli hanya 5 tahun sebelumnya;
g. Bahwa berdasarkan hal
tersebut, ketentuan persyaratan calon Panel Ahli yang di bawah syarat calon
hakim Mahkamah Konstitusi sangatlah tidak Iogis akan dapat memenuhi harapan
akan menghasilkan hakim Mahkamah Konstitusi yang akan berkualitas. Oleh karena
itu bagaimana mungkin ada ketentuan yang mengatur "penguji kelayakan"
di bawah kualifikasi "yang akan diuji kelayakannya".
e) Bahwa merupakan hukum,
dalam sistem pendidikan nasional, pendidikan dilakukan secara berjenjang dan
karenanya setiap jenjang memiliki kualifikasi dan kompetensi tertentu.
Kualifikasi dan kompetensi dari penjenjangan tersebut setidaknya tertuang dalam
proses pembelajaran sampai dengan evaluasi. Hal ini ditegaskan sebagaimana
dalam Pasal 18 ayat (3) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan
Tinggi yang menyatakan, "Program sarjana wajib memiliki dosen yang
berkualifikasi akademik minimum lulusan program magister atau sederajat."
Selanjutnya ditegaskan pula dalam Pasal 19 ayat (3)
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi yang menyatakan, "Program magister wajib
memiliki dosen yang berkualifikasi akademik lulusan program doktor atau yang
sederajat."
Juga sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 20 ayat (3)
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi yang menyatakan, "Program doktor wajib
memiliki dosen yang berkualifikasi akademik lulusan program doktor atau yang
sederajat."
f)
Bahwa konstitusi secara tegas menjamin kepastian hukum
dan selanjutnya menjadi hak konstitusional setiap warga negara termasuk para
Pemohon sebagaimana ditegaskan dalam:
Pasal 28C ayat (1) UUD 1945, para Pemohon memiliki hak
konstitusional untuk mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya,
berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan
teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi
kesejahteraan umat manusia;
Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, para Pemohon memiliki hak
konstitusional untuk mendapatkan pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian
hukum yang adil serta hak konstitusional untuk mendapatkan perlakuan yang sama
di depan hukum;
g)
Bahwa oleh karena itu adanya norma dalam UU 4/2014
yaitu dalam Pasal 18A ayat (1) yang menyatakan, "Hakim konstitusi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) sebelum ditetapkan Presiden,
terlebih dahulu harus melalui uji kelayakan dan kepatutan yang dilaksanakan
oleh Panel Ahli.";
Sementara Panel Ahli yang akan melakukan uji kelayakan
dan kepatutan dimungkinkan berpendidikan magister, padahal yang akan diuji
berpendidikan Doktor, ketentuan ini jelas secara nyata tidak "mengakui,
menjamin, melindungi dan memberikan kepastian hukum" bahkan mengacaukan
dan merusak sistem hukum pendidikan nasional yang seharusnya mengakui,
melindungi memberikan kepastian hukum, berdasarkan Pasal 28C ayat (1) dan Pasal
28D ayat (1) UUD 1945;
Oleh karena itu berdasarkan alasan tersebut norma
Pasal 18A UU 4/2014 bertentangan dan melanggar
hak konstitusional warga negara Indonesia sebagaimana diatur dalam Pasal 28C
ayat (1) dan Pasal 28D ayat(1) UUD 1945. 5.
Pembentukan Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi (MKHK).
a.
Bahwa dalam Pasal 27A ayat (4) UU 4/2014, menyatakan:
Pasal 27A
(1) Mahkamah Konstitusi
bersama-sama dengan Komisi Yudisial menyusun dan menetapkan Kode Etik dan
Pedoman Perilaku Hakim Konstitusi yang berisi norma yang harus dipatuhi oleh
setiap hakim konstitusi dalam menjalankan tugasnya untuk menjaga kehormatan dan
perilaku hakim konstitusi.
Bahwa ketentuan tersebut jelas
memberikan kewenangan lain selain
dari kewenangan yang
dimandatkan oleh konstitusi UUD 1945 Pasal
24B yang menyatakan:
(1) Komisi Yudisial bersifat
mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai
wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran
martabat, serta perilaku hakim.
(2) Anggota Komisi Yudisial harus
mempunyai pengetahuan dan pengalaman di bidang hukum serta memiliki integritas
dan kepribadian yang tidak tercela.
(3) Anggota Komisi Yudisial
diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan
Rakyat.
(4) Susunan, kedudukan, dan
keanggotaan Komisi Yudisial diatur dengan undang-undang.
b. Berdasarkan Pasal 24B UUD 1945
tersebut di atas jelas, kewenangan Komisi Yudisial adalah untuk: mengusulkan
pengangkatan hakim agung, dan wewenang lain dalam menjaga dan menegakkan
kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim; Berdasarkan putusan Mahkamah
Konstitusi dalam Perkara Pengujian Undang-Undang Komisi Yudisial (Nomor
005/PUU-IV/2006), hakim dimaksud dalam pasal 24B UUD 1945 adalah Hakim Agung
pada Mahkamah Agung dan tidak termasuk Hakim Mahkamah Konstitusi.
Oleh karena itu jelas, norma
Pasal 27A ayat (4) UU
4/2014 bertentangan
dengan Pasal 24B UUD 1945. D. Permohonan
Maka berdasarkan uraian tersebut di atas, para Pemohon
memohon kepada Mahkamah Konstitusi, kiranya berkenan untuk memeriksa dan
selanjutnya memutuskan:
(1)
Mengabulkan permohonan para Pemohon seluruhnya;
(2) Menyatakan Pasal 18A ayat (1),
Pasal 18B, Pasal 18C ayat (3), dan Pasal 27A ayat (1) dan ayat (4) dalam
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi Menjadi Undang-Undang (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5456) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945;
(3) Menyatakan Pasal 18A ayat (1),
Pasal 18B, Pasal 18C ayat (3) dan Pasal 27A ayat (1) dan ayat (4) dalam
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi Menjadi
Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 167,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5456) tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat;
(4) Memerintahkan agar putusan
perkara a
quo oleh
Mahkamah Konstitusi dicantumkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Atau apabila majelis Hakim Mahkamah Konstitusi
berpendapat lain, mohon putusan seadil-adilnya.
[2.3] Menimbang bahwa untuk membuktikan dalil-dalilnya, para
Pemohon I
mengajukan alat bukti surat atau tertulis, yang diberi
tanda bukti P-1 sampai dengan bukti P-8.7.a, sebagai berikut:
1. Bukti P-1 :
Fotokopi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 tentang
Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-
2.
|
3.
|
Bukti P-2
4.
|
Bukti P-3
5.
|
Bukti P-4
6.
|
Bukti P-5
Bukti P-6
7.
Bukti P-7
8.
Bukti P-8
9.
Bukti P-8.a
10. Bukti P-8.1
11. Bukti P-8.2
12. Bukti P-8.2.a
13. Bukti P-8.3
14. Bukti P-8.3.a
15. Bukti P-8.4
16. Bukti P-8.4.a
Undang Nomor 1 Tahun
2013
tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor
24 Tahun
2003
tentang Mahkamah Konstitusi Menjadi Undang-Undang; Fotokopi Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Fotokopi Undang-Undang Nomor 24 Tahun
2003
tentang Mahkamah Konstitusi;
Fotokopi Undang-Undang Nomor 8 Tahun
2011
tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor
24 Tahun
2003 tentang
Mahkamah Konstitusi;
Fotokopi Undang-Undang Nomor 48 Tahun
2009
tentang Kekuasaan Kehakiman;
Fotokopi Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 1 Tahun
2013
tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor
24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi;
Fotokopi Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan; Fotokopi Kartu Tanda Penduduk
atas nama A. Muhammad Asrun;
Fotokopi Kartu Tanda Pengenal Advokat atas nama A.
Muhammad Asrun;
Fotokopi Nomor Pokok Wajib Pajak atas nama Heru Widodo;
Fotokopi Kartu Tanda Penduduk atas nama Samsul Huda; Fotokopi Nomor
Pokok Wajib Pajak atas nama Samsul Huda;
Fotokopi Kartu Tanda Penduduk atas nama Dorel Almir; Fotokopi Kartu
Tanda Pengenal Advokat atas nama Dorel Almir;
Fotokopi Kartu Tanda Penduduk atas nama Daniel Tonapa Masiku;
Fotokopi Nomor Pokok Wajib Pajak atas nama Daniel Tonapa Masiku;
17. Bukti P-8.5 : Fotokopi Kartu
Tanda Penduduk atas nama Samsudin;
18. Bukti P-8.5.a : Fotokopi Nomor
Pokok Wajib Pajak atas nama Samsudin;
19. Bukti P-8.6 : Fotokopi Kartu
Tanda Penduduk atas nama Dhimas
Pradana;
20. Bukti P-8.6.a : Fotokopi Kartu
Tanda Pengenal Advokat atas nama
Dhimas Pradana
21. Bukti P-8.7 : Fotokopi Kartu
Tanda Penduduk atas nama Aan Sukirman;
22. Bukti P-8.7.a : Fotokopi Kartu
Tanda Pengenal Advokat atas nama Aan
Sukirman;
Selain itu, para Pemohon I juga mengajukan seorang
Ahli, yang telah memberikan keterangan pada persidangan tanggal
4 Februari
2014 yang
pada pokoknya menerangkan sebagai berikut: AHLI PARA PEMOHON I Prof.
H.A.S Natabaya, S.H., LL.M
1.
Menurut UUD 1945 Perpu harus dikeluarkan dalam keadaa
yang genting dan memaksa, sebagaimana Penjelasan Pasal 22 UUD 1945 bahwa Pasal
ini mengenai nood
verordeningsrecht president, aturan sebagian ini memang perlu diadakan agar supaya
keselamatan negara dijamin oleh Pemerintah dalam keadaan yang genting yang
memaksa pemerintah untuk bertindak cepat, bertindak lekas dan tepat.
2.
Tidak terlihat dalam konsideran UU 4/2014 bahwa ada
keadaan yang genting dan memaksa sehingga Presiden berhak mengeluarkan Perpu;
3.
Dalam konsideran "menimbang" dicantumkan
pasal, hal ini bukan merupakan hal yang lazim;
4.
Mengenai kedudukan Komisi Yudisial yang diberi
kewenangnan untuk membentuk Panel Ahli, merupakan ketentuan yang mengambil alih
kewenangan yang diatur dalam Pasal 24C UUD 1945 yang menetapkan bahwa sembilan
Hakim Konstitusi diajukan masing-masing tiga orang, oleh Presiden, Mahkamah
Agung, dan Dewan Perwakilan Rakyat. Pasal 24A ayat (3) UUD 1945 menetapkan
bahwa Calon Hakim Agung ditetapkan oleh Komisi Yudisial, sehingga kewenangan KY
hanya mengusulkan calon Hakim Agung, tidak termasuk Hakim Konstitusi;
5. Mekanisme masing-masing
lembaga negara untuk memilih Hakim Konstitusi yang akan diajukan dapat diatur
oleh masing-masing lembaga negara tersebut;
6.
Pasal 24B UUD 1945 juga menyatakan bahwa KY berwenang
menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran, martabat dan perilaku Hakim
Agung, dan ketentuan ini ditegaskan oleh Mahkamah Konstitusi dalam putusannya,
bahwa kedudukan KY tidak ada kaitannya sama sekali dengan Mahkamah Konstitusi;
7.
Dalam Pasal 87B ayat (2) Perpu 1/2013 disebutkan bahwa
Peraturan Pelaksana dari Perpu harus ditetapkan paling lama tiga bulan,
terhitung sejak Perpu diundangkan, menjadi pertanyaan peraturan seperti apa
yang akan ditetapkan sebagai peraturan pelaksana. Ketentuan Pasal 87B ayat (3)
Perpu 1/2013 semakin janggal karena menetapkan bahwa jika dalam tiga bulan
peraturan pelaksana tidak terbentuk, maka pembentukan Panel Ahli, dan Majelis
Kehormatan Hakim Konstitusi dilaksanakan oleh KY;
8.
Peristiwa penangkapan mantan Ketua Mahkamah Konstitusi
bukan merupakan peristiwa kegentingan yang memaksa, karena Mahkamah tetap dapat
menjalankan kewenangannya.
[2.4] Menimbang bahwa untuk membuktikan dalil-dalilnya, para
Pemohon II
mengajukan alat bukti surat atau tertulis, yang diberi
tanda bukti P-2.1 sampai dengan bukti P-2.2, sebagai berikut:
1.
Bukti P-2.1
: Fotokopi Undang-Undang Nomor 4
Tahun 2014 tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun
2003 tentang Mahkamah Konstitusi Menjadi Undang-Undang;
2.
Bukti P-2.2
: Fotokopi Undang-Undang Dasar
Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
Selain itu, para Pemohon II
juga mengajukan dua orang ahli, yang telah memberikan keterangan tertulis yang
diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 7 Februari 2014 yang pada
pokoknya menerangkan sebagai berikut:
AHLI PARA PEMOHON II 1. Dr. Jayus S.H., M.Hum.
•
Sesungguhnya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013
tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang No.24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi menjadi Undang-Undang, tidak secara cermat dipahami oleh pemerintah
khususnya Presiden, walaupun secara subyektif Presiden berhak menafsirkan
ketentuan "Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa" sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, namun penafsiran tanpa menggunakan ukuran yang jelas justru dapat
menimbulkan atau memunculkan penafsiran-penafsiran yang berbeda. Menurut hemat
ahli kondisi Mahkamah Konstitusi pada waktu itu tidak dengan secara serta merta
dapat dijadikan alasan bagi Presiden (pemerintah) untuk mengeluarkan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang atau dengan kata lain tidak ada indikasi
bahwa telah terjadi suatu keadaan yang abnormal atau keadaan yang luar biasa
dalam penyelenggaraan Peradilan Konstitusi atau Peradilan Ketatanegaraan. Hal
tersebut terbukti bahwa Mahkamah Konstitusi tetap eksis sampai sekarang dapat
menjalankan tugas dan wewenangnya untuk mengawal Konstitusi agar dijalankan
sebagaimana mestinya, yaitu dengan tetap melaksanakan wewenangnya memeriksa,
mengadili dan memutus semua permohonan yang dimohonkan oleh Pemohon.
•
Rekruitmen terhadap calon hakim Mahkamah Konstitusi
sebagaimana diatur dalam Pasal 24C ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, yang menyatakan "Mahkamah Konstitusi mempunyai
sembilan orang anggota hakim konstitusi yang ditetapkan oleh Presiden, yang
diajukan masing-masing tiga orang oleh Mahkamah Agung, tiga orang oleh Dewan
Perwakilan Rakyat, dan tiga orang oleh Presiden". Ketentuan ini secara
limitatif telah mengatur tentang rekruitmen hakim Mahkamah Konstitusi, dan
ketentuan ini juga tidak secara atribusi memerintahkan pengaturan lebih lanjut
dalam Undang-Undang, namun mekanisme seleksi terhadap setiap calon hakim
Mahkamah Konstitusi menjadi otoritas dan mengikuti aturan main dari
masing-masing lembaga
tersebut. Dengan demikian
keterlibatan Komisi Yudisial dalam rekruitmen Hakim Mahkamah Konstitusi dalam
pembentukan Panel Ahli untuk melakukan uji kelayakan dan kepatutan merupakan
suatu bentuk campur tangan, atau tindakan yang berlawanan dengan Konstitusi
(supremasi konstitusi), dengan kata lain Komisi Yudisial telah melampaui
kewenangannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24B ayat (1) Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang menyatakan "Komisi Yudisial
bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan
mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan,
keluhuran martabat, serta perilaku hakim".
•
Bahwa "mempunyai wewenang lain", sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan Pasal 24B ayat (1) tersebut, hanya sebatas yang
berkaitan dengan kehormatan, keluhuran martabat, dan perilaku hakim (Mahkamah
Agung beserta hakim lembaga peradilan yang berada di bawahnya), tidak ada hubunganya
sama sekali dengan mekanisme rekruitmen Hakim Mahkamah Konstitusi.
•
"Etika" sangat berkaitan erat dengan hak dan
kewajiban moral (ahklak) seseorang yang dianut dan berlaku secara internal bagi
lingkungan organisasi (lembaga) yang bersangkutan dan tidak pernah dimaksudkan
berlaku secara eksternal. Oleh karena itu penyusun dan penetapan "Kode
Etik" yaitu aturan yang berhubungan dengan penggunaan akal budi
perseorangan dengan tujuan untuk menentukan kebenaran atau kesalahan dari
tingkah laku seseorang terhadap orang lain, menjadi domainya organisasi atau
lembaga yang bersangkutan dan tidak ada urusannya dengan organisasi atau
lembaga lainnya (kode etik hakim, jaksa, penasehat hukum, kepolisian, notaris,
dokter, dll).
•
Etika atau yang lazim disebut susila (kesusilaan),
adalah ilmu tentang kesusilaan yang menentukan bagaimana manusia memiliki
kepatutan hidup dalam organisasi kemasyarakatannya, atau bermakna terhadap
kelakuan yang baik yang berwujud kaidah (norma) yaitu peraturan yang secara
sengaja dibuat dan disepakati guna mengatur sikap, perilaku dari setiap anggota
di dalam organisasinya dan sudah barang tentu bagi anggota yang
melanggarnya akan dikenakan
sanksi. Aturan ini
sesungguhnya dimaksudkan pula
sebagai suatu pernyataan agar setiap anggota dalam organisasi yang bersangkutan
mampu memberikan pelayanan yang prima kepada masyarakat umum;
•
Oleh karenanya patut dipertanyakan keterlibatan Komisi
Yudisal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27A ayat (1) Undang-Undang Nomor 4
Tahun 2014 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor
1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-UndangNomor 24 Tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi Menjadi Undang-Undang, yang secara bersama-sama
dengan Mahkamah Konstitusi menyusun dan menetapkan Kode Etik bagi Hakim
Konstitusi.
•
Ahli menegaskan kembali, penysunan dan penetapan Kode
Etik merupakan hak penuh yang menjadi urusan secara internal bagi setiap
organisasi, termasuk Mahkamah Konstitusi, dan karenanya keterlibatan Komisi
Yudisial dalam hal tersebut sesungguhnya merupakan bentuk intervensi terhadap
organisasi atau lembaga lain, yang justru dapat dimaknai bahwa Komisi Yudisial
tidak menggambarkan adanya sinergi dalam membangun hubungan sesama organisasi
atau lembaga penyelenggara pemerintahan negara.
•
Sebagai akhir keterangan ini, Ahli sangat berharap
Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi untuk membatalkan semua substansi
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi menjadi
Undang-Undang, karena bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, terutama sebagaimana diatur dalam Pasal 22 ayat (1),
Pasal 24B ayat (1), dan Pasal
24C ayat (3).
2. Dr. Widodo Ekatjahjana, S.H., M.Hum
Pendapat/pandangan Ahli menyangkut beberapa hal
terkait dengan: (l) kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa, mengadili
dan memutus perkara pengujian Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014; (2) Kedudukan
dan fungsi Komisi Yudisial menurut UUD 1945; dan (3) Pengaturan kewenangan
Komisi Yudisial untuk membentuk Panel Ahli; dan (4) Pengaturan persyaratan
untuk menjadi anggota Panel Ahli.
1. Pendapat tentang kewenangan
Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa, mengadili dan memutus perkara pengujian
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014;
Berkembang dalam diskursus publik bahwa Mahkamah
Konstitusi tidak boleh memutus hal-hal menyangkut dirinya karena di dunia
peradilan dikenal asas hukum nemo iudex in causa sua. Berdasarkan asas hukum ini,
maka Mahkamah Konstitusi dilarang untuk memeriksa, mengadili dan memutus
perkara Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 yang mengatur tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang
Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi menjadi Undang-Undang.
Terhadap masalah ini, Ahli berpandangan bahwa
penerapan asas hukum (rechtsbeginselen) tertentu tidak harus mengikat
hakim dalam memutus suatu perkara, apabila dalam memeriksa perkara tersebut
hakim dihadapkan pada pilihan asas-asas yang akan diterapkan. Hakim bebas
memilih berdasarkan keyakinan hukumnya tentang asas-asas mana yang akan ia terapkan
untuk perkara yang ia tangani. Suatu ketika, dalam perkara tertentu, hakim
mengesampingkan asas-asas keadilan formal (prosedural) untuk mewujudkan asas
manfaat atau kegunaan (doelmatighekj beginsel).Suatu ketika juga untuk melindungi
asas demokrasi (kedaulatan rakyat - voikssouvereniteit), maka ia menerapkan asas atau
prinsip kepastian hukum (rechtszekerheid). Dalam perkara ini, asas nemo iudex in causa sua yang melarang hakim untuk
memutus perkara yang menyangkut dirinya sendiri, bukanlah asas hukum tunggal (single legal principle) yang dapat dipilih oleh hakim.
Ada asas hukum lain yang juga menuntut agar hakim menerapkannya pada perkara
yang sama. Asas hukum itu adalah, bahwa: pengadilan atau hakim tidak boleh
menolak perkara yang diajukan kepadanya, dengan dalih aturan atau hukumnya
tidak lengkap, atau tidak ada, melainkan ia wajlb untuk memeriksa, memutus dan
mengadilinya. Apabila dicermati, kedua asas hukum (norma) itu mengandung
kontradiksi atau pertentangan logikal. Akan tetapi keduanya menuntut hakim
untuk diterapkan dalam perkara yang dihadapinya. Oleh karena itu, hakim
dihadapkan dengan pitihan-pilihan untuk mengikuti (menaati) salah satu
asas hukum untuk diterapkannya. Hakim berdasarkan prinsip ius curia novit (pengadilan atau hakim tahu
hukumnya) serta vrij bewijs (hakim bebas dalam pembuktian) memiliki kewenangan
untuk menimbang-nimbang asas hukum mana yang akan ia pilih, dan mana yang akan
ia kesampingkan. Dengan demikian, hakim memiliki pilihan untuk mengikuti
(menaati) atau tidak mengikuti (tidak menaati) yang mana dari kedua asas hukum
yang saling kontradiksi itu untuk diterapkan pada perkaranya. Walaupun
demikian, ia (hakim) tidak memiliki kekuasaan (power) untuk mengabrogasi
(membatalkan) keabsahan dari asas hukum yang dipilihnya untuk tidak diikuti
(tidak ditaati).
Asas hukum mana yang seharusnya dipilih oleh hakim untuk perkara
pengujian Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 itu? Dalam pandangan Ahli, Hakim
Konstitusi seharusnya memilih asas: pengadilan atau hakim tidak boleh menolak
perkara yang diajukan kepadanya, dengan dalih aturan atau hukumnya tidak
lengkap, atau tidak ada, melainkan ia wajib untuk memeriksa, memutus dan
mengadilinya. Pilihan terhadap asas hukum ini disebabkan karena beberapa
pertimbangan. Pertama, jika MK atau hakim menolak untuk memeriksa, mengadili
dan memutus perkara pengujian Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014, maka akan ada
'hak-hak konstitusional warga negara' (citizen's constitutional rights) yang tidak dilindungi oleh
negara (melalui MK), dan dibiarkan terampas oleh Undang-Undang yang
diberlakukan kepadanya. Padahal dalam konsep negara hukum [sebagaimana
diamanatkan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945], negara memiliki obligatori (kewajiban)
untuk melindungi hak-hak asasi atau hak-hak konstitusional warga negaranya.
Kedua, prinsip perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia atau hak-hak
konstitusional warga negara merupakan kaidah-kaidah konstitusi yang bersifat
fundamental. Semua konstitusi atau Undang-Undang Dasar di dunia, selalu meletakkan
prinsip perlindungan hak-hak asasi manusia atau hak-hak konstitusional warga
negara sebagai salah satu fungsi mendasar konstitusi atau Undang-Undang Dasar
setiap negara. Ketiga, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 tidak dapat diklaim
hanya berisi hal-hal yang bersangkut paut dengan Mahkamah
Konstitusi an sich, tetapi
kalau kita cermati
substansinya juga bersangkut paut dengan kepentingan
rakyat dan hak-hak warga negara yang harus dilindungi oleh negara. Keempat,
bahwa ada kekhawatiran atau dugaan, jika hakim-hakim konstitusi menguji
Undang-Undang Nomor 4 Tahun
2014 akan
bertindak subyektif atau tidak fair, maka dugaan atau prasangka seperti ini kurang
beralasan, karena dalam sistem bernegara yang sudah sangat demokratis seperti dewasa
ini, masyarakat dapat langsung melakukan kontrol dan memberikan penilaian
terhadap Putusan-Putusan Mahkamah Konstitusi yang dianggap subyektif atau tidak
fair. Yang ingin Ahli kemukakan
terkait dengan masalah ini adalah, bahwa akibat yang ditimbulkan jika tidak
menerapkan asas hukum: pengadilan atau hakim tidak boleh menolak perkara yang
diajukan kepadanya, dengan dalih aturan atau hukumnya tidak lengkap, atau tidak
ada, melainkan ia wajib untuk memeriksa, memutus dan mengadilinya dengan akibat
yang ditimbulkan karena tidak menerapkan asas hukum: nemo iudex in causa sua, masih jauh lebih berbahaya
diabaikannya atau dikesampingkannya asas yang pertama ('pengadilan atau hakim
tidak boleh menolak perkara yang diajukan kepadanya, dengan dalih aturan atau hukumnya
tidak lengkap, atau tidak ada, melainkan ia wajib untuk memeriksa, memutus dan
mengadilinya). 2. Pendapat tentang kedudukan dan fungsi Komisi Yudisial menurut UUD
NRI Tahun 1945
Berbagai kepustakaan hukum ketatanegaraan di Indonesia
menyebutkan bahwa kedudukan Komisi Yudisial menurut UUD 1945 adalah sebagai
lembaga negara penunjang (auxiliary state body). Komisi Yudisial adalah lembaga
negara yang memberikan dukungan (supporting) kepada lembaga negara yang memegang kekuasaan
kehakiman (yudikatif). Ia, karena itu, bukan merupakan lembaga negara utama (main stats body yang kedudukannya setara atau
equal dengan Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Mengenal hal ini, Ahli
kira Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006 dengan jelas telah
mempertegas posisi atau kedudukan Komisi Yudisial yang demikian itu. Dan
apabila Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 dicermati, baik dari segi sejarah
pembentukannya maupun dari segi perumusannya secara gramatikal, maka kedudukan
Komisi Yudisial sebagai lembaga negara penunjang
(supporting state body) itu, tidak lain adalah untuk menunjang fungsi
yudikatif yang dijalankan oleh Mahkamah Agung, bukan fungsi yudikatif yang
dijalankan oleh Mahkamah Konstitusi.
Dalam perkara Pengujian Undang-Undang Nomor
4 Tahun
2014, Ahli
melihat, bahwa pengaturan tentang kedudukan dan fungsi Komisi Yudisial terkesan
dipaksakan oleh Presiden dengan menggunakan instrumen hukum Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2013. DPR dan
Presiden juga terkesan memaksakan pengaturan tentang kedudukan dan fungsi
Komisi Yudisial ini dengan cara menetapkan Perppu Nomor 1 Tahun 2013 itu
menjadi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014. Upaya memaksakan kehendak ini menurut
pandangan Ahli bertentangan dengan konstitusi atau Undang-Undang Dasar NRI
Tahun 1945, karena paling tidak 2 (dua) hal. Pertama, tidak dipahami baik oleh
Presiden maupun oleh DPR, bahwa secara histori (pada saat pembahasan Rancangan
Perubahan UUD 1945), dan juga berdasarkan UUD 1945, Komisi Yudisial itu adalah
lembaga penunjang (auxiliary state body). (Mengenai hal ini lihat pula Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006). Kedua, Komisi Yudisial berdasarkan Pasal 24B
ayat (1) memiliki fungsi atau kewenangan yang secara limitatif telah diatur
dalam UUD 1945.
Upaya untuk memaksakan fungsi Komisi Yudisial agar
ikut serta dalam proses seleksi kelayakan dan kepatutan, termasuk juga dalam
institusi Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi dapat dicermati, misalnya pada:
(1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 yang memberikan wewenang untuk membentuk
Panel Ahli, padahal UUD 1945, tidak pernah mengatur dan memerintahkannya; (2)
Komposisi Panel Ahli yang diusulkan oleh Komisi Yudisial 4 (empat) orang,
padahal lembaga-lembaga negara lainnya hanya 1 (satu) orang [lihat, Pasal 18C
ayat (2) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014]; (3) Komisi Yudisial diperintahkan
untuk bersama-sama Mahkamah Konstitusi menyusun dan menetapkan kode etik dan
pedoman perilaku hakim konstitusi [Pasal 27A ayat (1) Undang-Undang Nomor 4
Tahun 2014], termasuk memerintahkan untuk membentuk Majelis Kehormatan Hakim
Konstitusi (MKHK) bersama-sama dengan Mahkamah Konstitusi (Pasal 27A ayat (4)
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014.
Kebijakan negara (berupa Undang-Undang Nomor
4 Tahun
2014) ini
substansi tidak saja bertentangan dengan Undang-Undang Dasar
1945, akan
tetapi juga a histori dan tidak sesuai dengan maksud pembentuk Perubahan
Undang-Undang Dasar 1945 pada saat pembahasan di
sidang-sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat.
3. Pendapat
tentang Pengaturan Kewenangan Komisi Yudisial untuk membentuk Panel Ahli
Mengenai kewenangan Komisi Yudisial menurut UUD 1945,
Ahli ingin kemukakan, bahwa apabila kita cermati secara histori dari sejarah
pembentukkannya, maka kita dapat temukan beberapa pandangan (dalam Naskah
Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, Buku VI Kekuasaan Kehakiman, yang diterbitkan oleh Sekretariat Jenderal
dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2010), bahwa Komisi Yudisial memang
digagas untuk salah satu diantaranya adalah mengawasi perilaku hakim yang
berada di lingkungan Mahkamah Agung dan di lingkungan badan-badan peradilan di
bawah Mahkamah Agung, di samping untuk melakukan rekruitmen terhadap hakim
agung serta mempromosikan hakim-hakim. Jadi, sebenamya gagasan yang berkembang
tentang wewenang Komisi Yudisial untuk mengawasi perilaku hakim dan merekrut
atau mempromosikan hakim-hakim pada saat pembahasan Rancangan Perubahan
Undang-Undang Dasar 1945 itu, hanya ditujukan untuk Hakim Agung dan hakim-hakim
yang berada di bawah Mahkamah Agung. Tidak pada Hakim Konstitusi yang berada di
lingkungan Mahkamah Konstitusi. Dengan demikian, jika kemudian sekarang Pasal
18B Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 mengatur, bahwa Komisi Yudisial diberi
kewenangan untuk membentuk 'Panel Ahli' untuk melakukan uji kelayakan dan
kepatutan calon hakim konstitusi, maka terhadap ketentuan ini saya memberikan
beberapa catatan sebagai berikut:
(a) Bahwa Pasal 18B
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 itu secara materiil telah menyimpang dari
ketentuan Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 yang mengatur wewenang Komisi Yudisial
secara terbatas hanya untuk mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai
wewenang lain dalam rangka
menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim;
(b) Bahwa tidak ada, baik secara
histori dalam pembahasan Rancangan Perubahan UUD 1945 maupun secara
yuridis-formal, ada pandangan-pandangan atau ketentuan-ketentuan di dalam UUD
1945 yang mengatur dan memerintahkan, agar Komisi Yudisial teriibat dalam
proses rekruitmen hakim-hakim konstitusi, dan oleh sebab itu diberi kewenangan
untuk membentuk 'Panel Ahli';
(c) Bahwa dengan demikian, Pasal
18B Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 yang mengatur, bahwa Komisi Yudisial
memiliki kewenangan untuk membentuk 'Panel Ahli' tidak saja a histori atau
bertentangan dengan maksud pembentukan Komisi Yudisial dalam sejarah pembahasan
Rancangan Perubahan UUD 1945, akan tetapi juga telah bertentangan dengan
ketentuan Pasal 24B ayat (1) UUD 1945.
Dalam pandangan Ahli, institusi 'Panel Ahli'
diperlukan di dalam sistem rekrutmen hakim-hakim konstitusi, akan tetapi
institusi tersebut bukan dibentuk oleh Komisi Yudisial, melainkan dibentuk oleh
masing-masing cabang kekuasaan negara (DPR, Presiden dan Mahkamah Agung) dalam
rangka menjalankan perintah Pasal 24C ayat (3) UUD 1945. 4. Pendapat tentang pengaturan
persyaratan untuk menjadi Anggota Panel Ahli
Pasal 18C ayat (3) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014
mengatur, bahwa:
Panel Ahli harus memenuhi
syarat sebagai berikut:
a.
memiliki reputasi dan rekam jejak yang tidak tercela;
b.
memiliki kredibilitas dan integritas;
c.
menguasai ilmu hukum dan memahami Undang-Undang Dasar
1945;
d.
berpendidikan paling rendah magister;
e. berusia paling rendah 50 (lima
puluh) tahun sebelum Panel Ahli dibentuk;
f. tidak menjadi anggota partai
politik dalam jangka waktu paling singkat 5 (lima) tahun sebelum Panel Ahli
dibentuk.
Sebagaimana diatur dalam Pasal 18A ayat (1)
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 disebutkan, bahwa Panel Ahli memiliki
kewenangan untuk
menguji kelayakan dan kepatutan calon hakim konstitusi. Mengingat
kewenangan Panel Ahli yang demikian ini, Ahli berpandangan, Panel Ahli itu
adalah sebuah 'Experts Forum' yang luar biasa, sebab dari hasil kerja Panel Ahli
itu, nantinya akan lahir hakim-hakim konstitusi yang memiliki integritas, dan
kepribadian yang tidak tercela, adil dan negarawan yang menguasai konstitusi
dan ketatanegaraan. Sayangnya pengaturan tentang keanggotaan Panel Ahli ini
diatur dengan persyaratan yang tidak baik dan terkesan ambivalen. Pertama,
sebagai institusi yang diberi kewenangan untuk menguji kelayakan dan kepatutan
terhadap calon-calon hakim konstitusi, mestinya para anggota yang duduk di
dalam institusi tersebut minimal sama kriterianya dengan persyaratan untuk
menjadi calon hakim konstitusi. Ternyata, baik pembentuk Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 dan pembentuk Undang-Undang Nomor 4
Tahun 2014 sama sekali tidak cermat dalam menetapkan ketentuan tentang
persyaratan untuk menjadi anggota Panel Ahli sebagaimana dirumuskan dalam Pasal
18C ayat (3) Undang-Undang Nomor 4 tahun 2014, sehingga ada kontradiksi
pengaturan antara syarat untuk menjadi Hakim Konstitusi dengan syarat untuk
menjadi Panel Ahli, misalnya: untuk menjadi Hakim Konstitusi seseorang harus berijazah
Doktor dengan dasar sarjana yang berlatarbelakang pendidikan tinggi hukum.
Mestinya, syarat kualifikasi pendidikan untuk menjadi anggota Panel Ahli sama
dengan syarat kualifikasi pendidikan untuk menjadi calon Hakim Konstitusi. Akan
tetapi pengaturannya tidak demikian. Menurut Pasal 18C ayat (3) Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 2014 disebutkan salah satu syarat untuk menjadi anggota Panel
Ahli adalah berpendidikan paling rendah magister. Perumusan persyaratan untuk
menjadi anggota Panel Ahli sebagaimana diatur dalam Pasal 18C ayat (3) tidak
logis, karena paling tidak dua hal, yaitu:
1) Tidak masuk akal ada Panel
Ahli yang berlatar belakang pendidikan 'magister' akan menguji calon Hakim
Konstitusi yang berlatar belakang minimal doktor dengan dasar sarjana yang
berlatar belakang pendidikan tinggi hukum;
2) Gelar 'magister' dalam rumusan
syarat untuk menjadi Panel Ahli menurut Pasal 18C ayat (3) Undang-Undang Nomor
4 Tahun 2014
harus diperjelas. Magister apa
itu? Magister Pertanian, Magister Pendidikan, Magister Manajemen, atau Magister
Hukum? Akan sangat mengkuatirkan dari segi profesionalisme, apabila dalam
proses seleksi yang dilakukan, ternyata ada anggota Panel Ahli yang memiliki
latar belakang pendidikan, misalnya Magister Pertanian atau Magister
Pendidikan, menyeleksi kelayakan dan
kepatutan calon Hakim Konstitusi
yang memiliki latar belakang pendidikan 'doktor' dengan dasar sarjana yang
berlatar belakang pendidikan tinggi hukum. Demikian pula mengenai syarat
'negarawan'. Jika Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 [lihat Pasal 15 ayat (1)]
telah menggariskan persyaratan untuk menjadi calon Hakim Konstitusi adalah
'negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan', maka semestinya,
syarat untuk menjadi anggota Panel Ahli minimal sama dengan persyaratan untuk
menjadi calon Hakim Konstitusi, yaitu: Negarawan yang menguasai konstitusi dan
ketatanegaraan. Sebab, bagaimana
mungkin Panel Ahli dapat menentukan dalam uji kelayakan
dan kepatutannya kepada calon Hakim Konstitusi, jika ia sendiri ternyata tidak
termasuk dalam kualifikasi 'negarawan yang menguasai konstitusi dan
ketatanegaraan'? Barangkali ada pertanyaan, tapi menurut UUD 1945, calon hakim
Konstitusi itu selama ini diajukan 3 orang dari Presiden, 3 orang dari Mahkamah
Agung dan 3 orang dari DPR? Bukankah mereka semuanya tidak memiliki kualifikasi
'negarawan' yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan? Terhadap pertanyaan
ini, Ahli ingin kemukakan, bahwa benar mereka (Presiden, DPR, dan MA) tidak
memiliki kualifikasi sebagai seorang negarawan yang menguasai konstitusi dan
ketatanegaraan, akan tetapi perlu diingat, bahwa mereka itu melakukan
rekruitmen masing-masing 3 calon Hakim Konstitusi itu karena Konstitusi atau
UUD 1945 yang memerintahkannya. Oleh karena hukum dasar tertinggi negara yang
memerintahkan, maka sekalipun mereka
bukan 'negarawan' yang menguasai
konstitusi dan ketatanegaraan, tapi karena Konstitusi atau Undang-Undang Dasar
yang memerintahkannya, maka tindakan mereka untuk merekrut calon-calon Hakim
Konstitusi itu menjadi konstitusional (valid). Posisi ini berbeda sekali dengan
baik posisi Panel Ahli, maupun posisi Komisi Yudisial yang diperintahkan oleh
Undang-Undang Nomor 4
Tahun 2014 untuk membentuk Panel Ahli.
Kedua institusi itu (yaitu: Komisi Yudisial dan Panel Ahli) dalam konteks
pengaturan kedudukan dan fungsinya dalam Undang-Undang Nomor
4 Tahun
2014 sama
sekali pernah memperoleh perintah atau pendelegasian kewenangan dari
Undang-Undang Dasar. Dengan demikian, memaksakan pengaturannya untuk membentuk
Panel Ahli termasuk menetapkan syarat-syarat keanggotaannya dapat dianggap
sebagai tindakan atau keputusan Negara yang bertentangan dengan Undang-Undang
Dasar 1945.
[2.5] Menimbang bahwa terhadap permohonan para Pemohon I dan
para Pemohon II, Presiden menyampaikan keterangan secara lisan dalam
persidangan tanggal 4 Februari 2014, serta menyampaikan keterangan tertulis
yang diterima Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 10 Februari 2014 yang pada
pokoknya menerangkan sebagai berikut: I. POKOK PERMOHONAN PARA PEMOHON 1. Bahwa menurut para Pemohon
Register Nomor 1/PUU-XII/2014 pada pokoknya menyatakan bahwa:
a. Para Pemohon beranggapan bahwa
UU tentang Penetapan Perpu MK cacat hukum, yaitu:
1) tidak ada unsur kegentingan
yang memaksa;
2) Dewan Perwakilan Rakyat tidak
sedang reses;
3) terjadi kekeliruan fundamental
pada bagian "menimbang";
4) daya berlaku Perppu tidak
jelas
b. Undang-Undang Nomor 4 Tahun
2014 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi Menjadi Undang-Undang bertentangan dengan UUD 1945,
karena:
1) Substansi yang diatur
bertentangan dengan UUD 1945, pada pokoknya menyangkut 3 hal yaitu penambahan
persyaratan untuk menjadi hakim konstitusi, memperjelas mekanisme proses
seleksi dan pengajuan hakim konstitusi dan perbaikan sistem pengawasan hakim konstitusi,
yang dapat diuraikan sebagai berikut; a. Penambahan syarat sebagai Hakim
Konstitusi pada Pasal 15 ayat (2) adalah bertentangan dengan UUD 1945;
b. Pengaturan mengenai mekanisme
proses seleksi dan pengajuan hakim konstitusi bertentangan UUD
1945 dan
merusak sistem konstitusi;
c. Pengaturan mengenai sistem
pengawasan adalah bertentangan dengan UUD 1945;
2) Perppu a quo telah memperbesar kewenangan
Komisi Yudisial tetapi tidak mengubah Undang-Undang yang mengatur Komisi Yudisial;
2. Bahwa menurut para Pemohon Register
Nomor 2/PUU-XII/2014 pada pokoknya menyatakan bahwa:
a.
Menurut para Pemohon, ketentuan Pasal 18C ayat (3)
merupakan ketentuan yang inkonstitusional, karena;
1. Ketentuan a quo merupakan kebijakan yang
merusak sistem pendidikan tinggi, karena sesuai dengan Pasal 19 ayat (1) dan
ayat (2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi
menunjukkan gelar doktor merupakan gelar yang diperoleh setelah jenjang
magister dan merupakan gelar tertinggi hasil dari pendidikan formal yang hanya
bisa dibimbing oleh profesor sebagai jabatan akademik tertinggi;
2. Menimbulkan potensi munculnya
hakim konstitusi yang bukan negarawan karena syarat untuk mengisi Panel Ahli
tidak mensyaratkan "seorang negarawan";
3. Adanya ketentuan a quo bertentangan dengan Pasal 28D
ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945 karena mengandung unsur diskriminasi tentang
usia minimal untuk mengisi sebagai Panel Ahli yaitu 50 tahun;
b.
Pasal 18A ayat (1) ketentuan a quo dibentuk secara
inkonstitusional karena:
1. UUD 1945 tidak memberikan
kewenangan kepada Komisi Yudisial untuk membentuk panel ahli dengan fungsi
untuk melakukan uji kelayakan dan kepatutan Calon Hakim Konstitusi;
2. Komisi Yudisial adalam lembaga
negara yang bersifat pelengkap bagi kekuasaan kehakiman dan hal ini
bertentangan dengan Pasal 24C ayat (3) UUD 1945;
c. Pasal 27A ayat (4) ketentuan
a quo bertentangan dengan UUD 1945,
karena:
1. Kedudukan Komisi Yudisial
adalah lembaga yang bersifat pelengkap atau penunjang karenanya tidak setara
dengan Mahkamah Konstitusi;
2. Anggota Komisi Yudisial tidak
memiliki kriteria negarawan sehingga menjadi tidak logis apabila orang yang
tidak memiliki kriteria negarawan membentuk atau bahkan menjadi anggota Majelis
Kehormatan Hakim Konstitusi dengan fungsi menegakkan kode etik dan perilaku
Hakim Konstitusi;
3. UUD 1945 tidak mengatur
mengenai kewenangan Komisi Yudisial dalam hal menyusun dan menetapkan kode etik
dan pedoman perilaku Hakim Konstitusi;
4.
Persyaratan usia untuk menjadi anggota MKHK bersifat
diskriminatif.
II. TENTANG KEDUDUKAN HUKUM (LEGAL STANDING) PARA PEMOHON
Ketentuan Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24
Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014, menyatakan bahwa Pemohon adalah pihak yang menganggap
hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya
Undang-Undang, yaitu:
a.
perorangan warga negara Indonesia;
b. kesatuan masyarakat hukum adat
sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip
Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang;
c.
badan hukum publik atau privat; atau
d.
lembaga negara.
Ketentuan di atas dipertegas dalam penjelasannya,
bahwa yang dimaksud dengan "hak konstitusional" adalah hak-hak yang
diatur UUD 1945. Dengan demikian, para Pemohon terlebih dahulu harus
menjelaskan dan membuktikan:
a. kualifikasi dalam permohonan a quo sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014;
tentang
b. hak dan/atau kewenangan
konstitusional dalam kualifikasi dimaksud yang dianggap telah dirugikan oleh
berlakunya Undang-Undang yang diuji;
c. kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional para Pemohon sebagai
akibat berlakunya Undang-Undang
yang dimohonkan pengujian. Mahkamah Konstitusi telah memberikan pengertian dan
batasan kumulatif tentang kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang
timbul karena berlakunya suatu Undang-Undang menurut Pasal
51 ayat
(1)
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah
diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 (vide Putusan Nomor 006/PUU-III/2005
dan putusan-putusan berikutnya), yaitu harus memenuhi 5 (lima) syarat sebagai
berikut:
a. adanya hak konstitusional
Pemohon yang diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945;
b. bahwa hak konstitusional
Pemohon tersebut dianggap oleh Pemohon telah dirugikan oleh suatu Undang-Undang
yang diuji;
c. bahwa kerugian konstitusional
Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya
bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan
terjadi;
d. adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian dan berlakunya
Undang-Undang yang dimohonkan untuk diuji;
e. adanya kemungkinan bahwa
dengan dikabulkannya permohonan maka kerugian konstitusional yang didalilkan
tidak akan atau tidak lagi terjadi.
Terhadap kedudukan hukum (legal standing) para Pemohon Register Nomor
1/PUU-XII/2014, Pemerintah menyampaikan hal-hal sebagai berikut:
a.
menurut Pemerintah bahwa para Pemohon tidak dirugikan
berdasarkan ketentuan a quo, karena para Pemohon tidak dalam posisi terhalangi oleh
ketentuan a
quo apabila
ingin menjadi anggota Panel Ahli atau menjadi anggota Majelis Kehormatan Hakim
Konstitusi (selanjutnya disingkat MKHK) untuk mewujudkan MK yang lebih baik
sehingga tidak tepat mempertentangkan dengan ketentuan Pasal 28D ayat (1) dan
ayat (3) UUD
1945.
b.
Bahwa para Pemohon tidak tepat menjadikan Pasal 24C
ayat (3) UUD 1945 sebagai batu uji, karena Pasal a quo memberikan kewenangan secara
limitatif kepada Presiden, DPR, dan MA dan bukan kepada individu-individu warga
negara.
Terhadap kedudukan hukum (legal standing) para Pemohon Register Nomor
2/PUU-XII/2014, Pemerintah berpendapat bahwa para Pemohon tidak dirugikan berdasarkan
ketentuan a
quo, karena
para Pemohon tidak dalam posisi terhalangi oleh ketentuan a quo apabila ingin menjadi anggota
Panel Ahli atau menjadi anggota Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi
(selanjutnya disingkat MKHK) untuk mewujudkan MK yang lebih baik sehingga tidak
tepat mempertentangkan dengan ketentuan Pasal 28D ayat
(1) dan
ayat (3) UUD
1945.
Namun demikian, Pemerintah menyerahkan sepenuhnya
kepada Yang Mulia Ketua/Majelis Hakim Konstitusi untuk mempertimbangkan dan
menilainya apakah para Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) atau tidak, sebagaimana yang
ditentukan baik oleh Pasal 51 ayat
(1) Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
maupun berdasarkan putusan-putusan Mahkamah Konstitusi terdahulu.
Selanjutnya berikut
disampaikan keterangan Pemerintah terhadap materi yang
dimohonkan untuk diuji sebagai berikut: III. KETERANGAN PEMERINTAH
ATAS MATERI PERMOHONAN YANG
DIMOHONKAN UNTUK DIUJI OLEH PARA PEMOHON Terhadap permohonan Perkara Nomor 1/PUU-XII/2014 Pemerintah memberikan
keterangan sebagai berikut:
1. Mengenai alasan filosofis
UU tentang Penetapan Perpu MK akan memberi pengaruh terhadap penyelenggaraan
kekuasaan kehakiman di lingkungan kekuasaan kehakiman, yang berujung pada
hilangnya indepedensi kekuasaan kehakiman. Bilamana independensi kekuasaan
kehakiman hilang, maka pada akhirnya juga berimplikasi pada hilangnya
integritas pelayanan jasa hukum yang melibatkan para advokat, sehingga kualitas
pelayanan jasa hukum juga akan merosot dan pada akhirnya akan menghilangkan
kepercayaan publik terhadap penegakan hukum, termasuk proses hukum di Mahkamah
Konstitusi. Menurut Pemerintah, dalil para Pemohon sangat tidak mendasar, tidak
jelas kerugian konstitusionalitasnya, dan tidak ada kaitannya dengan kedudukan
advokat dalam pelayanan jasa hukum. Pemerintah berpendapat justru penetapan UU
tentang Penetapan Perpu MK akan lebih dapat menjaga integritas dan independensi
Hakim Konstitusi dan kelembagaan Mahkamah Konstitusi.
2. Terkait dalil para Pemohon
yang beranggapan Undang-Undang a quo cacat hukum secara formil, yaitu:
(1) tidak
ada unsur kegentingan yang memaksa; (2) DPR tidak sedang reses; (3) bahwa
terjadi kekeliruan fundamental pada bagian "Menimbang; dan (4) bahwa daya
berlaku Perpu tidak jelas.
Terkait dalil Pemohon a quo, Pemerintah berpendapat bahwa
dengan telah ditetapkannya Perpu MK menjadi UU, maka permohonan yang masih
mempermasalahkan Perpu MK tersebut sudah kehilangan objek hukum sebagaimana
sudah diputus oleh Mahkamah dalam Putusan Nomor 92/PUU/XI/2013 pada tanggal 30
Januari 2014.
3. Terkait dalil para Pemohon
yang menyatakan bahwa UU tentang Penetapan Perpu MK cacat hukum secara materiil
dan bertentangan dengan UUD 1945, yang pada pokoknya menyangkut 3 (tiga) hal
utama, yaitu :
a) Penambahan persyaratan
untuk menjadi hakim konstitusi;
Menurut para Pemohon, UU tentang Penetapan Perpu MK
yang mengatur tentang "syarat hakim konstitusi", sesuai Pasal 15 ayat
(2) huruf i ditambah, "tidak menjadi anggota partai politik dalam jangka
waktu paling singkat 7 (tujuh) tahun sebelum diajukan sebagai calon hakim
konstitusi" adalah bertentangan dengan UUD 1945.
Terkait dalil para Pemohon
tersebut, Pemerintah berpendapat bahwa :
1) penetapan batasan waktu
"paling singkat 7 (tujuh) tahun" tersebut dirasa cukup untuk
memberikan jaminan independensi dan imparsialitas seorang hakim konstitusi
dalam memeriksa dan memutus perkara-perkara di Mahkamah Konstitusi, khususnya
Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU).
2) batasan waktu tersebut juga
sejalan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 81/PUU-IX/2011 mengenai uji
materi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum
terhadap UUD 1945, yang dalam pertimbangan hukum Putusannya memberikan beberapa
pertimbangan berikut ini :
a. "....Pelepasan hak
anggota partai politik untuk menjadi anggota komisi pemilihan umum bukan sesuatu hal yang
bertentangan dengan konstitusi dan hak asasi manusia, karena justru hal tersebut
diperlukan untuk menjamin fairness dalam pemilihan
umum, yang artinya memenuhi/melindungi hak-hak peserta
lain
dalam pemilihan umum;....... ;"
dalam pemilihan umum;....... ;"
b.
"...Namun,
dalam ketentuan pengunduran diri dari keanggotaan partai
politik yang tidak ditentukan jangka waktunya tersebut,
menurut Mahkamah dapat dipergunakan sebagai celah oleh partai
politik untuk masuknya kader partai politik ke
dalam komisi pemilihan umum. Hal ini justru bertentangan dengan sifat
"mandiri" dari komisi pemilihan umum yang dinyatakan dalam Pasal 22E
ayat (5) UUD 1945;...";
c.
"...Mahkamah berpendapat syarat pengunduran diri dari
keanggotaan partai politik sebagaimana diatur dalam Undang-Undang a quo, harus diberi batasan waktu. Secara sosiologis, untuk
memutus hubungan antara anggota partai politik yang mencalonkan diri dengan
partai politik yang diikutinya, perlu ditetapkan tenggang waktu yang patut dan
layak, sesuai dengan prinsip-prinsip kemandirian organisasi penyelenggara
pemilihan umum;...;"
d.
Tenggang waktu pengunduran diri dari partai politik, menurut Mahkamah adalah patut dan layak jika
ditentukan sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun sebelum yang bersangkutan
mengajukan diri sebagai calon anggota komisi pemilihan umum...".
3) Berdasarkan pertimbangan tersebut, maka sangat tepat kiranya, jika
Hakim Konstitusi - yang syarat konstitusionalnya "Negarawan" dengan kewenangan
konstitusional yang jauh lebih strategis dari KPU, dan nantinya akan memutus
sengketa hasil pemilihan umum -, diberikan jedah waktu sebagai anggota Partai
Politik (Parpol) selama 7 (tujuh) tahun (lebih lama daripada tenggat waktu
pengunduran diri calon anggota KPU dari Parpol) b) Memperjelas mekanisme proses
seleksi dan pengajuan hakim konstitusi. Menurut para Pemohon, UU tentang
Penetapan Perpu MK yang mengatur tentang mekanisme proses seleksi dan pengajuan
hakim konstitusi sebelum ditetapkan oleh Presiden, pengajuan calon hakim
konstitusi oleh MA, DPR, dan/atau Presiden, terlebih dahulu dilakukan proses
uji kelayakan dan
kepatutan yang dilaksanakan oleh Panel Ahli yang
dibentuk oleh Komisi Yudisial. Selanjutnya, Pemohon berpendapat bahwa, pola
rekrutmen "Panel Ahli" tersebut bertentangan dengan UUD 1945. Terkait
dalil Pemohon tersebut, Pemerintah berpendapat bahwa:
1)
selain kewenangan lembaga negara yang diatur dalam
konstitusi, dapat juga diatur dalam Undang-Undang terkait kewenangan lembaga
negara tersebut sepanjang tidak bertentangan dengan konstitusi.
2)
dengan ditetapkannya UU tentang Penetapan Perpu MK,
maka mekanisme seleksi hakim konstitusi bersifat lebih jelas, transparan,
akuntabel, dan partisipatif. Hal ini sesuai dengan aspirasi yang berkembang di
masyarakat, yang menghendaki proses seleksi hakim konstitusi dilakukan melalui
proses seleksi yang transparan dan partisipatif. Hal ini pula yang menyebabkan
timbulnya gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara terkait penetapan salah satu
Hakim Konstitusi.
3)
dalam konteks Panel Ahli, kewenangan Komisi Yudisial
adalah membentuk Panel Ahli (Pasal 18B UU tentang Penetapan Perpu MK), memilih
4 (empat) orang anggota Panel Ahli berdasarkan usulan masyarakat yang terdiri
atas mantan hakim konstitusi, tokoh masyarakat, akademisi di bidang hukum, dan
praktisi hukum [Pasal 18C ayat (2) UU tentang Penetapan Perpu MK].
4)
penunjukan Panel Ahli untuk melakukan uji kelayakan
dan kepatutan (fit & proper test) tidak bersifat mengurangi kewenangan 3 (tiga) lembaga
negara, yaitu Presiden, DPR, dan MA, untuk mengajukan anggota Hakim Konstitusi,
sebagaimana diatur dalam Pasal 24C UUD 1945. Selain itu, unsur keanggotaan
Panel Ahli juga tetap melibatkan perwakilan yang dipilih oleh lembaga negara
pengusul tersebut.
5)
perlu diketahui pula bahwa keberadaan Panel Ahli yang
tidak berada di masing-masing lembaga pengusul, dengan pertimbangan agar
menjamin kesamaan standarisasi Hakim Konsitusi.
6)
Panel Ahli hanya melakukan fit & proper test terhadap calon Hakim
Konstitusi yang diajukan oleh ketiga lembaga negara (Presiden, DPR dan MA).
Selanjutnya, hasil kerja Panel Ahli diserahkan kembali kepada lembaga pengusul.
Lembaga dimaksud yang akan memilih calon Hakim
Konstitusi yang akan diajukan kepada Presiden untuk
ditetapkan sebagai Hakim Konstitusi.
7) artinya, kewenangan menentukan
Hakim Konstitusi tetap menjadi kewenangan lembaga pengusul, sedangkan Panel
Ahli hanya membantu melakukan fit & proper test terhadap calon yang
pengajuannya hanya bisa dilakukan oleh lembaga pengusul tersebut. Panel Ahli
sama sekali tidak mengambil kewenangan konstitusional MA, DPR, dan Presiden
untuk mengusulkan Hakim Konstitusi.
8) dengan demikian kewenangan,
Komisi Yudisial dalam membentuk Panel Ahli tersebut tidak bertentangan dengan
UUD 1945, sedangkan kewenangan mengusulkan Hakim Konstitusi
tetap berada dalam kewenangan Presiden, DPR dan Mahkamah Agung.
c) Perbaikan Sistem Pengawasan
Hakim Konstitusi
Terkait dalil para Pemohon yang berpendapat bahwa
pembentukan MKHK yang sifatnya permanen yang dibentuk bersama oleh Komisi
Yudisial dan MK bertentangan dengan UUD 1945, Pemerintah berpendapat
sebagai berikut :
1) Untuk menegakkan Kode Etik dan
Pedoman Perilaku Hakim Konstitusi yang telah ditetapkan, maka MK bersama-sama
dengan Komisi Yudisial membentuk MKHK yang bersifat tetap. Sekretariat MKHK ini
berkedudukan di Komisi Yudisial dan dipimpin oleh Sekretaris Jenderal Komisi
Yudisial.
2) Selain itu, pertimbangan
pembentukan MKHK ini juga dikarenakan sudah ada Putusan MK yang membatalkan
pengawasan KY terhadap Hakim (Putusan MK Nomor 005/PUU-IV/2006 mengenai Uji
Materi UU Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial dan Uji Materi UU Nomor 4
Tahun 2004 tentang Kekuasan Kehakiman, terhadap UUD
1945).
3) Keanggotaan MKHK tidak
melibatkan Hakim Konstitusi atau Anggota KY, karena sifatnya yang permanen dan
menghindari adanya rangkap jabatan.
4) Melalui pembentukan MKHK yang
independen ini, maka pengawasan perilaku hakim MK dapat dilaksanakan secara
berkesinambungan (tidak
insidentil) dan obyektif,
serta tidak bertentangan dengan Putusan MK terkait pembatalan kewenangan
pengawasan KY tersebut. 5) Penempatan sekretariat MKHK
di KY dimaksudkan agar MKHK betul-betul menjadi pengawas eksternal yang
independen dari MK dari tiga sisi, yaitu independen secara fungsional,
independen secara struktural, dan yang tak kalah penting adalah independen
secara finansial, mengingat kebutuhan MKHK nantinya akan dipenuhi oleh Sekretariat
Jenderal (Setjen) KY, bukan Setjen MK. 4. Terkait dalil para Pemohon yang
menyatakan bahwa UU tentang Penetapan Perpu MK telah memperbesar kewenangan
Komisi Yudisial dengan turut menyeleksi calon-calon hakim Mahkamah Konstitusi
dengan serta merta mengurangi kewenangan Mahkamah Agung, DPR dan Presiden
terkait pengajuan calon hakim konstitusi dari lembaga-lembaga negara,
Pemerintah berpendapat bahwa:
a. Dalam konteks Panel ahli,
kewenangan Komisi Yudisial adalah membentuk Panel Ahli (Pasal 18B), memilih 4
(empat) orang anggota Panel Ahli berdasarkan usulan masyarakat yang terdiri
atas mantan hakim konstitusi, tokoh masyarakat, akademisi di bidang hukum, dan
praktisi hukum [Pasal 18C ayat (2)]. Dengan demikian, kewenangan Komisi
Yudisial tersebut tidak bertentangan dengan UUD 1945 sedangkan kewenangan
mengusulkan Hakim Konstitusi tetap berada dalam kewenangan Presiden, DPR, dan
Mahkamah Agung.
b. Dalam konteks Majelis
Kehormatan Hakim Konstitusi, kewenangan Komisi Yudisial adalah bersama-sama
dengan MK menyusun dan menetapkan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim
Konstitusi [Pasal 27A ayat (1)] dan membentuk Majelis Kehormatan Hakim
Konstitusi [Pasal 27A ayat (4)] sedangkan anggotanya sendiri bukan berasal dari
Komisi Yudisial.
Terhadap permohonan Perkara Nomor 2/PUU-XII/2014 Pemerintah memberikan
keterangan sebagai berikut:
1. Terkait dalil para Pemohon
yang mempersoalkan syarat paling rendah Magister bagi Panel Ahli, padahal yang
akan diuji adalah calon hakim Konstitusi yang memiliki kualifikasi Doktor.
Terhadap dalil para Pemohon tersebut, Pemerintah dapat
memberikan penjelasan sebagai berikut:
a.
bahwa Ketentuan Pasal 18C ayat (3) UU Nomor 4 Tahun
2014 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua Atas Undang- Undang Nomor 24 Tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi Menjadi Undang-Undang Menyatakan:
Panel Ahli harus memenuhi
syarat sebagai berikut:
1)
memiliki reputasi dan rekam jejak yang tidak tercela;
2)
memiliki kredibilitas dan integritas;
3)
menguasai ilmu hukum dan memahami Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
4)
berpendidikan paling rendah magister;
5)
berusia paling rendah 50 (lima puluh) tahun; dan
b.
tidak menjadi anggota partai politik dalam jangka
waktu paling singkat 5 (lima) tahun sebelum Panel Ahli dibentuk.
c.
berdasarkan penjelasan pasal tersebut jelaslah
persyaratan yang disyaratkan berpendidikan paling rendah magister sehingga
tidak menutup kemungkinan anggota Panel Ahli yang akan di pilih oleh KY dan
atau ditunjuk oleh DPR, MA dan Presiden kesemuanya akan berpendidikan Doktor.
d.
bahwa tugas Panel Ahli berdasarkan Pasal 18A UU Nomor
4 Tahun 2014 adalah melaksanakan uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test). Dalam uji kelayakan dan
kepatutan, hal yang diuji tidak hanya mengenai kemampuan akademik, namun juga
hal lainnya seperti integritas, kemampuan manajerial, rekam jejak dll, sehingga
tidak tepat apabila uji kelayakan dan kepatutan dalam jabatan publik sama
dengan uji akademis dalam suatu jenjang pendidikan.
e.
bahwa soal tingkat pendidikan semata-mata merupakan legal policy pembentuk undang-undang, tidak
berkaitan dengan isu konstitusionalitas. Syarat calon Presiden dan anggota DPR
pun saat ini, misalnya, bahkan serendah-rendahnya hanya SMA.
2. Terkait dalil para Pemohon
yang menyatakan bahwa Komisi Yudisial sebagai lembaga negara yang bersifat
pelengkap/penunjang tidak didelegasikan untuk membentuk Panel Ahli sesuai
amanah UUD 1945 sehingga bertentangan Pasal 24C ayat (3) UUD 1945.
Terhadap dalil para Pemohon tersebut, Pemerintah
memberikan keterangan bahwa:
a.
sesuai dengan amanah Pasal 24B ayat (1) dan ayat (2)
UUD 1945, Komisi Yudisial adalah lembaga bersifat mandiri yang berwenang
mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka
menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.
Untuk itu, anggota Komisi Yudisial harus mempunyai pengetahuan dan pengalaman
di bidang hukum serta memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela.
b.
Berdasarkan amanah konstitusi tersebut, Komisi
Yudisial dapat juga membentuk Panel Ahli dalam rangka melaksanakan tugasnya
sehingga akan mendapatkan calon hakim yang berintegritas dan kepribadian yang
tidak tercela, adil, dan negarawan, sehingga anggapan para Pemohon tidak benar
dan tidak beralasan karena dengan amanah dari UUD 1945 tersebut Komisi Yudisial
berwenang.
3. Para Pemohon mempersoalkan
tidak adanya syarat "Negarawan" bagi Anggota Panel Ahli dalam Pasal
18C ayat (3) UU tentang Penetapan Perpu MK, sedangkan syarat calon Hakim
Konstitusi adalah negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan.
Terkait dalil para Pemohon tersebut, Pemerintah
berpendapat para Pemohon tidak menjelaskan dalil dimaksud pertentangannya
dengan pasal dalam UUD
1945.
4. Menurut para Pemohon,
ketentuan Pasal 18C ayat (3) UU Penetapan Perpu MK mengenai syarat usia minimal
50 (lima puluh) tahun bagi Panel Ahli bersifat diskriminatif karena tidak ada
jaminan usia lebih tua pasti/lebih memiliki jiwa 'negarawan' sehingga bertentangan
dengan Pasal 28D ayat (3) UUD 1945.
Terkait dalil para Pemohon
tersebut, Pemerintah berpendapat bahwa :
a.
ketentuan a quo merupakan pilihan kebijakan (legal policy), persyaratan tersebut merupakan
persyaratan yang objektif dan bebas kepentingan dan tidak diskriminatif.
b.
bahwa terhadap dalil para Pemohon, Pemerintah dapat
memberikan keterangan mengenai usia minimal 50 (lima puluh) tahun merupakan
kebijakan pembentuk Undang-Undang dalam merumuskannya mengingat
dalam usia tersebut seseorang
dianggap sudah menguasai ilmu pengetahuan dan mempunyai pengalaman yang cukup.
Dengan demikian, pasal a quo tidak bersifat disikriminatif karena diskriminatif
menurut UU Nomor 39 Tahun
1999
tentang HAM didefinisikan apabila adanya pembedaan ras, etnis, atau agama serta
keyakinan politik seseorang, bukan karena usia seseorang. 5. Menurut para Pemohon,
pembentukan Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi
(MKHK) sebagaimana Pasal 27A
ayat (4) UU tentang Penetapan Perpu MK
bertentangan dengan UUD
1945.
Terhadap dalil para Pemohon
tersebut, Pemerintah berpendapat bahwa:
a.
Untuk menegakkan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim
Konstitusi yang telah ditetapkan, maka Mahkamah Konstitusi bersama-sama dengan
Komisi Yudisial membentuk MKHK yang bersifat tetap. Sekretariat MKHK ini
berkedudukan di Komisi Yudisial dan dipimpin oleh Sekretaris Jenderal Komisi
Yudisial.
b.
Penempatan sekretariat MKHK di KY dimaksudkan agar
MKHK betul-betul menjadi pengawas eksternal yang independen dari MK dari tiga
sisi, yaitu independen secara fungsional, independen secara struktural, dan
yang tak kalah penting adalah independen secara finansial, mengingat kebutuhan
MKHK nantinya akan dipenuhi oleh Sekretariat Jenderal (Setjen) KY.
c.
Selain itu, pertimbangan pembentukan MKHK ini juga
dikarenakan sudah ada Putusan MK yang membatalkan pengawasan KY terhadap Hakim
KY. (Putusan MK Nomor 005/PUU-IV/2006 mengenai Uji Materi UU Nomor 22 Tahun
2004 tentang Komisi Yudisial dan Uji Materi UU Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasan
Kehakiman, terhadap UUD 1945).
d.
Keanggotaan MKHK tidak melibatkan hakim konstitusi
atau anggota KY, karena sifatnya yang permanen dan menghindari adanya rangkap
jabatan. Melalui pembentukan MKHK yang independen ini, maka pengawasan perilaku
hakim MK dapat dilaksanakan secara berkesinambungan (tidak insidentil) dan
obyektif, serta tidak bertentangan dengan Putusan MK terkait pembatalan
kewenangan pengawasan KY tersebut.
IV. PETITUM
Berdasarkan keterangan tersebut di atas, Pemerintah
memohon kepada Yang Mulia Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang
memeriksa, mengadili,
dan memutus permohonan pengujian Undang-Undang Nomor
4 Tahun
2014 tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor
1 Tahun
2013 tentang Perubahan Kedua Atas Undang- Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi Menjadi Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945
dalam Perkara Nomor 1/PUU-XII/2014 dan Nomor 2/PUU-XII/2014 dapat memberikan
putusan sebagai berikut:
1. Menyatakan para Pemohon tidak
memiliki Kedudukan hukum (legal standing);
2. Menolak permohonan pengujian
para Pemohon seluruhnya atau setidak-tidaknya menyatakan permohonan para
Pemohon tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard);
3.
Menerima Keterangan Pemerintah secara keseluruhan;
4. Menyatakan Pasal 18A ayat (1),
Pasal 18B, Pasal 18C ayat (3) dan Pasal ayat (1) dan ayat (4) Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 2014 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi Menjadi Undang-Undang tidak
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Selain itu, Presiden
menyampaikan keterangan tertulis dari lima orang Ahli yang diterima
Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 10 Februari 2014, yang pada pokoknya
menerangkan sebagai berikut:
AHLI PRESIDEN
1. Dr. Maruarar Siahaan, S.H.
Sesuai dengan permohonan pengujian Undang-Undang Nomor
4 Tahun 2014 tentang Penetapan Perpu Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan Kedua
Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi Menjadi
Undang-Undang (selanjutnya disebut UU tentang Penetapan Perpu MK) terhadap UUD
1945, Ahli akan memberi keterangan tentang uji konstitusionalitas ketentuan
dalam Undang-Undang dimaksud yang terkait dengan: 1. Panel Ahli
Di antara Pasal 18 dan Pasal 19 disisipkan 3 (tiga)
pasal, yakni Pasal 18A, Pasal 18B, dan Pasal 18C, sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 18A
(1)
Hakim konstitusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18
ayat (1) sebelum ditetapkan Presiden, terlebih dahulu harus melalui uji
kelayakan dan kepatutan yang dilaksanakan oleh Panel Ahli.
(2)
Mahkamah Agung, DPR, dan/atau Presiden mengajukan
calon hakim konstitusi kepada Panel Ahli masing-masing paling banyak 3 (tiga)
kali dari jumlah hakim konstitusi yang dibutuhkan untuk dilakukan uji kelayakan
dan kepatutan.
(3)
Panel Ahli menyampaikan calon hakim konstitusi yang
dinyatakan lolos uji kelayakan dan kepatutan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
sesuai dengan jumlah hakim konstitusi yang dibutuhkan ditambah 1 (satu) orang
kepada Mahkamah Agung, DPR, dan/atau Presiden.
(4)
Dalam hal calon hakim konstitusi yang dinyatakan lolos
uji kelayakan dan kepatutan kurang dari jumlah hakim konstitusi yang
dibutuhkan, Mahkamah Agung, DPR, dan/atau Presiden mengajukan kembali calon
hakim konstitusi lainnya paling banyak 3 (tiga) kali dari jumlah hakim
konstitusi yang masih dibutuhkan.
(5)
Dalam hal calon hakim konstitusi yang dinyatakan lolos
uji kelayakan dan kepatutan sama dengan jumlah hakim konstitusi yang
dibutuhkan, Mahkamah Agung, DPR, dan/atau Presiden dapat langsung mengajukannya
kepada Presiden untuk ditetapkan, atau mengajukan tambahan paling banyak 3 (tiga)
calon hakim konstitusi lainnya untuk diuji kelayakan dan kepatutan oleh Panel
Ahli.
(6)
Mahkamah Agung, DPR, dan/atau Presiden memilih hakim
konstitusi sesuai jumlah yang dibutuhkan dari nama yang dinyatakan lolos uji
kelayakan dan kepatutan oleh Panel Ahli, dan mengajukannya kepada Presiden
untuk ditetapkan.
Pasal 18B
Panel Ahli menyelesaikan tugasnya dalam jangka waktu
paling lama 3 (tiga) bulan setelah dibentuk oleh Komisi Yudisial.
Pasal 18C
(1)
Panel Ahli sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18A ayat
(1) berjumlah 7 (tujuh) orang.
a. 1 (satu) orang diusulkan oleh
Mahkamah Agung;
b. 1 (satu) orang diusulkan oleh
DPR;
c. 1 (satu) orang diusulkan oleh
Presiden; dan
d. 4 (empat) orang dipilih oleh
Komisi Yudisial berdasarkan usulan
masyarakat yang terdiri atas
mantan hakim konstitusi, tokoh masyarakat, akademisi di bidang hukum, dan
praktisi hukum.
(2)
Panel Ahli harus memenuhi syarat sebagai berikut:
a. memiliki reputasi dan rekam
jejak yang tidak tercela;
b. memiliki kredibilitas dan
integritas;
c.
menguasai ilmu hukum dan memahami Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
d. berpendidikan paling rendah
magister;
e. berusia paling rendah 50 (lima
puluh) tahun; dan
f.
tidak menjadi anggota partai politik dalam jangka
waktu paling singkat 5 (lima) tahun sebelum Panel Ahli dibentuk.
g.
Anggota Panel Ahli dilarang mencalonkan diri sebagai
calon hakim konstitusi.
h.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemilihan
Panel Ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d diatur dengan Peraturan
Komisi Yudisial.
Menurut pendapat Ahli, Undang-Undang tentang Penetapan
Perpu MK ini mempertegas mekanisme seleksi Hakim Konstitusi, sehingga lebih
jelas, transparan, akuntabel dan partisipatif. Hal ini sesuai dengan aspirasi
yang berkembang di masyarakat, yang menghendaki proses seleksi hakim konstitusi
dilakukan melalui proses seleksi yang transparan dan partisipatif. Penunjukan
Panel Ahli untuk melakukan uji kelayakan dan kepatutan (fit & proper test) tidak bersifat mengurangi
kewenangan 3 (tiga) lembaga negara yaitu Presiden, DPR, dan MA untuk mengajukan
anggota Hakim Konstitusi, sebagaimana diatur dalam Pasal 24C UUD 1945. Selain
itu, unsur keanggotaan Panel Ahli juga tetap melibatkan perwakilan yang dipilih
oleh lembaga negara pengusul tersebut.
Panel Ahli hanya melakukan fit & proper test terhadap calon Hakim
Konstitusi yang diajukan oleh ketiga lembaga negara (Presiden, DPR dan MA).
Selanjutnya, hasil kerja Panel Ahli diserahkan kembali kepada lembaga pengusul.
Lembaga dimaksud yang akan memilih calon Hakim Konstitusi yang akan diajukan
kepada Presiden untuk ditetapkan sebagai Hakim Konstitusi.
Artinya, kewenangan menentukan Hakim Konstitusi tetap
menjadi kewenangan lembaga pengusul, sedangkan Panel Ahli hanya membantu
melakukan fit
& proper test terhadap calon yang pengajuannya hanya bisa dilakukan oleh lembaga
pengusul tersebut. Panel Ahli sama sekali tidak mengambil kewenangan
konstitusional MA, DPR, dan Presiden untuk mengusulkan Hakim Konstitusi.
2. Majelis Kehormatan Hakim
Konstitusi
Ketentuan Pasal 27A Perpu MK
diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 27A
(1) Mahkamah Konstitusi
bersama-sama dengan Komisi Yudisial menyusun dan menetapkan Kode Etik dan
Pedoman Perilaku Hakim Konstitusi yang berisi norma yang harus dipatuhi oleh
setiap hakim
konstitusi dalam menjalankan
tugasnya untuk menjaga kehormatan dan perilaku hakim konstitusi.
(2)
Dalam menyusun Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim
Konstitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Mahkamah Konstitusi dan
Komisi Yudisial dapat mengikutsertakan pihak lain yang berkompeten.
(3)
Kode etik sebagaimana dimaksud pada ayat
(1)
bersifat mengikat serta wajib dipatuhi oleh hakim konstitusi.
(4)
Untuk menegakkan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim
Konstitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Mahkamah Konstitusi
bersama-sama dengan Komisi Yudisial membentuk Majelis Kehormatan Hakim
Konstitusi yang bersifat tetap.
(5)
Keanggotaan Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) berjumlah
5 (lima)
orang yang terdiri atas unsur:
a. 1 (satu) orang mantan hakim
konstitusi;
b. 1 (satu) orang praktisi hukum;
c.
2 (dua)
orang akademisi yang salah satu atau keduanya berlatar belakang di bidang
hukum; dan
d. 1 (satu) orang tokoh
masyarakat.
(6)
Anggota Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi
sebagaimana dimaksud pada ayat (5) harus memenuhi syarat sebagai berikut:
a. memiliki integritas dan
kepribadian yang tidak tercela;
b. adil;
c. berusia paling rendah 50 (lima
puluh) tahun; dan
d.
tidak menjadi anggota partai politik dalam jangka
waktu paling singkat 5 (lima) tahun sebelum diangkat menjadi anggota Majelis
Kehormatan Hakim Konstitusi.
(7)
Masa jabatan Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi
sebagaimana dimaksud pada ayat (5) selama 5 (lima) tahun dan tidak dapat
dipilih kembali.
(8)
Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi mempunyai wewenang
untuk:
a.
memanggil hakim konstitusi yang diduga melakukan
pelanggaran kode etik untuk memberikan penjelasan dan pembelaan;
b.
memanggil pelapor, saksi, dan/atau pihak lain yang
terkait untuk dimintai keterangan, termasuk untuk dimintai dokumen atau bukti
lain; dan
c.
memberikan sanksi kepada hakim konstitusi yang
terbukti melanggar kode etik.
(9)
Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi bersidang secara
terbuka untuk melakukan pemeriksaan dugaan adanya pelanggaran kode etik yang
dilakukan oleh hakim konstitusi
(10)
Ketentuan bersidang secara terbuka sebagaimana
dimaksud pada ayat (9) tidak berlaku terhadap pemeriksaan yang terkait dengan
perbuatan asusila dan pemeriksaan yang dapat mengganggu proses penegakan hukum
yang sedang berjalan.
(11)
Putusan Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi bersifat
final dan mengikat.
(12)
Putusan Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi berupa
sanksi atau rehabilitasi diambil dalam rapat pleno Majelis Kehormatan Hakim
Konstitusi.
(13) Ketentuan lebih lanjut
mengenai kode etik dan pedoman perilaku hakim konstitusi, tata cara pemilihan
Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi, susunan organisasi dan tata kerja Majelis
Kehormatan Hakim Konstitusi diatur dengan Peraturan Bersama Mahkamah Konstitusi
dan Komisi Yudisial.
(14)
Untuk mendukung pelaksanaan tugas Majelis Kehormatan
Hakim Konstitusi dibentuk sekretariat yang berkedudukan di Komisi Yudisial dan
dipimpin oleh Sekretaris Jenderal Komisi Yudisial.
Bab VII Ketentuan Peralihan ditambah 1 (satu) pasal,
yakni Pasal 87A sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 87A
Majelis
Kehormatan Mahkamah Konstitusi tetap melaksanakan tugas sampai dengan
terbentuknya Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi berdasarkan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini.
Menurut pendapat Ahli, melalui pembentukan MKHK yang
independen ini, maka pengawasan perilaku hakim MK dapat dilaksanakan secara
kontinyu (tidak insidentil) dan obyektif, serta tidak bertentangan dengan
Putusan MK terkait pembatalan kewenangan pengawasan KY (tidak ada anggota KY
dalam MKHK - sesuai putusan MK Nomor 005/PUU-IV/2006 mengenai Uji Materi
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial dan Uji Materi
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasan Kehakiman, terhadap UUD 1945).
Penempatan sekretariat MKHK di KY juga lebih menjamin
MKHK betul-betul menjadi pengawas eksternal yang independen dari MK dari tiga
sisi, yaitu independen secara fungsional, independen secara struktural, dan
yang tak kalah penting adalah independen secara finansial, mengingat kebutuhan
MKHK nantinya akan dipenuhi oleh Sekretariat Jenderal (Setjen) KY, bukan Setjen
MK.
3. Batas Waktu Paling Singkat 7 (Tujuh) Tahun Bagi
Calon Hakim Konstitusi
Dalam Pasal 15 ayat (2) huruf i Perppu MK diatur
mengenai syarat untuk menjadi hakim konstitusi, yaitu "tidak menjadi anggota
partai politik dalam jangka waktu paling singkat 7 (tujuh) tahun sebelum
diajukan sebagai calon hakim konstitusi."
Menurut pendapat Ahli, penetapan batasan waktu "paling singkat 7
(tujuh) tahun" tersebut dinilai cukup untuk memberikan jaminan
independensi dan imparsialitas seorang Hakim Konstitusi dalam memeriksa dan
memutus perkara-perkara di Mahkamah Konstitusi, khususnya Perselisihan Hasil
Pemilihan Umum (PHPU).
Hal demikian juga sejalan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
81/PUU-IX/2011 mengenai uji materi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang
Penyelenggara Pemilihan Umum terhadap UUD 1945, yang dalam pertimbangan hukum
Putusannya memberikan beberapa pertimbangan berikut ini:
e.
" Pelepasan hak anggota partai
politik untuk
menjadi anggota komisi
pemilihan umum bukan sesuatu hal yang bertentangan dengan konstitusi
dan hak asasi manusia, karena justru hal tersebut diperlukan untuk menjamin fairness dalam pemilihan umum, yang
artinya memenuhi/melindungi hak-hak peserta lain dalam pemilihan
umum;....;"
f.
"...Namun, dalam ketentuan pengunduran diri
dari keanggotaan partai politik yang tidak ditentukan jangka waktunya tersebut, menurut Mahkamah dapat dipergunakan sebagai
celah oleh partai politik untuk masuknya kader partai politik ke dalam komisi pemilihan
umum. Hal ini justru bertentangan dengan sifat "mandiri" dari komisi
pemilihan umum yang dinyatakan dalam
Pasal 22E ayat (5) UUD
1945;...";
g.
"...Mahkamah berpendapat syarat pengunduran diri dari
keanggotaan partai politik sebagaimana diatur dalam Undang-Undang a quo, harus diberi batasan waktu. Secara sosiologis, untuk
memutus hubungan antara anggota partai politik yang mencalonkan diri dengan partai
politik yang diikutinya, perlu ditetapkan tenggang waktu yang patut dan layak,
sesuai dengan prinsip-prinsip kemandirian organisasi penyelenggara pemilihan
umum;...;"
h.
Tenggang waktu pengunduran diri dari partai politik, menurut Mahkamah adalah patut dan layak jika
ditentukan sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun sebelum yang bersangkutan
mengajukan diri sebagai calon anggota komisi pemilihan umum...".
Berdasarkan pertimbangan tersebut, maka sangat tepat
kiranya, jika Hakim Konstitusi dengan kewenangan konstitusional yang jauh lebih
strategis dan nantinya akan memutus sengketa hasil pemilihan umum, membutuhkan
jaminan independensi dan imparsialitas yang tinggi, sehingga perlu diberikan
masa jeda sebagai anggota Parpol selama 7 (tujuh) tahun, lebih lama
daripada tenggat waktu pengunduran diri calon anggota KPU dari Parpol.
2. Mohammad
Fajrul Falaakh, S.H., M.H., M.Sc "Kegentingan yang memaksa"
Tidak ada landasan konstitusional mempersoalkan alasan
"kegentingan yang memaksa" penerbitan Perppu Nomor 1 Tahun 2013
karena DPR sudah menyetujui Perppu tersebut menjadi Undang-Undang (UU Nomor 4
Tahun 2014). Setelah disetujui DPR maka bukan kewenangan MK untuk menilai
kegentingan dimaksud. MK berwenang menilai substansi muatannya sebagai muatan
Undang-Undang berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945.
Status Komisi Yudisial
Komisi Yudisial (KY) memerankan checks and balances dengan Presiden dan DPR pada
perekrutan hakim agung [Pasal 24A ayat (3) dan frasa pertama Pasal 24B ayat (1)
UUD 1945]. KY bukan pendukung yudikatif karena kewenangan KY bukan termasuk
kewenangan di bidang peradilan, misalnya sebagaimana kewenangan polisi
penyelidik, jaksa penuntut umum, atau juru sita. KY bukan badan yang fungsinya
terkait dengan kekuasaan kehakiman (baca: kekuasaan mengadili, teknis yustisi).
Pasal 25 maupun Pasal 24C ayat (6) UUD 1945 menentukan
bahwa hakim dapat diberhentikan. KY memiliki kewenangan "dalam rangka
menjaga dan menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat, serta perilaku
hakim" [Pasal 24B ayat (1) UUD 1945] yang mencakup semua hakim (menurut
MPR,
2003: 195).
Maka wajar bahwa peran KY dalam konteks ini diatur
dalam suatu Undang-Undang. Kewenangan KY dalam konteks ini bukan merupakan
hubungan kekuasaan (power relationship atau gezag verhouding) dan bukan wujud dari kekuasaan
mengadili (baca: teknis yustisi). Kewenangan KY ini dalam konteks perilaku
profesi hakim (judicial conduct).
Seleksi calon hakim konstitusi
UUD 1945 menentukan perekrutan
sembilan hakim MK melalui model split and quota yaitu memberi "jatah" Presiden, DPR dan MA
untuk "memajukan" tiga hakim konstitusi. Tiga lembaga berkuasa
memajukan Hakim MK. Sejak tahun 2003 perekrutan Hakim MK mengalami
politisasi dalam bentuk kooptasi yudikatif oleh koalisi dan distribusi
kepentingan sesuai konfigurasi politik ("koalisi pemerintahan
presidensial") di Komisi III DPR. Sejak awal DPR merekrut secara terbuka.
Berarti kewenangan memajukan hakim konstitusi bukanlah prerogatif DPR, MA
maupun Presiden. Syarat transparansi dan akuntabilitas perekrutan dalam UU MK
2003/2011
juga menegaskan bahwa pengajuan hakim konstitusi oleh ketiga lembaga itu
bukanlah prerogatif.
Tetapi: MA tak pernah transparan; Presiden mengumumkan pencalonan tanpa
transparansi hasil seleksinya pada tahun 2008 dan tanpa transparansi pada
perekrutan tahun 2010 dan
2013;
keterbukaan perekrutan oleh DPR hanya untuk melegitimasi penjatahan Hakim
Konstitusi bagi sejumlah anggota Komisi III (2003, 2008, 2009, 2013). Hasil
akhirnya adalah dominasi "koalisi pendukung Presiden" di tubuh MK.
Standar internasional perekrutan hakim, misalnya Basic Principles on the
Independent of the Judiciary (Resolusi PBB 1985 Nomor 40/32 dan Nomor 40/146) dan Beijing Statement of Principles
on the Independence of the Judiciary in the Law Asia Region (1997), menuntut bahwa jika
proses perekrutan melibatkan eksekutif dan atau legislatif maka politisasi
harus dikurangi. Seleksi oleh suatu komisi yudisial merupakan metode yang dapat
diterima.
UU Nomor 4 Tahun 2014 mengatur pembentukan Panel Ahli (PA) oleh KY
namun Undang-Undang ini tidak menentukan bahwa KY mendominasi PA. Jadi, PA
bukan instrumen KY karena PA independen terhadap KY. PA menyampaikan hasil
seleksi bakal calon Hakim Konstitusi (BCHK) kepada Presiden, DPR atau MA
-sesuai dengan "jatah" hakim yang lowong di MK. Suatu model proses
perekrutan yudikatif (model of judicial recruitment process) dapat ditentukan dalam
Undang-Undang (kebijakan politik, legal policy) bahwa Presiden, DPR atau MA memerankan PA sebagai
suatu panitia seleksi (Pansel) untuk menyeleksi BCHK yang direkrut sendiri oleh
ketiga
lembaga, kemudian Pansel menghasilkan short-listed candidates dan akhirnya lembaga
(Presiden, DPR atau MA) itulah yang menentukan calon Hakim MK. Model proses
perekrutan yudikatif tersebut bukan melanggar konstitusi. Model ini menghindari
penunjukan anggota partai di DPR, penunjukan oleh Presiden maupun penunjukan
oleh atasan (di MA). Proses ini menyumbang independensi MK dengan mengurangi
politisasi perekrutan yudikatif meski pihak legislatif dan eksekutif terlibat
dalam proses tersebut. Apabila difahami dari UU MK 2003/2011, yang hanya
menentukan bahwa pencalonan Hakim MK dilakukan secara transparan dan
partisipatif serta pemilihannya dilakukan secara akuntabel, namun pengaturannya
diserahkan kepada masing-masing lembaga, maka Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014
melanjutkan pengaturan untuk merekrut secara transparan dan akuntabel karena
Hakim MK dihasilkan bukan dari penunjukan langsung oleh Presiden, DPR atau MA.
MKHK bukan perangkat MK atau
KY
Kewenangan KY dalam rangka menjaga dan menegakkan
kehormatan dan keluhuran martabat serta perilaku hakim, termasuk dalam rangka
pemberhentian Hakim Agung dan Hakim Konstitusi, adalah dalam konteks perilaku
profesi hakim (judicial conduct).
Undang-Undang Nomor 4 tahun 2014 tidak memulihkan
kewenangan KY seperti dalam UU KY 2004. KY tak mengawasi Hakim Konstitusi. KY
hanya diikutkan bersama MK untuk membentuk Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi
(MKHK). MKHK bukan perangkat MK maupun KY, keanggotaannya tidak dimonopoli MK
maupun KY. MKHK bersifat permanen, bukan ad hoc, dan kesekretariatannya di KY.
3. Prof. Dr. Philipus M. Hadjon,
S.H. I. Isu Hukum
1. Legal Standing Pemohon Pertanyaan:
a.
Apa saja hak konstitusional Pemohon yang dirugikan
oleh UU in
litis?
b. Apakah ketentuan Pasal 3 butir
a Peraturan MK Nomor 06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara Dalam Perkara
Pengujian Undang-Undang tidak bertentangan dengan ketentuan Pasal 51 ayat (1)
UU Nomor 24 Tahun 2003 juncto UU Nomor 8 Tahun 2011?
2. Kegentingan yang mendesak Pertanyaan:
Apakah yang diajukan pengujian adalah UU Nomor 4 Tahun
2014 tentang Penetapan PERPPU Nomor 1 Tahun 2014 menjadi UU atau PERPPU Nomor
1 Tahun 2014?
3. Independensi Kekuasan Hakim Pertanyaan:
a.
Apa konsep independensi hakim?
b.
Apakah
dengan Undang-Undang in litis berujung pada hilangnya independensi kekuasaan
kehakiman?
4. Asas Nemo Judex in Re Sua Pertanyaan:
Apakah pengujian Undang-Undang
in litis oleh MK tidak bertentangan
asas nemo
judex in re sua? II. Analisis
Isu 1: Legal Standing Pemohon
Pertanyaan a: Apa saja hak konstitusional pemohon yang dirugikan
oleh Undang-Undang in litis?
Tidak nampak jelas dalam uraian Pemohon hak
konstitusional yang dirugikan.
Dalil Pemohon yang menyatakan Undang-Undang in litis memberi pengaruh terhadap
penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang berujung pada hilangnya independensi
kekuasaan kehakiman.
Terhadap dalil tersebut dipertanyakan: apakah itu
menjadi hak konstitusional Pemohon? Bagaimana menjelaskan hubungan causalnya? Pertanyaan b: Apakah ketentuan Pasal 3 butir
a Peraturan MK Nomor 06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara Dalam Perkara
Pengujian Undang-Undang tidak bertentangan dengan ketentuan Pasal 51 ayat (1)
UU Nomor 24 Tahun 2003 juncto UU Nomor 08 Tahun 2011? Meskipun dalam permohonan
Pemohon tidak secara eksplisit disebutkan ketentuan Pasal 3 butir a Peraturan
MK Nomor 06/PMK/2005 berkaitan dengan legal standing namun harus ditegaskan bahwa ketentuan Pasal 3
tersebut tidak sejalan dengan ketentuan Pasal 51 UU MK.
Dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK ditegaskan bahwa Pemohon
adalah pihak yang hak konstitusionalnya dirugikan. Dalam Pasal 3 butir a
dinyatakan bahwa Pemohon adalah: a.
Perorangan WNI atau kelompok orang yang mempunyai kepentingan sama.
Terhadap ketentuan yang bertentangan tersebut berlaku asas preferensi lex superior. Atas dasar itu ketentuan Pasal
3 butir a Peraturan MK a quo harus di kesampingkan (non application).
Atas dasar itu dalil Pemohon yang menyatakan: Pemohon adalah WNI selaku
pembayar pajak (tax payer) yang kesemuanya adalah Advokat dan Konsultan Hukum
yang tergabung dalam Forum Pengacara Konstitusi tidak bisa dijadikan dasar legal standing pemohon in casu.
Isu 2: Kegentingan yang
mendesak
Pertanyaan: Apakah yang diajukan pengujian adalah UU Nomor 4 Tahun
2014 tentang Penetapan PERPPU Nomor 1 Tahun 2013 menjadi Undang-
Undang atau PERPPU Nomor 1 Tahun 2013?
Yang diuji adalah UU Nomor 4 Tahun 2014 dan bukan
PERPPU.
Oleh karena itu sanggahan Pemohon terhadap alasan keadaan kepentingan
yang memaksa tidak relevan.
Isu 3: Independensi Kekuasan
Hakim Pertanyaan a: Apa konsep independensi hakim?
Asas kekuasaan kehakiman yang merdeka dalam pelaksanaannya tergantung
dari komponen fungsional dan komponen struktural. Komponen fungsional terdiri
atas bebas dari (freedom from) campur tangan dan bebas untuk melaksanakan fungsi
peradilan serta dihormatinya asas kekebalan hakim yaitu no reprisal for their
decisions. Komponen
struktural terdiri atas struktur dan organisasi lembaga negara, struktural dan
organisasi peradilan, sistem seleksi (calon) hakim dan status kepegawaian
hakim.
(Vide: R. Wallace Brewster, Government in Modern Society, Houghtun Mifflin, Boston,
1963).
Pertanyaan b: Apakah dengan Undang-Undang in litis berujung pada hilangnya
independensi kekuasaan kehakiman?
Ratio legis Undang-Undang in litis justru dalam rangka mewujudkan
Hakim Konstitusi yang memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela
serta dalam rangka menyelamatkan demokrasi dan negara hukum Indonesia serta
untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap Mahkamah Konstitusi.
Atas dasar itu dalil Pemohon: yang berujung padal
hilangnya independensi kekuasaan kehakiman adalah tidak rasional dan tidak
berdasar hukum.
Isu 4: Asas Nemo Judex in Re
Sua
Pertanyaan: Apakah pengujian Undang-Undang in litis oleh MK tidak bertentangan
asas nemo
judex in re sua?
Pengujian materi atau substansi Undang-Undang yang
mengatur tentang syarat Hakim Konstitusi seperti antara lain dalam Pasal 15
ayat (2) butir 1 Undang-Undang in litis melanggar asas yang dianut dalam civil law system (yang juga kita anut) yaitu nemo iudex in re sua - tidak seorangpun boleh
menjadi hakim dalam perkaranya sendiri.
Bahwa ketentuan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 memberi
kewenangan kepada Mahkamah Konstitusi untuk menguji Undang-Undang, namun
berdasarkan asas tersebut Mahkamah Konstitusi jangan menguji materi tentang
syarat untuk menjadi Hakim Konstitusi dan pengawasan terhadap hakim konstitusi.
Atas dasar itu jangan terulang pengujian terhadap
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial yang menyangkut
kewenangan Komisi Yudisial mengawasi Hakim Konstitusi (Putusan MK Nomor
005/PUU-IV/2006).
4. Dr. Tamrin
Amal Tomagola I. Konteks Kemasyarakatan
Dalam perspektif kajian negara dalam masyarakat (State In Society), dipahami bahwa pada awalnya,
negara banyak meminjam dan memanfaatkan baik berbagai perangkat nilai-nilai
fundamental maupun perangkat nilai-nilai instrumental beserta rangkaian
tata-norma prilaku yang telah lama dipraktekkan dalam suatu masyarakat, pada
tahap lanjutan, negara, lewat berbagai kebijakan dan tata-kenegaraan serta
prinsip-prinsip yang melandasinya dapat
berbalik mempengaruhi berbagai nilai
fundamental dan instrumental serta rangkaian perangkat
norma-norma prilaku yang telah mapan.
Pada saat ini, baik masyarakat maupun negara Indonesia
sedang proses transformatif yang cukup cepat beralih dari masyarakat dan negara
yang masih luas mempraktekkan tata-nilai dan tata-norma komunal yang sangat patriakhi
dan tidak tertulis, menuju suatu tata-kenegaraan dan tata sosial yang
menjunjung hakat kemanusiaan yang setara, transparan, adil, partisipatif dan
akuntabel. Para bapak-bapak, patriakh, sesepuh tidak lagi menggenggam otoritas
mutlak yang secara berangsur diserahkan pada tatanan hukum tertulis yang
disepakati lewat permusyarawatan demokratis. Bila di satu pihak masyarakat
Indonesia sedang beralih dari masyarakat komunal yang sempit terbatas menuju
masyarakat terbuka yang nyaris tanpa batas di era globalisasi ini, maka pada
saat yang sama negara beserta tata-kenegaraan dan praktek kenegaraan yang
tadinya banyak menggunakan tata-cara komunal kekerabatan secara samar maupun
terang-terangan; menuju negara yang pertama dan utamanya mengacu pada Konstitusi.
Negara Kekerabatan Republik Indonesia sedang bertransformasi ke arah pengokohan
Negara Konstitusi Republik Indonesia yang demokratis. Berubah dari NKRI komunal
ke NKRI Konstitusi.
II. Peran Strategis Mahkamah
Konstitusi (MK).
Setiap rakyat Indonesia sekarang sedang dalam proses
belajar perlahan melepaskan diri dari kungkungan komunal sebagai warga dari
suatu komunitas terbatas untuk menjadi warga negara konstitusional. Mahkamah
Konstitusi saat ini sedang memainkan paling-kurang tiga peran sentral: (1) sebagai
pengawal dan penegak konstitusi; (2) sebagai pengawal dan penegak
demokrasi-konstitusional: dan (3) sebagai pembawa obor-teladan kekukuhan
nilai-nilai fundamental kenegarawanan yang berharkat-martabat dan bermarwah.
Dalam rangka mengemban ketiga peran mulia di ataslah,
maka Mahkamah Konstitusi harus dipastikan benar solid dari segi: (1)
kelengkapan tata-kelembagaannya; (2) kualitas para hakimnya; serta (3) etika
profesional hakim yang tidak mengenal kompromi.
Dalam hubungan inilah, kami berpendapat bahwa UU Nomor
4 Tahun 2014 tidak saja potensial mengokohkan baik peran maupun
tata-kelembagaan MK,
tetapi juga MK akan dimungkinkan mampu mempergakan
nilai-nilai fundamental dalam penyelenggaraan suatu pemerintahan yang
berkebajikan (good
governance). Potensi
kemungkinan hanya bisa diaktualkan mengejawantah bila:
(1)
syarat-syarat menjadi hakim MK diperketat dengan pagar-pagar keutamaan profesi
dan kenegrawanan; (2) proses seleksi terkawal ketat
dari kemungkinan manipulasi politik sempit: (3) pengawasan melembaga permanen
yang independen.
III. Signifikansi Sosiologis
UU Nomor 4/2014
Undang Undang ini signifikan paling-kurang dalam
pengetatan pengaturan tiga hal utama yang tersurat maupun tersirat mengandung
dan mengusung nilai-nilai fundamental yang sudah sepatutnya dijunjung oleh
suatu penyelenggaraan pemerintahan berkebajikan (good governance). Pertama, nilai-nilai
fundamental tentang profesionalisme dan kenegarawanan. Hakim-hakim MK yang
menjungjung kedua nilai fundamental itu hanya bisa ditemukan bila penguasaan
keilmuan hukum dimiliki secara mumpuni, yang antara lain diketahui dari jenjang
pendidikan akademis yang didapat. Tapi syarat ini hanya 'syarat-perlu' (necessary condition), dan karena perlu dilengkapi
dengan "jam-terbang praktek" sebagai praktisi hukum ke-tata-negaraan.
Bila syarat terakhir ini (sufficient condition) dapat secara memuaskan
dipenuhi, barulah seorang dengan latar keilmuan hukum ke-tata-negraaan dapat
diakui sebagai benar-benar profesional. Syarat yang terakhir ini tidak bisa
ditawar. Nilai fundamental kenegarawanan adaiah nilai tidak memberi peluang
bagi kepentingan sempit-terbatas manapun, apalagi kepentingan politik-praktis,
untuk masuk dan mempengaruhi keputusan seorang Hakim MK. Kenegarawan berari
meletakkan kepentingan negara dan bangsa di atas kepentingan lain di bawahnya (Over and Above all
intrest-groups). UU Nomor 4/2014 dengan jelas dan tegas menjungjung dan menuangkan kedua
nilai fundamental tersebut di atas dalam syarat-syarat menjadi Hakim MK, yaitu:
mandiri, profesional dan berkarakter negarawan. Bila para Hakim MK mampu
mempergakan kedua nilai fundamental itu dalam berbagai pikiran, sikap dan
prilaku pengambilan keputusan, maka itu akan menjadi acuan teladan utama bagi
setiap warga masyarakat bila sekali waktu menduduki jabatan kenegaraan.
Kedua, nilai-nilai fundamental pemerintahan
berkebajikan. Pemerintahan berkebajikan (good governance) dalam penyelenggaraan sebuah
pemerintahan demokratis juga diatur dan ditekankan oieh UU Nomor
4/2014 lewat
pengaturannya tentang proses seleksi hakim konstitusi yang: transparan,
partisipatif dan akuntabel. Justru karena kekuasaan MK itu hanya setingkat di
bawah Tuhan, maka memang perlu dipastikan suatu proses pencarian dan penyarian
Hakim MK yang paripurna terbuka untuk diawasi oleh publik luas secara
transparan.
Ketiga, sesungguhnya keseluruhan sistem demokrasi
berupaya secara maksimal untuk mengontrol kekuasaan yang digdaya seperti
kekuasaan MK untuk tidak digunakan secara sembrono dan tidak betanggung-jawab.
Karena itu memang diperlukan suatu Majelis Kehormatan MK yang beranggotakan
warga negara pilihan yang mumpuni baik dalam keilmuan maupun dalam karakter
pribadi.
5. Prof. Dr. Saldi Isra S.H., MPA
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu
Nomor 1/2013 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 24/2003 tentang
Mahkamah Konstitusi disetujui DPR, mengundang debat di sekitar pemenuhan syarat
hal ihwal kegentingan memaksa sebagaimana termaktub dalam Pasal 22 UUD 1945.
Awalnya, perdebatan lebih banyak berfokus pada keterpenuhan klausul "hal
ihwal kegentingan memaksa" seperti diatur dalam Pasal 22 ayat (1) UUD 1945
sebagai landasan konstitusional hak subyektif Presiden menerbitkan Perppu.
Secara konstitusional, Perppu diakui sebagai salah satu bentuk peraturan
perundang-undangan.
Dalam hal ini, Pasal 22 UUD
1945 memberikan pengaturan mendasar, yaitu: pertama, hak Presiden menerbitkan
Perppu hanya dimungkinkan karena alasan "dalam hal ihwal kegentingan yang
memaksa"; kedua, setelah dikeluar-kan, Perppu harus mendapat persetujuan DPR dalam
persidangan yang berikut dan ketiga, jika dalam masa persidangan berikutnya tidak mendapat
persetujuan DPR, maka Perppu itu harus dicabut. Sesuai dengan ketentuan itu,
Perppu merupakan hak darurat (nood verordeningsreht) Presiden untuk menerbitkan
produk hukum dengan nama peraturan pemerintah, namun dengan substansi
Undang-Undang.
Dari sejarah hukum, terbukanya ruang Presiden
menerbitkan Perppu adalah untuk menjamin keselamatan negara dalam keadaan
genting memaksa, yang memungkinkan Presiden bertindak cepat. Karenanya, alasan
menerbitkan Perppu berada dalam wilayah subyektif Presiden. Secara sederhana,
Perppu adaiah emergency power yang dimiliki Presiden. Setelah diterbitkan Presiden,
hak subyektif tersebut dinilai oleh DPR. Melihat situasi paska penangkapan Akil
Mochtar, Ahli termasuk salah seorang yang menyoal keterpenuhan persyaratan
penerbitan Perppu tersebut. Ahli percaya, secara akademik tidak mungkin
menghentikan perdebatan tersebut, termasuk perdebatan di sekitar penerbitan
Perppu yang pernah ada.
Namun demikian, terkait dengan
Perppu Nomor 1/2013, secara faktual DPR telah menyetujuinya menjadi
Undang-Undang. Artinya, perdebatan menyangkut keterpenuhan syarat hal ihwal
kegentingan yang memaksa tidak begitu relevan dipersoalkan dengan cara
mengajukan permohonan ke Mahkamah Konstitusi. Karena itu, Mahkamah tak relevan
menjawab permohonan yang terkait dengan syarat subyektif tersebut. Kalau pun
harus bertahan dengan pengujian formal, misalnya, yang paling mungkin
dipersoalkan: keterpenuhan syarat pembahasan Perppu menjadi Undang-Undang.
Salah satunya, apakah pembahasan dilakukan sesuai dengan persyaratan formal
yang diatur internal oleh DPR. Di antara soal yang terkait dengan syarat
formal, pemenuhan kuorum saat persetujuan Perppu menjadi Undang-Undang.
Sementara itu, terkait dengan
substansial yang dipersoalkan Pemohon. Pertama, masalah "Panel Ahli"
dan syarat yang harus dipenuhi untuk menjadi panel ahli. Terkait dengan Panel
Ahli, substansi dalam UU 4/2014 ini dapat dikatakan sebagai sebuah terobosan
dalam proses pengisian Hakim Konstitusi. Karena itu, pembentukan Panel Ahli
Tidak dapat dimaknai sebagai bentuk upaya menambah kewenangan Komisi Yudisial
(KY). Merujuk substansi dalam UU 4/2014, KY hanya "sebatas" memiiih
sebagian calon panel ahli. Lalu, Panel Ahli yang akan melakukan segala macam
proses dalam menentukan calon Hakim Konstitusi. Dalam berbagai perspektif,
desain yang dibuat UU 4/2014, adalah upaya untuk menjadikan proses pengisian
calon Hakim Konstitusi lebih terbuka dan demokratis.
Dalam batas penalaran yang wajar, pembentukan Panel
Ahli tidak hanya membuat proses pengisian calon Hakim Konstitusi menjadi lebih
terbuka dan demokratis, tetapi juga untuk mengurangi segala macam kepentingan
yang ada di lembaga-lembaga yang diberikan wewenang untuk mengusulkan calon
Hakim Konstitusi. Karena itu, Panel Ahli dapat dikatakan sebagai
"institusi" netral yang didesain dalam pengisian calon Hakim
Konstitusi. Dengan pembentukan Panel Ahli, masyarakat memiliki kesempatan
berpartisipasi dalam proses pengisian calon Hakim Konstitusi.
Berkenaan dengan syarat yang harus dipenuhi bagi panel
ahli, Undang-Undang 4/2014 menentukan persyaratan minimal pendidikan. Karena
batas yang ditentukan adalah minimal, semua lembaga yang diberi wewenang untuk
mengusulkan Panel Ahli dapat mencari calon dengan syarat pendidikan yang lebih
tinggi (misalnya Doktor, atau Profesor Doktor). Menurut pendapat Ahli, syarat
batas pendidikan minimal S2 bukanlah persoalan konstitusional sehingga tidak
layak dipersoalkan melalui pengujian (judicial review) ke Mahkamah Konstitusi.
Begitu pula dengan pemikiran yang
menghendaki agar calon Panel Ahli juga dipersyaratkan sebagai seorang
negarawan. Selain hal ini bukan persoalan konstitusionalitas, pemikiran
menambahkan syarat negarawan bagi panel ahii potensial menggerus "syarat
istimewa" bagi calon hakim kontitusi sebagaimana diatur dalam Pasal 24C
ayat (5) UUD 1945. Bahkan, apabila dibaca UUD 1945, syarat negarawan hanya
diperlukan bagi Hakim Konstitusi. Syarat tersebutlah yang menunjukkan
keistimewaan seorang Hakim Konstitusi. Pertanyaannya; apa sebetulnya yang menjadi
dasar pemikiran sehingga Panel Ahli harus memiliki persyaratan negarawan?
Karena ini bukan persoalan konstitusional, keinginan menambahkan syarat
negarawan dapat saja dikatakan sebagai bentuk resistensi atas kehadiran Panel
Ahli dalam perekrutan calon Hakim Konstitusi.
Sementara itu, terkait dengan pembentukan Majelis
Kehormatan Hakim Konstitusi (MKHK) yang dibuat secara permanen yang
sekretariatnya di Komisi Yudisial, pembentukan ini sama sekaii tidak
bertentangan dengan UUD 1945. Dikatakan demikian, MKHK sama sekali tidak
dimaksudkan menghidupkan lagi pengawasan KY terhadap Hakim Konstitusi.
Kehadiran MKHK secara permanen yang
bersekretariat di KY
adalah sebuah
keniscayaan perlu pengawasan
yang bersifat permanen terhadap hakim MK. Sebagai sebuah institusi yang
memiliki wewenang kuat dan strategis, tidak logis bila tidak memiliki lembaga
pengawas permanen. Tanpa pengawas, sangat mungkin Hakim MK terjebak dalam perilaku
power
tends to corrupt, absolute power corrupt absolutely. Ahli percaya, pilihan
membentuk MKHK permanen dengan sekretariat di KY akan menjadi strategi paling
efektif untuk mempertahankan MK sebagai sebuah lembaga terhormat.
[2.6] Menimbang bahwa terhadap permohonan para Pemohon,
Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) menyampaikan keterangan
tertulis yang diterima Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 10 Februari 2014,
yang pada pokoknya menyatakan sebagai berikut:
A. POKOK PERMOHONAN
PENGUJIAN UU PENETAPAN PERPU NOMOR 1 TAHUN 2013 TERHADAP UUD 1945
Para Pemohon dalam
permohonannya mengajukan pengujian Formil dan materiil atas UU Penetapan Perppu
Nomor 1 Tahun 2013, sebagai berikut: I. Perkara Nomor 1/PUU-XII/2014
Dalam Perkara Nomor 1/PUU-XII/2014, para Pemohon
berpendapat bahwa prosedur penetapan Perpu Nomor 1 Tahun 2013 menjadi
Undang-Undang telah cacat hukum baik dari segi prosedur (formil) maupun
materiil yang pada pokoknya sebagai berikut:
a. Alasan Formil, para Pemohon pada pokoknya
berpendapat:
1. Tidak ada unsur kegentingan
yang memaksa sebagaimana telah dimaknai dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
138/PUU-VIII/2009 yang menentukan 3 syarat agar suatu keadaan memaksa yaitu:
a. kebutuhan mendesak untuk
menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan Undang-Undang;
b. Undang-Undang yang dibutuhkan
tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, atau ada Undang-Undang
tetapi tidak memadai;
c. kekosongan hukum tersebut
tidak dapat diatasi dengan cara membuat Undang-Undang secara prosedur biasa
karena akan memakai waktu yang cukup lama, sedangkan keadaan yang mendesak
tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan.
2. Perpu hanya dapat dibuat pemerintah bila Dewan Perwakilan Rakyat
sedang dalam reses, tetapi faktanya pemerintah tetap mengeluarkan Perpu
sekalipun DPR tidak dalam keadaan reses. b. Alasan
Materiil, para Pemohon
dalam permohonannya tidak
menyebutkan secara spesifik pasal mana yang dianggap bertentangan dengan
konstitusi, akan tetapi pada pokoknya berpendapat bahwa Perpu Nomor 1 Tahun
2013 bertentangan dengan UUD 1945 yang menyangkut 3 (tiga) hal utama yaitu:
1. Penambahan persyaratan untuk
menjadi Hakim konstitusi yaitu tidak menjadi anggota partai politik dalam
jangka waktu paling singkat 7 (tujuh) tahun sebelum diajukan sebagai calon
Hakim Konstitusi;
2. Mekanisme proses seleksi dan
pengajuan Hakim Konstitusi yang terlebih dahulu dilakukan fit and proper test yang dilaksanakan oleh Panel
Ahli yang dibentuk oleh Komisi Yudisial. Para Pemohon beranggapan ketentuan
tersebut telah memperbesar kewenangan Komisi Yudisial dengan turut serta
menyeleksi Hakim Konstitusi.
3. Sistem pengawasan yang
dilakukan oleh Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi (MKHK) yang sifatnya
permanen yang dibentuk bersama oleh Komisi Yudisial dan Mahkamah Konstitusi.
II. Perkara Nomor
2/PUU-XII/2014
Dalam Perkara Nomor 2/PUU-XII/2014, para Pemohon
mengajukan pengujian Pasal 18A ayat (1), Pasal 18B, Pasal 18C ayat (3) dan
Pasal 27A ayat (1) dan ayat (4) Perpu Nomor 1 Tahun 2013 yang berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 18A ayat (1):
"Hakim konstitusi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 18 ayat (1) sebelum ditetapkan Presiden, terlebih dahulu harus melalui
uji kelayakan dan kepatutan yang dilaksanakan oleh Panel Ahli" Pasal 18B:
"Panel Ahli menyelesaikan tugasnya dalam jangka
waktu paling lama 3 (tiga) bulan setelah dibentuk oleh Komisi Yudisial" Pasal 18C ayat (3) :
Panel Ahli harus memenuhi syarat sebagai berikut:
a.
memiliki reputasi dan rekam jejak yang tidak tercela;
b.
memiliki kredibilitas dan integritas;
c.
menguasai ilmu hukum dan memahami Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
d. berpendidikan paling rendah
magister;
e. berusia paling rendah 50 (lima
puluh) tahun; dan
f.
tidak menjadi anggota partai politik dalam jangka
waktu paling singkat 5 (lima) tahun sebelum Panel Ahli dibentuk.
Pasal 27A ayat (1) dan ayat
(4):
(1) Mahkamah Konstitusi bersama-sama dengan Komisi
Yudisial menyusun dan menetapkan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim
Konstitusi yang berisi norma yang harus dipatuhi oleh setiap hakim konstitusi
dalam menjalankan tugasnya untuk menjaga kehormatan dan perilaku hakim
konstitusi.
(4) Untuk menegakkan Kode Etik
dan Pedoman Perilaku Hakim Konstitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Mahkamah Konstitusi bersama-sama dengan Komisi Yudisial membentuk Majelis
Kehormatan Hakim Konstitusi yang bersifat tetap.
B. HAK DAN/ATAU KEWENANGAN
KONSTITUSIONAL YANG DIANGGAP
PARA PEMOHON
TELAH DIRUGIKAN DENGAN
BERLAKU UU
PENETAPAN PERPU NOMOR 1 TAHUN
2013
Para Pemohon dalam
permohonannya, mengemukakan bahwa hak konstitusionalnya telah dirugikan atau
setidaknya potensial dirugikan oleh berlakunya UU Penetapan Perpu Nomor 1 Tahun
2013, yang pada pokoknya sebagai berikut:
I.
Perkara Nomor 1/PUU-XII/2014
Para Pemohon mengalami ketidakpastian hukum sebagai
seorang warga negara sehingga terlanggar hak-haknya untuk mendapatkan kepastian
hukum sebagaimana dijamin dalam Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD
1945.
II.
Perkara Nomor 2/PUU-XII/2014
Para Pemohon merasa dirugikan secara konstitusional
atau pasti mengalami potensi kerugian karena hak-hak konstitusional para
Pemohon untuk mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak
mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan seterusnya
sebagaimana diatur dalam Pasal 28C ayat (1) UUD 1945 serta mendapat pengakuan,
jaminan perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta mendapat perlakuan
yang sama didepan hukum sebagaimana dijamin dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945
dengan keberadaan Panel Ahli yang berfungsi untuk melakukan uji kelayakan dan
kepatutan terhadap calon Hakim Konstitusi yang dibentuk oleh Komisi Yudisial
serta persyaratan untuk menjadi
anggota Panel Ahli khususnya persyaratan berusia
paling rendah 50 tahun serta persyaratan berpendidikan paling rendah megister.
C. KETERANGAN DPR RI
I.
Kedudukan Hukum {Legal Standing)
Mengenai kedudukan hukum (legal standing) para Pemohon a quo, DPR berpandangan bahwa para
Pemohon harus dapat membuktikan terlebih dahulu apakah benar para Pemohon
sebagai pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya
dirugikan atas berlakunya ketentuan yang dimohonkan untuk diuji, khususnya
dalam mengkonstruksikan adanya kerugian terhadap hak dan/atau kewenangan
konstitusionalnya sebagai dampak dari diberlakukannya ketentuan yang dimohonkan
untuk diuji.
Terhadap kedudukan hukum (legal standing) para Pemohon, DPR menyerahkan
sepenuhnya kepada Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang mulya untuk
mempertimbangkan dan menilai apakah Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) atau tidak sebagaimana yang
diatur oleh Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi dan
berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-III/2005 dan Nomor
011/PUU-V/2007.
II. Pengujian UU Penetapan Perpu
Nomor 1 Tahun 2013
Terhadap pandangan-pandangan
para Pemohon baik dalam Permohonan Perkara Nomor 1/PUU-XII/2014 dan Nomor 2/PUU-XII/2014,
DPR memberikan keterangan
sebagai berikut:
A. Pengujian Formil
1. Bahwa prinsip Pengujian
Formil Undang-Undang berdasarkan ketentuan Pasal 51 ayat (3) UU Nomor 24 Tahun
2003 tentang Mahkamah Konstitusi adalah pengujian formal menyangkut permohonan
bahwa "pembentukan Undang-Undang tidak memenuhi ketentuan berdasarkan UUD
1945". Dengan demikian pengujian secara formil adalah menguji, apakah
norma tentang pembentukan (penyusunan) Undang-Undang sudah sesuai dengan norma
yang oleh konstitusi dikehendaki untuk diikuti.
2. Bahwa
secara eksplisit prosedur formal Penetapan Perpu menjadi
undang-undang telah diatur secara tegas dalam ketentuan
Pasal 22 UUD 1945 yang berbunyi sebagai berkut:
undang-undang telah diatur secara tegas dalam ketentuan
Pasal 22 UUD 1945 yang berbunyi sebagai berkut:
(1) Dalam hal ihwal kegentingan
yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah pengganti
undang-undang
(2)
Peraturan pemerintah itu harus mendapat persetujuan
Dewan Per wakilan Rakyat dalam persidangan yang berikut.
(3)
Jika tidak mendapat persetujuan, maka peraturan
pemerintah itu harus dicabut.
3. Bahwa syarat hal ihwal
kegentingan yang memaksa sebagai syarat formal bagi Presiden untuk dapat
menetapkan Perpu Nomor 1 Tahun 2013 secara eksplisit dijelaskan dalam
konsideran menimbang huruf b dan Pejelasan Umum UU Penetapan Perpu Nomor 1
Tahun 2013 yang pada pokoknya sebagai berikut:
"Pada saat ini kewibawaan
dan kepercayaan masyarakat terhadap hakim konstitusi menurun, padahal hakim
konstitusi mengemban amanah sangat penting untuk menjaga tegaknya demokrasi dan
pilar negara hukum, sehingga perlu dilakukan upaya penyelamatan terhadap hakim
konstitusi secara cepat, khususnya menjelang pelaksanaan pemilihan umum 2014
yang sangat strategis bagi keberlanjutan kehidupan demokrasi di tanah air. Jika
ketidakpercayaan masyarakat terhadap hakim konstitusi tidak segera dipulihkan
akan berimplikasi terhadap legitimasi hasil pemilihan umum 2014 yang
sengketanya merupakan kewenangan hakim konstitusi untuk mengadili."
"Mengingat pelaksanaan
pemilihan umum 2014 sudah sangat dekat, diperlukan langkah-langkah cepat dan
mendesak untuk memulihkan kewibawaan dan kepercayaan masyarakat terhadap hakim
konstitusi dengan melakukan perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi terutama mengenai syarat dan tata cara seleksi,
pemilihan, dan pengajuan calon hakim konstitusi serta pembentukan Majelis
Kehormatan Hakim Konstitusi melalui Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi"
4. Bahwa syarat formal
selanjutnya adalah Perpu a quo harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
Dalam proses pembahasan Perpu a quo terjadi dinamika perdebatan dalam berbagai hal,
khususnya mengenai hal ihwal kegentingan yang memaksa, namun pada akhirnya
melalui mekanisme voting dalam Rapat Paripurna tanggal 19 Desember 2013, DPR
telah menyetujui Perpu a quo untuk
ditetapkan menjadi
Undang-Undang. Dari hasil voting tersebut, sebanyak 221 suara mendukung
berlakunya Perppu a quo. Suara ini berasal dari 129 suara dari Fraksi Partai Demokrat, 26 suara
Golkar, 28 suara PAN, 20 suara PPP, dan PKB sebanyak 18 suara. Sedangkan yang
menolak sebanyak 148 suara, masing-masing dari Fraksi PDIP sebanyak 79 suara,
PKS 41 suara, PPP ada 3 suara, dari Gerindra 16 suara, dan dari Fraksi Hanura 9
suara. 5. Bahwa berdasarkan uraian di atas, DPR berpendapat secara formal
penetapan Perpu Nomor 1 Tahun 2013 menjadi UU telah sesuai dengan ketentuan
Pasal 22 UUD 1945 B. Pengujian Materiil
1. Bahwa ketentuan Pasal 24 ayat
(2) UUD 1945 menegaskan "kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan
kekuasaan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan
umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan
peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi"
2.
Bahwa berdasarkan Pasal 24 ayat (2) UUD 1945, maka
Mahkamah Konstitusi adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman yang
berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 mempunyai kewenangan mengadili pada
tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji
Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga
negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus
pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan
umum.
3.
Bahwa ketentuan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 secara tegas
menyatakan "kedaulatan
berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar". Salah satu bentuk pelaksanaan
kedaulatan rakyat dalam bidang kekuasaan kehakiman, Khususnya dalam hal penetapan
Hakim Konstitusi telah diatur secara tegas dalam ketentuan Pasal 24C ayat (3)
dan ayat (5) UUD 1945 yang berbunyi sebagai berikut:
(3)
Mahkamah Konstitusi mempunyai sembilan orang anggota hakim konstitusi yang
ditetapkan oleh Presiden, yang diajukan masing
masing
tiga orang oleh Mahkamah Agung, tiga orang oleh Dewan Perwakilan Rakyat, dan
tiga orang oleh Presiden. (5) Hakim konstitusi harus memiliki integritas dan
kepribadian yang tidak tercela, adil, negarawan yang menguasai konstitusi dan
ketatanegaraan, serta tidak merangkap sebagai pejabat negara.
4. Bahwa menurut pendapat DPR,
ketentuan Pasal 24C ayat (3) UUD 1945 telah mengatur secara tegas mengenai
penetapan hakim konstitusi yang secara limitatif menentukan baik dari sisi
jumlah Hakim Konstitusi yang diajukan maupun lembaga negara yang berhak untuk
mengajukan Hakim Konstitusi yaitu Mahkamah Agung (MA), Dewan Perwakilan Rakyat
(DPR) dan Presiden yang masing-masing mengajukan 3 (tiga) orang Hakim
Konstitusi untuk ditetapkan oleh Presiden.
Dalam risalah rapat pembahasan perubahan UUD 1945
khususnya pada awal-awal rapat pembahasan PAH I BP MPR masa sidang tahun 2000
perihal Hakim MK, hampir semua fraksi PAH I MPR RI sependapat dengan jumlah
Hakim Konstitusi sebanyak 9 orang, Sedangkan mengenai lembaga negara yang
berwenang mengajukan hakim pada umumnya juga terdapat pendapat bahwa anggota
Mahkamah Konstitusi diatur secara tegas yang menunjukan perimbangan kekuasaan
yaitu legislatif, eksekutif dan yudikatif, setiap kekuasaan terwakili dalam
keanggotaan Mahkamah Konstitusi dengan jumlah yang sama yaitu 3 (tiga) orang. (dikutip dari buku naskah
komprehensif perubahan UUD 1945, buku IV tentang kekuasaan kehakiman)
5. Bahwa setiap lembaga negara
(MA, DPR, dan Presiden) yang memiliki wewenang konstitusional mengajukan hakim
konstitusi sebagaimana diamatkan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, harus memiliki
mekanisme internal yang berfungsi menyeleksi calon hakim Mahkamah Konstitusi.
Dalam proses seleksi yang dilakukan oleh masing-masing lembaga negara tersebut
mekanisme kerjanya harus transparan, partisipatif, dan akuntabel.
6. Bahwa Pasal 24C ayat (3) UUD
1945 hanya mengatur hal-hal yang bersifat umum, pasal a quo tidak mengatur hal-hal yang
bersifat lebih tekhnis mengenai mekanisme bagaimana masing-masing lembaga
negara (MA, DPR, dan
Presiden) melakukan proses seleksi,
pemilihan dan kemudian
menentukan 3 (tiga) orang hakim konstitusi untuk diajukan kepada
dan ditetapkan oleh Presiden. Oleh karenanya Pasal 24C ayat (6) UUD 1945 telah
mengamanatkan untuk mengaturnya dengan Undang-Undang. Adapun bunyi Pasal 24C
ayat (6) UUD 1945 adalah sebagai berikut: "Pengangkatan dan
pemberhentian hakim konstitusi, hukum acara serta ketentuan lainnya tentang
Mahkamah Konstitusi diatur dengan Undang-Undang".
7.
Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 24C ayat (6) UUD
1945, maka DPR bersama dengan Pemerintah telah membentuk UU Nomor 24 Tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir
dengan UU Nomor 4 Tahun 2014 tentang Penetapan Perpu Nomor 1 Tahun 2013 tentang
Perubahan Kedua Atas UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang
didalamnya antara lain mengatur mekanisme pengangkatan Hakim Konstitusi yaitu
sebagaimana tercantum dalam Pasal 18, Pasal 18A, Pasal 18B, Pasal 18C, Pasal 19
dan Pasal 20 UU Mahkamah Konstitusi.
8.
Bahwa terkait dengan permohonan para Pemohon yang pada
pokoknya mempersoalkan konstitusionalitas mekanisme rekruitmen hakim konstitusi
melalui uji kelayakan dan kepatutan oleh Panel Ahli yang dibentuk oleh Komisi
Yudisial serta persyaratan untuk menjadi anggota Panel Ahli sebagaimana diatur
dalam ketentuan Pasal 18A ayat (1), Pasal 18B, Pasal 18C ayat (3) UU Penetapan
Perpu Nomor 1 Tahun 2013, menurut pandangan DPR pasal-pasal a quo merupakan legal policy pembentuk Undang-Undang dalam
rangka melaksanakan amanat Pasal 24C ayat (6) UUD 1945 dan untuk menghasilkan
hakim-hakim konstitusi yang memiliki integritas dan kepribadian yang tidak
tercela, adil, negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan, serta
tidak merangkap sebagai pejabat negara sebagaimana diamanatkan Pasal 24C ayat
(5) UUD
1945.
9.
Bahwa terkait dengan permohonan pengujian Pasal 27A
ayat (4) UU Penetapan Perpu Nomor 1
Tahun 2013, DPR berpandangan
ketentuan pembentukan Majelis
Kehormatan Hakim Konstitusi (MKHK) sebagaimana diatur dalam Pasal 27A ayat
(4) UU a quo adalah bertujuan untuk
menegakan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim Konstitusi yang berisi norma
yang harus dipatuhi oleh setiap Hakim Konstitusi dalam menjalankan tugasnya
untuk menjaga kehormatan dan perilaku Hakim Konstitusi. Hal tersebut telah
sejalan dengan amanah Konstitusi Pasal 24C ayat (5) yang mengharuskan Hakim konstitusi memiliki
integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, negarawan yang menguasai
konstitusi dan ketatanegaraan, serta tidak merangkap sebagai pejabat negara.
[2.7] Menimbang bahwa terhadap
permohonan para Pemohon I dan para
Pemohon II, Mahkamah meminta
keterangan Komisi Yudisial dan Kepaniteraan Mahkamah menerima keterangan
tertulis dari Komisi Yudisial pada tanggal 7 Februari 2014, yang pada pokoknya
menyatakan sebagai berikut: I. Tentang
Posisi Hukum Komisi Yudisial
1.1.
Bahwa posisi hukum Komisi Yudisial dalam persoalan
pengujian materi muatan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang
Perubahan Kedua Atas Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi Menjadi Undang-Undang adalah sebagai pelaksana dan bukan sebagai
lembaga yang memiliki kewenangan (formal dan material) dalam pembentukan
Undang-Undang ataupun pembentukan Perpu.
1.2.
Komisi Yudisial bukan pihak yang terkait dengan
permohonan Pemohon atau tidak relevan dijadikan pihak dalam persoalan ini,
sebagaimana telah dijelaskan dalam Pasal 51 ayat (3) Undang-Undang Mahkamah
Konstitusi bahwa yang wajib diuraikan dengan jelas oleh Pemohon adalah tentang:
a. Pembentukan Undang-Undang
tidak memenuhi ketentuan berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 dan/atau;
b. Materi muatan dalam ayat,
pasal, dan/atau bagian Undang-Undang dianggap bertentangan dengan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945;
1.3.
Dengan demikian "pihak yang terkait dengan
Pemohon uji materiil ini adalah Pemerintah/Presiden (pembentuk Perpu) dan DPR
sebagai lembaga yang memiliki kewenangan legislasi membetuk Undang-Undang
(formal ataupun materiil) sebagaimana tertuang dalam Pasal 20 dan Pasal 22
Undang-Undang Dasar 1945.
1.4.
Pelibatan Komisi Yudisial sebagai pihak menjadi tidak
relevan karena Komisi Yudisial tidak memiliki fungsi legislasi sebagaimana
dijelaskan di atas, tetapi sebagai pengemban amanat Undang-Undang Nomor 4 Tahun
2014 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi Menjadi Undang-Undang.
II. Tentang Asas Hukum
2.1.
Mencermati persoalan yang diajukan Pemohon, penting
bagi Mahkamah Konstitusi untuk menengok kembali asas hukum di dalam hukum
acara, "seseorang
tidak dapat menjadi hakim bagi dirinya sendiri" (nemo judex idoneus in
propria causa)", atau juga sering di sebut dengan asas (dalam bahasa
latin) Nemo
iudex in causa sua (or nemo iudex in sua causa) adalah no-one should be a judge in
their own cause. It is a principle of natural justice that no person can
judge a case in which they have an interest. The rule is very strictly applied
to any appearance of a possible bias, even if there is actually none:
"Justice must not only be done, but must be seen to be done"
2.2.
Dalam penegakan hukum modern, kontrol terhadap lembaga
penyelenggara kekuasaan kehakiman bukan merupakan hal yang mustahil, hal ini
untuk menjaga imparsialitas hakim dan kepercayaan publik. Sebagai
yurisprudensi, Pengadilan Tingkat Banding HAM Eropa membatalkan putusan The Royal Court (Pengadilan Tingkat Pertama)
dengan menyatakan hakim The Royal Court tidak imparsial, karena memutus menolak perkara
Pemohon yang berakibat pelemahan kepentingan hakim.
2.3.
Terkait dengan permohonan Uji Materil Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 2014 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-
Undang Nomor 24 Tahun
2003
tentang Mahkamah Konstitusi Menjadi Undang-Undang, telah menempatkan Mahkamah
Konstitusi, sebagai "hakim bagi dirinya sendiri". Menurut Saldi Isra,
(http://www.saldiisra.web.id/)
secara
universal, asas hanya bisa disimpangi kalau dinyatakan secara tertulis, di luar
itu penyimpangan tidak diperbolehkan. Dengan demikian Mahkamah Konstitusi tidak dapat
menyimpanginya, karena hal itu dapat menimbulkan bias dan menggerus nilai-nilai
objektivitas, netralitas dan imparsialitas yang seharusnya dijunjung oleh
Mahkamah Konstitusi.
2.4.
Selama ini Mahkamah Konstitusi menggunakan argumen
dalam Putusan Nomor 005/PUU-IV/2006 bahwa berperkara di MK tidak sama
berperkara di pengadilan biasa, sehingga asas itu tidak dapat diberlakukan di
lingkungan peradilan Mahkamah Konstitusi. Pandangan ini keliru dan tidak dapat
dijadikan argumentasi untuk mengabaikan prinsip/asas nemo judex idoneus in propria
causa. Dengan
kata lain argumentasi itu tidak beralasan atau bahkan grundloss (tanpa dasar) dan tidak
didasarkan pada fondasi yang kokoh, yaitu tidak memiliki landasan filosofis
yang memadai. Karena selama ini phrase "berperkara di MK tidak sama berperkara di
pengadilan biasa" tidak dapat dijelaskan secara memadai. Bahkan sejatinya
Mahkamah Konstitusi sebagai pengadilan tata negara yang memiliki fungsi
memeriksa, mengadili dan memutus perkara pada hakekatnya sama dengan fungsi
pengadilan lain.
2.5.
Penyimpangan terhadap asas ini juga bertentangan
dengan prinsip atau asas kepatutan dan etika moral, sebagaimana dijelaskan oleh
pakar hukum Satya Arinanto, "Tidak etis apabila Mahkamah Konstitusi memutus,
memeriksa apalagi mengabulkan pengujian UU Nomor 4 Tahun 2014. (Kompas, Rabu- 5 Februari
2014, hlm 15).
2.6.
Hakim Mahkamah Konstitusi dalam menghadapi persoalan
ini hendaknya memperhatikan prinsip keadilan dan kebijaksanaan, sebagaimana
tertuang Pasal 15 UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang sifat adil dan sifat negarawan
yang harus dimiliki hakim yaitu sikap yang penuh kearifan dan kebijaksanaan,
visioner dan berjiwa besar. Setelah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
005/PUU-IV/2006, dalam persoalan ini sikap adil dan sikap negarawan Hakim
Mahkamah Konstitusi akan kembali diuji.
2.7. Berdasarkan hal itu maka seluruh dasar
argumentasi Pemohon menjadi tidak relevan dan tidak logis atau tidak memiliki
landasan hukum yang kuat, oleh karena itu sudah sepatutnya Mahkamah Konstitusi
"tidak menerima" permohonan Pemohon yaitu tidak melanjutkan kepada
pemeriksaan substansi atau menolak seluruh permohonan Pemohon tersebut.
III. Tentang makna kerugian
dengan Potensi Kerugian.
3.1.
Bahwa Pemohon, telah mempersoalkan tentang phrase "potensi kerugian yang
dapat muncul dari beberapa materi muatan" Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014
tentang penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun
2013 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi Menjadi Undang-Undang.
3.2.
Pemohon tidak dapat membedakan atau dapat dikatakan
mengalami kekeliruan bernalar ketika menyamakan makna "kerugian"
dengan "potensi yang dapat menimbulkan kerugian", dan "persepsi
tentang kerugian yang dapat muncul", seolah-olah seluruhnya memiliki makna
yang sama.
3.3.
Pemohon menyatakan bahwa kualifikasi akademik minimal
Magister dari Panel Ahli dianggap dapat menimbukan kerugian atau potensi
kerugian, dengan alasan bahwa "tidak layak seorang Magister (S2) menguji
seorang Doktor (S3)". Pemohon menyamakan begitu saja proses pengujian yang
dilakukan oleh Tim Panel Ahli terhadap calon hakim dengan pengujian program
pendidikan tinggi, yaitu dosen terhadap mahasiswanya. Argumentasi Pemohon
memperlihatkan kerancuan berpikir yaitu menyamakan model seleksi untuk
"keahlian professional" dalam "seleksi hakim" dengan model
ujian di pendidikan tinggi yang lebih berorientasi akademik keilmuan.
3.4.
Bahwa aspek keilmuan sangat penting dalam uji
kelayakan dan kepatutan untuk professional seperti hakim hal itu tidak dapat
dipungkiri, namun mengatakan bahwa ujian di perguruan tinggi bagi mahasiswa
sama dengan ujian kelayakan untuk seleksi professional calon hakim jelas
merupakan kekeliruan. Di perguruan tinggi/pendidikan tinggi penguji disyaratkan
untuk memiliki jenjang pendidikan dengan level tertentu serta
linieritas. Namun tidak
demikian di bidang "professional" seperti hakim. Ukuran tidak semata
mata didasarkan kepada jenjang pendidikan, tetapi juga kompetensi lainnya
seperti pengalaman dan juga kebijaksanaan. Seorang pensiunan hakim senior yang
memiliki integritas tinggi, sekalipun tidak memiliki pendidikan setingkat
Doktor secara formal akan menjadi sangat kompeten untuk menguji kelayakan calon
hakim sekaliber bergelar Doktor atau Professor sekalipun. Seorang Magister (S2)
bidang filsafat dan etika akan sangat kompeten di bidangnya dan menjadi layak
untuk menguji seorang calon hakim bergelar S3 yang hanya memahami bidang ilmu
hukum.
3.5. Bahwa apa yang dimaksud dengan
"kerugian" atau "potensi kerugian", harus dipahami sebagai
sesuatu yang "memiliki kemampuan atau daya sehingga dapat menimbulkan
sesuatu" yaitu dapat menimbulkan kerugian. Hal itu berarti terdapat
kausalitas yang erat antara satu perbuatan/tindakan yang akan dilakukandengan
kerugian yang dapat timbul, sekalipun bersifat potensi. Ada ukuran yang jelas
dan bukan sesuatu yang hanya diduga-duga (persepsi tentang kerugian) dan juga
bukan kemungkinan. Pemohon hanya menggunakan persepsinya untuk menilai
seolah-olah (mungkin) hal itu menimbulkan kerugian, tetapi tidak dapat
menunjukan secara akurat tentang aspek "dapat" menimbulkan
"kerugian" dan/atau potensi kerugian", yaitu menyajikan relasi
kausalitas antara perbuatan/tindakan yang akan dilakukan dengan kerugian yang
dapat muncul dari perbuatan atau tindakan itu.
3.6. Pemohon juga mempersoalkan
tentang batasan usia 50 tahun bagi calon Panel Ahli
yang dianggapnya sebagai "tindakan diskriminasi" dengan argumentasi
bahwa untuk mengukur seseorang bijaksana tidak berhubungan dengan usia 40 tahun
atau dengan usia 50 tahun. Cara bernalar demikian sama saja dengan mengatakan
bahwa anak usia 5 tahun sama dengan anak usia 15 tahun, dilihat dari tingkat
kematangan dan kedewasaannya? Pemohon nampaknya tidak memperhatikan aspek
psikologi perkembangan bahwa kematangan itu berkembang sejalan dengan usia
seseorang. Bahwa ada orang berusia lebih muda dan lebih matang, jelas sebuah
pengecualian bukan sesuatu yang bisa dianggap kelaziman, atau sesuatu hal yang
biasa.
3.7. Batasan usia beriringan
dengan tingkat kematangan, dan batasan usia 50 tahun dimaksudkan untuk
membangun kebijaksanaan, visi yang jelas serta kematangan dalam bertindak dan
berfikir, sehingga diharapkan proses seleksi dapat berlangsung dengan standart
yang lebih terukur dan komprehensif.
IV. Tentang Komisi Yudisial sebagai lembaga Auxilary organ of State/
Auxilary Body
4.1.
Pemohon menyatakan bahwa Komisi Yudisial adalah
sebagai lembaga atau organ penunjang yang memiliki fungsi utamanya adalah Buffer/ penghubung dan juga
monitoring. Pendapat ini di dasarkan pada argumen Pemohon dengan melihat Komisi
Yudisial ketika baru pertama kali dibentuk. Pemohon nampaknya menggunakan
pandangan atau pendapat yang tidak tepat, yaitu pandangan lama yang kemudian
digunakan untuk memotret realitas Komisi Yudisial saat ini. Kemudian Pemohon
berpendapat bahwa dalam posisinya yang demikian itu, Komisi Yudisial tidak
layak untuk mengawasi Mahkamah Konstitusi?
4.2.
Pandangan atau pendapat lama itu dipastikan bukan
merupakan pandangan yang kompeten, atau dengan kata lain pandangan itu tidak
dapat digunakan untuk memotret kondisi Komisi Yudisial saat ini, hal itu hanya
sebuah pandangan parsial dan sangat sempit. Apabila melihat tugas, fungsi dan
kewenangan KY terutama dengan lahirnyapembaharuan Undang-Undang Komisi Yudisial
yaitu memberikan kewenangan yang sangat besar khususnya terkait dengan upaya
untuk "menjaga dan menegakan kehormatan, keluhuran dan martabat
hakim" serta kedudukan Komisi Yudisial dalam keprotokolan yang disejajarkan
dengan Presiden, MPR, DPR, DPD, BPK, MA dan MK. Posisi Komisi Yudisial sebagai
Lembaga Negara juga didukung dengan keputusan paripurna DPR yang menyatakan
bahwa dalam menjalankan fungsi-fungsi koordinasi, Komisi Yudisial melakukan
Rapat Konsultasi dengan DPR, bukan Rapat Dengar Pendapat.
4.3.
Prestasi Komisi Yudisial dalam upaya mambangun
kompetensi dan kesejahteraan hakim telah diakui. Kepercayaan masyarakat yang
semakin tinggi, karena setiap tahun laporan masyarakat semakin meningkat serta
upaya penyelesaian yang transparan, dan langkah-langkah strategik
lainnya dengan melakukan
berbagai kerjasama dengan beragam stakeholder yang kompeten. Komisi Yudisial saat ini tidak lagi
dipandang atau ditempatkan hanya sebagai organ pelengkap atau penunjang.
Pemohon nampaknya terlalu terkungkung pada pandangan romantisme. Dengan kata
lain pandangan atau pendapat sempit yang digunakan oleh Pemohon untuk memotret
realitas Komisi Yudisial saat ini tidak cukup, diperlukan pendekatan lain yang
lebih komprehensif, untuk melihat Komisi Yudisial dari berbagai sudut, termasuk
perkembangan mutakhir dan terkini.
V. Tentang syarat hakim harus
memiliki sifat atau jiwa kenegaraan
5.1.
Pemohon berpendapat bahwa Hakim Konstitusi harus
memiliki sifat dan jiwa kenegaraan, yang dipandang oleh Pemohon sebagai syarat
khusus dan ekslusif. Tentang hal tersebut harus diakui dan bukan sesuatu yang
perlu dibantah, namun nampaknya Pemohon keliru memahami aspek sifat kenegaraan
dengan hanya melekatkan seolah-olah sifat itu hanya milik Hakim Konstitusi
saja. Dan perlu diingat bahwa dalam Pasal 15 Undang-Undang Mahkamah Konstitusi
tidak dijelaskan apa sifat negarawan itu dan di dalam penjelasannya dikatakan
"cukup jelas". Tampaknya hal ini juga yang menjadikan pemahaman
Pemohon keliru.
5.2.
Di dalam Dictionary in English language dijelaskan bahwa kenegarawanan
adalah "
is a man who is a respected leader in a given field". Pompidou menyatakan "negarawan adalah
politisi yang menempatkan dirinya dalam pelayanan kepada bangsa". Pendapat lain menyatakan bahwa
negarawan terkait dengan "bertindak dan berjiwa besar, visioner dan
lainnya. Mentalitas negarawan dapat dikelompokkan dalam tiga hal, yaitu: (a) la
harus memiliki sudut pandang tertentu dalam kehidupannya, yakni berupa
pemikiran yang menyeluruh; (b) la harus memiliki sudut pandang tertentu yang
dapat menjamin tercapainya kebahagiaan hakiki dalam realitas kehidupan; (c) la
harus memiliki suatu peradaban tertentu yang mampu mengangkat manusia dalam
keadaan yang luhur bentuk kehidupan yang tertinggi, serta aspek pemikiran yang
tertinggi dipadukan dengan nilai-nilai yang luhur dan ketentraman yang abadi.
Banyak ahli yang menjelaskan bahwa negarawan itu mencakup pemimpin dan yang di
pimpin, artinya
semua hakim dan semua kita
harus memiliki sifat atau dapat memiliki jiwa kenegarawanan.
5.3. Bahwa sifat kenegaraan
sebagaimana dijelaskan Pemohon jelas bukan hanya terkait dengan
"pengetahuan", tetapi juga sikap, perilaku, kebijaksanaan (wisdom), visi, atau kepribadian,
komitmen dan juga pengalaman yaitu lebih peduli pada kepentingan negara dan
bangsa. Dengan kata lain sifat ini dapat dilekatkan pada siapa saja, tidak harus
atau tidak hanya untuk hakim Mahkamah Konstitusi semata, sehingga tidaklah
berdasar untuk mengatakan bahwa Hakim Konstitusi lebih negarawan dari yang
lainnya?
VI. Simpulan
Berdasarkan paparan di atas, maka aspek kerugian atau
potensi kerugian yang dijelaskan oleh Pemohon adalah mengada-ada, atau sikap
berlebihan yang tidak meyakinkan. Oleh karena itu seyogyanya Mahkamah
Konstitusi tidak perlu melanjutkan sampai tahap pemeriksaan substansi, dan
seyogyanya Mahkamah Konstitusi "Tidak Menerima" dan/atau menolak
seluruh permohonan Pemohon.
[2.8] Menimbang bahwa Mahkamah telah menerima kesimpulan
yang
disampaikan oleh para Pemohon l, para Pemohon ll, dan
Presiden yang masing-masing diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 10
Februari 2014, 7 Februari 2014, dan 10 Februari 2014, yang masing-masing pada
pokoknya para pihak tetap pada pendiriannya;
[2.9] Menimbang bahwa untuk mempersingkat uraian dalam
putusan ini,
segala sesuatu yang terjadi di persidangan cukup
ditunjuk dalam berita acara persidangan yang merupakan satu kesatuan yang tidak
terpisahkan dengan putusan ini;
3. PERTIMBANGAN HUKUM
[3.1] Menimbang,
sebelum Mahkamah mempertimbangkan pokok
permohonan lebih lanjut, Mahkamah memandang perlu
untuk menggabungkan dua permohonan yaitu Permohonan Nomor 1/PUU-XII/2014 (para
Pemohon I) dan Permohonan Nomor 2/PUU-XII/2014 (para Pemohon II) dalam satu
putusan,
karena kedua permohonan tersebut diregistrasi pada hari yang sama,
memiliki substansi yang sama, dan dalil-dalil serta pembuktiannya saling
berkaitan;
[3.2] Menimbang bahwa Mahkamah perlu segera memutus perkara a quo
karena terkait dengan agenda ketatanegaraan Tahun 2014,
yaitu, pemilihan umum anggota DPR, DPD, dan DPRD provinsi/kabupaten/kota, serta
pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden yang berpotensi menimbulkan sengketa
hasil pemilihan umum yang menjadi kewenangan Mahkamah untuk menyelesaikannya,
sehingga perlu segera ada kepastian hukum bagi lembaga negara yang berwenang
mengajukan calon hakim konstitusi - dalam hal ini DPR - untuk segera
menjalankan kewenangannya dalam memilih dan menentukan dua orang hakim
konstitusi yang keduanya diajukan oleh DPR. Apabila putusan dalam perkara ini
ditunda, akan menimbulkan ketidakpastian hukum dalam proses pengisian dua Hakim
Konstitusi yang lowong tersebut. Ketidakpastian pengisian dua Hakim Konstitusi
tersebut, akan menghambat Mahkamah dalam menjalankan tugas dan wewenangnya yang
diberikan oleh UUD 1945 terutama dalam penyelesaian sengketa pemilu Tahun 2014.
Bahkan dapat dipastikan dalam waktu dekat, Hakim Konstitusi hanya tersisa tujuh
orang dan apabila salah seorang saja di antaranya berhalangan maka berdasarkan
Pasal 28 ayat (1) UU MK tidak dapat memutus perkara;
[3.3] Menimbang, bahwa maksud dan tujuan permohonan para
Pemohon I
adalah menguji konstitusionalitas Undang-Undang Nomor
4 Tahun 2014 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun
2003 tentang Mahkamah Konstitusi Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 5, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5493, selanjutnya disebut UU 4/2014) terhadap Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945)
khususnya pasal-pasal sebagai berikut:
Pasal 1 ayat (3)
: "Negara Indonesia adalah
negara hukum."
Pasal 28D ayat (1)
: "Setiap orang
berhak atas pengakuan, jaminan,
perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta
perlakuan yang sama di hadapan hukum."
Bahwa maksud dan tujuan permohonan para Pemohon II adalah menguji
konstitusionalitas UU 4/2014, khususnya pasal-pasal sebagai
berikut:
Pasal 18A ayat (1)
Pasal 18B
Pasal 18C
ayat (3)
Pasal 27A
ayat (1)
Pasal 27A ayat (4)
"Hakim konstitusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) sebelum
ditetapkan Presiden, terlebih dahulu harus melalui uji kelayakan dan kepatutan
yang dilaksanakan oleh Panel Ahli."
"Panel Ahli menyelesaikan tugasnya dalam jangka
waktu paling lama 3 (tiga) bulan setelah dibentuk oleh Komisi Yudisial."
"Panel Ahli harus
memenuhi syarat sebagai berikut:
a.
memiliki reputasi dan rekam jejak yang tidak tercela;
b.
memiliki kredibilitas dan integritas;
c. menguasai ilmu hukum dan
memahami Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
d.
berpendidikan paling rendah magister;
e.
berusia paling rendah 50 (lima puluh) tahun; dan
f.
tidak menjadi anggota partai politik dalam jangka
waktu paling singkat 5 (lima) tahun sebelum Panel Ahli dibentuk."
"Mahkamah Konstitusi bersama-sama dengan Komisi
Yudisial menyusun dan menetapkan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim
Konstitusi yang berisi norma yang harus dipatuhi oleh setiap hakim konstitusi
dalam menjalankan tugasnya untuk menjaga kehormatan dan perilaku hakim
konstitusi."
"Untuk menegakkan Kode Etik dan Pedoman Perilaku
Hakim Konstitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Mahkamah Konstitusi
bersama-sama dengan Komisi Yudisial membentuk Majelis Kehormatan Hakim
Konstitusi yang bersifat tetap"
terhadap UUD 1945 khususnya
pasal-pasal sebagai berikut:
Pasal 24B ayat (1)
Pasal 24B ayat (2)
Pasal 24B ayat (3) Pasal 24B ayat (4) Pasal 24C ayat
(3)
Pasal 28C ayat (1)
Pasal 28D ayat (1)
Pasal 28D ayat (3)
"Komisi Yudisial
bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan
hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan
kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim." "Anggota
Komisi Yudisial harus mempunyai pengetahuan dan pengalaman di bidang hukum
serta memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela"
"Anggota Komisi Yudisial diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dengan
persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat." "Susunan, kedudukan, dan
keanggotaan Komisi Yudisial diatur dengan undang-undang"
"Mahkamah Konstitusi mempunyai sembilan orang anggota hakim
konstitusi yang ditetapkan oleh Presiden, yang diajukan masing-masing tiga
orang oleh Mahkamah Agung, tiga orang oleh Dewan Perwakilan Rakyat, dan tiga
orang oleh Presiden."
"Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan
kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu
pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya
dan demi kesejahteraan umat manusia"
"Setiap orang berhak
atas pengakuan, jaminan,
perlindungan, dan kepastian hukum yang
adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum." "Setiap warga
negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan"
[3.4] Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan pokok
permohonan,
Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut Mahkamah)
akan mempertimbangkan terlebih dahulu hal-hal berikut:
a.
kewenangan Mahkamah untuk mengadili permohonan a quo;
b.
kedudukan hukum (legal standing) Pemohon untuk mengajukan
permohonan a
quo;
Terhadap kedua hal tersebut, Mahkamah berpendapat
sebagai berikut: Kewenangan Mahkamah
[3.5] Menimbang bahwa berdasarkan
Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, Pasal
10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana diubah terakhir dengan UU 4/2014, dan
Pasal 29 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076), salah satu kewenangan
konstitusional Mahkamah adalah menguji Undang-Undang terhadap UUD 1945;
[3.6] Menimbang
bahwa para Pemohon
I mengajukan Permohonan
bertanggal 26 Desember 2013 dan dicatat dalam Buku
Registrasi Perkara Konstitusi dengan Nomor 1/PUU-XII/2014 pada tanggal 8
Januari 2014 dan para Pemohon II mengajukan Permohonan bertanggal 28 Desember
2013 dan dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi dengan Nomor
2/PUU-XII/2014 pada tanggal 8 Januari 2014. Pada saat para Pemohon mendaftarkan
permohonannya, para Pemohon belum mencantumkan nomor Undang-Undang yang
dimohonkan pengujiannya. Undang-Undang yang dimohonkan pengujiannya oleh para
Pemohon tersebut adalah Undang-Undang yang berasal dari Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5456, selanjutnya disebut PERPU 1/2013) yang oleh Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) pada tanggal 19 Desember 2013 disetujui untuk menjadi
Undang-Undang. Pada tanggal 15 Januari 2014, PERPU 1/2013 a quo disahkan oleh Presiden menjadi
UU 4/2014;
Bahwa
dalam sidang Pemeriksaan Pendahuluan yang dilaksanakan pada hari Kamis, 23
Januari 2014, Mahkamah telah memberi nasihat kepada para Pemohon untuk mencantumkan
nomor Undang-Undang yang berasal dari PERPU 1/2013 tersebut, yaitu, menjadi UU
4/2014. Meskipun pada saat mendaftarkan permohonan pengujian UU 4/2014 a quo, para Pemohon belum
mencantumkan nomor Undang-Undang dimaksud karena pengesahan oleh Presiden baru
dilakukan pada 15 Januari 2014, namun oleh karena maksud para Pemohon jelas,
yaitu, menguji Undang-Undang
yang berasal dari PERPU 1/2013 dan oleh Mahkamah dalam
pemeriksaan pendahuluan tersebut telah dinasihatkan untuk mencantumkan nomor
Undang-Undang, yaitu, Nomor 4 Tahun
2014 serta
dalam sidang perbaikan permohonan yang dilaksanakan pada hari Kamis,
30 Januari
2014, para Pemohon telah memperbaiki permohonannya dengan
mencantumkan Nomor Undang-Undang yang diuji, maka Mahkamah berpendapat
permohonan para Pemohon telah memenuhi persyaratan formil sebagai pengujian
Undang-Undang sehingga Mahkamah berwenang untuk memeriksa permohonan para Pemohon;
Bahwa
terhadap keterangan tertulis Komisi Yudisial yang mengemukakan bahwa Mahkamah
seharusnya tidak melakukan pengujian terhadap Undang-Undang yang mengatur
Mahkamah Konstitusi, Mahkamah merujuk beberapa pertimbangan yang termuat dalam
putusan Mahkamah sebelumnya dan menjadikannya pula sebagai pertimbangan dalam
perkara ini, sebagai berikut:
a. Putusan Nomor
004/PUU-I/2003, tentang pengujian Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang
Mahkamah Agung, bertanggal 30 Desember 2003, yang mengenyampingkan Pasal 50
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Dalam halaman 10
s.d. 14, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
"Pasal 24C ayat (1)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa
Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang
putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang
Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan
oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus
perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Pasal 24C ini merupakan dasar
kompetensi Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa, mengadili, dan memutus perkara
yang diajukan kepadanya, yang sifatnya limitatif dalam arti hanya apa yang
disebut dalam pasal ini sajalah yang menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi.
Terhadap kewenangan dimaksud di satu pihak tidak dapat ditambahkan kewenangan
lain, dan di lain pihak tidak dapat dikurangi kecuali karena adanya perubahan
terhadap pasal dimaksud yang terjadi dengan jalan perubahan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagaimana diatur dalam Pasal 37;
Meskipun dalam ayat (6) Pasal
24C dinyatakan bahwa "pengangkatan dan pemberhentian Hakim Konstitusi,
hukum acara serta ketentuan lainnya tentang Mahkamah Konstitusi diatur dengan
undang-undang", yang hal ini kemudian dilakukan dengan mengundangkan
Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003,
tidaklah dapat diartikan bahwa pembentuk undang-undang
dapat melakukan pengaturan yang bertentangan dengan pokok substansi yang diatur
oleh Undang-Undang Dasar; Kewenangan Mahkamah Konstitusi merupakan hal yang
sangat fundamental untuk ditentukan dalam Undang-Undang Dasar. Perlunya hal-hal
lain untuk diatur dalam undang-undang sebagaimana dimaksud oleh ayat
(6) Pasal
24C Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 harus
diartikan tidak lain untuk memungkinkan dan mendukung agar Mahkamah Konstitusi
dapat menjalankan kewenangannya sebagaimana telah ditentukan oleh Undang-Undang
Dasar. Kedudukan undang-undang sebagai pelaksanaan Pasal 24C ayat
(6)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945
adalah undang-undang yang berfungsi untuk melaksanakan Undang-Undang Dasar dan
tidak membuat aturan baru apalagi yang bersifat membatasi pelaksanaan
Undang-Undang Dasar. In casu dalam perkara permohonan ini adanya Pasal
50
Undang-undang Nomor 24 Tahun
2003 yang
mengatur pembatasan kewenangan pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang
Dasar dapat menghambat pelaksanaan tugas konstitusional Mahkamah Konstitusi.
Untuk melaksanakan ayat (6) dimaksud pembuat
undang-undang mempunyai kewenangan untuk menentukan hal yang terbaik dan
dianggap tepat, namun pembentuk undang-undang tidak dapat mengubah hal-hal yang
secara tegas telah ditentukan oleh Undang-Undang Dasar, apalagi menyangkut
kewenangan lembaga negara yang diatur oleh Undang-Undang Dasar. Pasal 50 Undang-undang Nomor
24 Tahun
2003
dipandang mereduksi kewenangan Mahkamah Konstitusi yang diberikan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan bertentangan dengan
doktrin hirarki norma hukum yang telah diakui dan diterima secara universal;
Haruslah dimengerti bahwa
Mahkamah Konstitusi adalah lembaga negara yang kekuasaan dan kewenangannya
ditentukan oleh Undang-Undang Dasar. Mahkamah Konstitusi bukanlah organ
undang-undang melainkan organ Undang-Undang Dasar. Ia adalah Mahkamah
Konstitusi, bukan Mahkamah undang-undang. Dengan demikian, landasan yang
dipakai oleh Mahkamah Konstitusi dalam menjalankan tugas dan kewenangan
konstutusionalnya adalah Undang-Undang Dasar. Kalaupun undang-undang dan
peraturan perundang-undangan lainnya, sesuai dengan asas legalitas wajib
ditaati oleh siapapun dan lembaga apapun sebagai subjek dalam sistem hukum
nasional, segala peraturan perundang-undangan yang dimaksud sudah seharusnya
dipahami dalam arti sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Ketentuan dalam Bab IX tentang
Kekuasaan Kehakiman Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
jelas membedakan mengenai perumusan kewenangan Mahkamah Agung dalam Pasal 24A
ayat (1) dan kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam Pasal 24C ayat (1).
Kewenangan Mahkamah Agung dirumuskan secara tidak limitatif (non-limitatif),
karena sebagian masih dapat ditentukan lebih lanjut dengan undang-undang
sedangkan kewenangan Mahkamah Konstitusi dirumuskan tegas dan bersifat
limitatif. Karena itu, pembentuk undang-undang - dalam hal ini adalah Dewan
Perwakilan Rakyat dan Presiden - diberi kewenangan oleh Undang-Undang Dasar
untuk menambah dan melengkapi ketentuan tentang kewenangan Mahkamah Agung. Akan
halnya kewenangan Mahkamah Konstitusi, Dewan Perwakilan Rakyat bersama Presiden
tidaklah berwenang menambah dan
karena itu secara a contrario juga tidak berwenang
mengurangi kewenangan Mahkamah Konstitusi itu dengan undang-undang. Karena itu,
landasan hukum yang dapat dipakai untuk menentukan apakah Mahkamah Konstitusi
berwenang atau tidak berwenang untuk memeriksa sesuatu permohonan haruslah
didasarkan atas ketentuan Undang-Undang Dasar bukan undang-undang.
Jika seandainya benar - quod
non - Pasal 50 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 dipandang sebagai delegasi
wewenang secara sah yang diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 maka timbul kekosongan dimana tidak ada badan peradilan
atau lembaga tertentu yang disebut berwenang memeriksa, mengadili dan memutus
permohonan uji undang-undang yang diundangkan sebelum perubahan pertama Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pada tahun 1999, sebagaimana yang
dihadapi dengan permohonan uji undang-undang dalam permohonan a quo. Dalam hal
demikian Mahkamah Konstitusi juga wajib memeriksa dan mengadili karena Mahkamah
tidak boleh menolak perkara atas dasar tidak ada hukumnya akan tetapi adalah
menjadi kewajiban Mahkamah untuk menemukan norma dimaksud, sehingga terlepas
dari adanya ketentuan Pasal 50 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 Mahkamah
Konstitusi berwenang memeriksa, mengadili dan memutus permohonan ini oleh
karena salah satu maksud dari kehadiran Mahkamah Konstitusi adalah untuk
membawa semua perbedaan pendapat tentang hukum yang menyangkut undang-undang
yang dipandang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar untuk diselesaikan oleh
pihak ketiga yang netral dan imparsial, berdasar hukum dan keadilan;
Pembatasan undang-undang yang
boleh diuji terhadap Undang-Undang Dasar hanya sebatas undang-undang sejak
perubahan pertama maka jika sekiranya benar sebagaimana didalilkan oleh Pemohon
bahwa undang-undang yang dimohonkan pengujiannya dalam permohonan a quo
mengandung diskriminasi yang menyolok dan bertentangan dengan pasal-pasal
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, manakala diterapkan
akan membiarkan adanya ketidakadilan yang boleh diterima oleh warga negara
karena dia diundangkan sebelum perubahan pertama Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 dan ketidakadilan yang dikandung oleh
undang-undang yang diundangkan setelah perubahan pertama, yang tidak diterima
dan boleh diuji oleh Mahkamah Konstitusi. Ketentuan Pasal 50 Undang-undang
Nomor 24 Tahun 2003 tersebut akan menciptakan berlakunya tolok ukur ganda dalam
sistim hukum Indonesia dengan tetap membiarkan sah dan mempunyai kekuatan hukum
mengikat Undang-Undang yang diundangkan sebelum perubahan pertama Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, meskipun undang-undang tersebut
melanggar hak konstitusional seseorang, sementara itu pada waktu yang bersamaan
harus dinyatakan sebagai tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat undang-undang
yang melanggar dan merugikan hak konstitusional seseorang;
Berdasarkan uraian
pertimbangan tersebut di atas dan sejalan dengan rumusan bunyi sumpah/janji
jabatan hakim konstitusi yang antara lain berisi pernyataan sumpah/janji akan
"... menjalankan segala peraturan perundang-undangan dengan
selurus-lurusnya menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945." maka meskipun Pasal 50
Undang-undang
Nomor
24 Tahun
2003 tidak
termasuk objek pengujian, Hakim Mahkamah Konstitusi karena jabatannya akan
memeriksa perkara permohonan in casu dengan mengenyampingkan Pasal 50 tersebut dengan
berpegang teguh kepada bunyi sumpah/janji sebagaimana dimaksud dalam rumusan
Pasal 21 ayat (1) Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 untuk memastikan bahwa
keterikatan hakim konstitusi dalam menjalankan segala peraturan
perundang-undangan itu adalah sepanjang peraturan perundang-undangan tersebut
sejalan dan/atau tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945. Jikalau ada peraturan perundang-undangan yang tidak
sejalan atau justru bertentangan dengan Undang-Undang Dasar, maka dengan
kewenangan yang dimilikinya, Mahkamah Konstitusi dapat menyatakan tidak terikat
pada peraturan perundang-undangan dimaksud atau jika peraturan dimaksud
berbentuk undang-undang dan dimohon untuk diuji berdasarkan Undang-Undang
Dasar, maka sudah dengan sendirinya, Mahkamah Konstitusi berwenang untuk
mengujinya sesuai dengan ketentuan Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun
1945;
Dengan demikian Mahkamah Konstitusi wajib memeriksa,
mengadili dan memutus permohonan Pemohon sebagaimana mestinya dengan
mengenyampingkan ketentuan Pasal 50 Undang-undang Nomor 24 tahun 2003
tersebut...";
b. Putusan Nomor
066/PUU-II/2004, tentang pengujian Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1987 tentang Kamar Dagang
dan Industri, bertanggal 12 April 2005, Mahkamah menegaskan kembali dengan
mendasarkan pada Putusan Nomor 004/PUU-I/2003 tersebut, bahwa Mahkamah
berwenang menguji Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
dan pada akhirnya mengabulkan permohonan Pemohon dengan menyatakan Pasal 50
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi bertentangan
dengan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat;
c. Putusan Nomor
49/PUU-IX/2011, tentang perkara Pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011
tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi, bertanggal 18 Oktober 2011, dalam pertimbangannya, antara lain,
menegaskan kembali dengan menyatakan sebagai berikut:
"[3.5] Menimbang bahwa meskipun
Mahkamah Konstitusi berwenang untuk memeriksa, mengadili, dan memutus
permohonan a quo, akan tetapi untuk menghilangkan adanya keragu-raguan mengenai
objektivitas, netralitas, dan imparsialitas Mahkamah Konstitusi dalam
melaksanakan kewenangannya
yang diberikan oleh UUD 1945, perlu lebih dahulu
Mahkamah menyatakan pendiriannya sebagai berikut:
a.
bahwa keberadaan Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga
negara yang oleh UUD 1945 diberi kewenangan untuk mengadili pada tingkat
pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final terhadap
persoalan-persoalan ketatanegaraan merupakan konsekuensi dari sistem
ketatanegaraan yang hendak dibangun oleh UUD 1945 setelah melalui serangkaian
perubahan. Sistem ketatanegaraan dimaksud adalah sistem yang gagasan dasarnya
bertujuan mewujudkan Indonesia sebagai negara hukum yang demokratis dan
konstitusional, yaitu negara demokrasi yang berdasar atas hukum dan konstitusi,
sebagaimana tercermin dalam ketentuan Pasal 1 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945,
yang merupakan bagian dari penjabaran Pembukaan UUD 1945, khususnya alinea
keempat.
b.
bahwa sebagai negara yang menempatkan undang-undang
dasar atau konstitusi sebagai hukum tertinggi, Negara Republik Indonesia harus
menyediakan mekanisme yang menjamin ketentuan-ketentuan konstitusi dimaksud
benar-benar dilaksanakan dalam praktik kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara. Guna menjamin tegak dan dilaksanakannya konstitusi itulah keberadaan
Mahkamah Konstitusi menjadi keniscayaan yaitu sebagai lembaga yang berfungsi
mengawal konstitusi atau undang-undang dasar. Berdasarkan fungsi tersebut maka
dengan sendirinya Mahkamah Konstitusi merupakan penafsir akhir undang-undang
dasar ketika terjadi sengketa konstitusional. Dalam kerangka pemikiran itulah
seluruh kewenangan Mahkamah diberikan oleh konstitusi, sebagaimana tertulis
dalam Pasal 24C ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945;
c.
bahwa Mahkamah memahami adanya keterkaitan antara
Mahkamah dengan Undang-Undang yang dimohonkan pengujian oleh para Pemohon,
karena Undang-Undang yang dimohonkan pengujian adalah menyangkut Mahkamah. Hal
demikian terkait dengan prinsip universal di dalam dunia peradilan tentang nemo
judex in causa sua artinya hakim tidak mengadili hal-hal yang terkait dengan
dirinya sendiri. Namun dalam konteks ini ada tiga alasan Mahkamah harus
mengadili permohonan pengujian undang-undang ini yaitu: (i) tidak ada forum
lain yang bisa mengadili permohonan ini; (ii) Mahkamah tidak boleh menolak
mengadili permohonan yang diajukan kepadanya dengan alasan tidak ada atau tidak
jelas mengenai hukumnya; (iii) kasus ini merupakan kepentingan konstitusional
bangsa dan negara, bukan semata-mata kepentingan institusi Mahkamah itu sendiri
atau kepentingan perseorangan hakim konstitusi yang sedang menjabat. Namun
demikian dalam mengadili permohonan ini tetaplah Mahkamah imparsial dan
independen. Mahkamah memastikan untuk memutus permohonan ini berdasarkan salah
satu kewenangan yang diberikan oleh Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, yaitu menguji
apakah pasal-pasal yang dimohon pengujian bertentangan dengan UUD 1945 atau
tidak;
d.
bahwa salah satu objectum litis dari proses peradilan
di Mahkamah adalah masalah konstitusionalitas undang-undang yang menyangkut
kepentingan publik yang dijamin oleh konstitusi sebagai hukum yang tertinggi.
Oleh karena itu, Mahkamah lebih menekankan pada fungsi dan tugasnya mengawal
dan menegakkan konstitusi dengan tetap menjaga prinsip independensi dan
imparsialitas dalam keseluruhan proses peradilan. Apalagi Pasal 10 ayat (1) UU
48/2009 menyatakan dengan tegas bahwa
"Pengadilan
dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang
diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib
untuk memeriksa dan mengadilinya". Terlebih lagi, menurut Mahkamah, dengan
mendasarkan pada kewenangan Mahkamah dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 serta
asas dalam kekuasaan kehakiman, Mahkamah harus tetap memeriksa, mengadili, dan
memutus secara keseluruhan permohonan a quo sesuai dengan kewenangan
konstitusionalnya, dengan tetap menjaga independensi, imparsialitas, dan
integritasnya guna menegakkan konstitusi;"
Selain
mendasarkan pada pertimbangan hukum di atas, Mahkamah juga berpendapat bahwa
terhadap pandangan yang menyatakan Mahkamah seharusnya tidak melakukan
pengujian terhadap Undang-Undang yang mengatur Mahkamah Konstitusi tidaklah
tepat. Di samping hal demikian tidak dilarang oleh UUD 1945, Mahkamah tidak
bisa menolak untuk mengadili suatu permohonan pengujian Undang-Undang walaupun
menyangkut dirinya, karena persoalannya, apabila nyata-nyata terdapat
Undang-Undang mengenai Mahkamah Konstitusi yang bertentangan dengan UUD 1945
dan tidak dapat dilakukan pengujian secara hukum oleh Mahkamah maka
pertanyaannya, peradilan mana lagi yang secara konstitusional berwenang
mengadili pengujian konstitusionalitas terhadap Undang-Undang tersebut.
Sebagaimana putusan Mahkamah untuk mengembalikan kewenangan Dewan Perwakilan
Daerah (DPD) melalui pengujian Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang
Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah [vide Putusan Mahkamah Nomor
92/PUU-X/2012, bertanggal 27 Maret 2013] maka tidak menutup kemungkinan
terdapat materi Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi yang dapat merugikan
kewenangan Mahkamah. Jika Mahkamah dilarang menguji Undang-Undang yang mengatur
tentang Mahkamah maka Mahkamah akan menjadi sasaran empuk untuk dilumpuhkan
melalui pembentukan Undang-Undang untuk kepentingan kekuasaan, yaitu manakala
posisi Presiden mendapat dukungan yang kuat dari DPR atau sebaliknya. DPR memang
dapat melakukan perubahan terhadap Undang-Undang tetapi perubahan tersebut
lebih bersifat politis. DPR dan Presiden tidak berwenang melakukan pengujian
melalui mekanisme peradilan dalam penegakan konstitusi. Adanya istilah legislative review tidak dapat disamakan dengan judicial review, karena dalam melakukan legislative review DPR bersama Presiden
sebenarnya tidak melakukan pengujian tetapi melakukan perubahan Undang-Undang
yang hasilnya tidak secara serta merta menjadi tidak bertentangan dengan UUD
1945, yang tidak
dapat diuji oleh Mahkamah. DPR
dan Presiden menurut UUD 1945 tidak mempunyai kewenangan
untuk menyatakan suatu Undang-Undang bertentangan atau tidak bertentangan
dengan UUD 1945;
Apabila
dikaji secara historis, judicial review yang kemudian dipraktikkan di banyak negara
berdasarkan konstitusi masing masing, untuk pertama kali terjadi pada tahun
1803 dalam
kasus Marbury
vs. Madison di
Mahkamah Agung Amerika Serikat. Kasus tersebut kemudian menjadi kasus yang
sangat terkenal dan menjadi rujukan bagi kewenangan lembaga peradilan di
berbagai negara dalam melakukan pengujian Undang-Undang. Dalam kasus tersebut,
justru objek yang diuji oleh Mahkamah Agung Amerika Serikat waktu itu adalah
Undang-Undang tentang Kekuasaan Kehakiman (Judiciary Act 1789), yaitu, Undang-Undang yang
mengatur Mahkamah Agung Amerika Serikat sendiri. Terhadap Undang-Undang
tersebut Mahkamah Agung Amerika Serikat melakukan pengujian sendiri untuk
pertama kali dan memutus untuk pertama kali pula hal yang tidak dimohonkan oleh
Pemohon juga diputuskan sehingga putusannya pun ultra petita. Dengan demikian, judicial review tidak dapat dipisahkan dari
historisnya, yaitu, pengujian Undang-Undang oleh Mahkamah Agung Amerika Serikat
terhadap Undang-Undang kekuasaan kehakiman itu sendiri dan memutus hal yang
tidak dimohonkan atau ultra petita. Oleh karenanya, tidak ada dasar konstitusional bagi
Mahkamah untuk tidak melakukan pengujian terhadap Undang-Undang yang materinya
berisi ketentuan yang mengatur Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Konstitusi memutus
berdasarkan kewenangan konstitusionalitas yang dimilikinya untuk menegakkan
konstitusi, termasuk di dalamnya etika dalam penegakan konstitusi dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara;
[3.7] Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan hukum di
atas, dan oleh karena Permohonan para Pemohon a quo adalah mengenai pengujian
Undang-Undang in casu UU 4/2014 terhadap UUD 1945, Mahkamah berwenang untuk mengadili
permohonan a
quo;
Kedudukan Hukum {Legal Standing) para Pemohon
[3.8] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 51 ayat (1) UU MK
beserta
Penjelasannya, yang dapat bertindak sebagai Pemohon
dalam pengujian suatu Undang-Undang terhadap UUD 1945 adalah mereka yang
menganggap hak
dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya
Undang-Undang yang dimohonkan pengujian, yaitu:
a.
perorangan warga negara Indonesia (termasuk kelompok
orang yang mempunyai kepentingan sama);
b.
kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup
dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang;
c.
badan hukum publik atau privat; atau
d.
lembaga negara;
Dengan demikian, Pemohon dalam pengujian Undang-Undang
terhadap UUD 1945 harus menjelaskan dan membuktikan terlebih dahulu:
a.
kedudukannya sebagai Pemohon sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 51 ayat
(1) UU MK;
b.
kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang
diberikan oleh UUD 1945 yang diakibatkan oleh berlakunya Undang-Undang yang
dimohonkan pengujian;
[3.9] Menimbang pula bahwa Mahkamah sejak Putusan Nomor
006/PUU-
III/2005, bertanggal 31 Mei 2005 dan Putusan Nomor
11/PUU-V/2007, bertanggal 20 September 2007 serta putusan-putusan selanjutnya
telah berpendirian bahwa kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional
sebagaimana dimaksud Pasal 51 ayat (1) UU MK harus memenuhi lima syarat, yaitu:
a.
adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional pemohon
yang diberikan oleh UUD 1945;
b.
hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut oleh
pemohon dianggap dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan
pengujian;
c.
kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional
tersebut harus bersifat spesifik dan aktual atau setidak-tidaknya potensial
yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
d.
adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian dimaksud
dengan berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian;
e.
adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya
permohonan, maka kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional seperti yang
didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi;
[3.10] Menimbang bahwa para Pemohon I mendalilkan diri
sebagai perorangan warga negara Indonesia yang memiliki hak-hak yang dijamin
konstitusi berupa hak-hak konstitusional untuk mendapatkan pengakuan, jaminan,
perlindungan, dan kepastian hukum yang adil, memperoleh kesempatan dan manfaat
yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan, perlindungan, pemajuan,
penegakan dan pemenuhan hak asasi manusia, dalam tertib kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara dalam naungan negara hukum sebagaimana
dimaksud Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28H ayat (2), Pasal 28I
ayat (4), Pasal 28J ayat (1) UUD 1945. Menurut para Pemohon, UU 4/2014 akan
memberi pengaruh terhadap penyelenggaraan kekuasaan kehakiman di lingkungan
kekuasaan kehakiman, yang berujung pada hilangnya independensi kekuasaan
kehakiman. Bilamana independensi kekuasaan kehakiman hilang maka pada akhirnya
juga berimplikasi pada hilangnya integritas pelayanan hukum yang melibatkan
para advokat, sehingga kualitas pelayanan hukum juga akan merosot dan pada
akhirnya akan menghilangkan kepercayaan publik terhadap penegakan hukum,
termasuk proses hukum di Mahkamah Konstitusi. Oleh karena itu, bila UU 4/2014
dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, maka para Pemohon I tidak
akan mengalami kerugian konstitusional di masa datang;
Bahwa para
Pemohon II mendalilkan diri sebagai dosen yang mengabdikan diri untuk menjadi
pendidik di Fakultas Hukum Universitas Jember, yang menganggap hak
konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya Pasal 18A ayat (1), Pasal 18B,
Pasal 18C, dan Pasal 27A UU 4/2014, karena pada pokoknya Panel Ahli yang
dibentuk oleh Komisi Yudisial, dilihat dari ketentuan persyaratan
keanggotaannya, memiliki kualifikasi akademik minimal seorang magister yang
akan melakukan uji kelayakan dan kepatutan terhadap calon hakim konstitusi yang
memiliki kualifikasi akademik atau memiliki gelar minimal doktor (S3). Menurut
para Pemohon II, apabila seleksi hakim konstitusi dilakukan oleh orang-orang
(dalam Panel Ahli) yang dimungkinkan hanya bergelar magister, sudah barang
tentu dari segi kualitas-akademik tidak profesional dan tidak patut. Selain
itu, persyaratan untuk menjadi anggota Panel Ahli yang mencantumkan hanya
minimal magister, menurut para Pemohon II, menginjak-injak dan tidak menghargai
secara hukum sistem penjenjangan pendidikan nasional. Jika ketentuan ini tetap
diberlakukan, maka para Pemohon II yang sebagian adalah dosen atau pendidik
baik di program sarjana, magister, dan doktor, tentu merasa tidak dihormati hak
atas pengakuan, jaminan,
perlindungan, dan kepastian hukumnya sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat
(1) UUD
1945. Oleh
karenanya, para Pemohon merasa dirugikan hak-hak konstitusionalnya sebagai
warga negara yang menegakkan sistem pendidikan nasional;
[3.11] Menimbang bahwa PERPU 1/2013 yang kemudian menjadi UU
4/2014, menurut Mahkamah, mengandung materi yang menyangkut lembaga negara yang
kewenangannya ditetapkan oleh UUD 1945, yaitu, Mahkamah Agung, DPR, Mahkamah
Konstitusi, Presiden, dan Komisi Yudisial. Apabila dihubungkan dengan ketentuan
Pasal 51 UU MK, maka yang secara langsung berpotensi dirugikan oleh adanya
Undang-Undang a quo adalah lembaga negara tersebut di atas. Namun persoalannya, apabila
dalam kasus a
quo terdapat
materi yang bertentangan dengan UUD 1945, apakah memang secara logika lembaga
negara tersebut akan mengajukan permohonan pengujian konstitusionalitas
Undang-Undang a quo ke MK. DPR secara kelembagaan tentunya tidak akan pernah mengajukan
permohonan pengujian konstitusionalitas Undang-Undang a quo ke Mahkamah, karena
Undang-Undang adalah produk DPR bersama Presiden. Apabila DPR menilai terdapat
materi dalam PERPU 1/2013 yang bertentangan dengan UUD 1945, semestinya DPR
tidak akan menerima PERPU 1/2013 untuk menjadi Undang-Undang, namun dengan
diterimanya PERPU 1/2013 menjadi Undang-Undang tidak berarti bahwa
Undang-Undang a quo pasti dijamin konstitusionalitasnya, mengingat pengambilan keputusan di
DPR mendasarkan pada mekanisme politik yang berbasis pada prinsip mayoritas.
Dengan demikian, PERPU 1/2013 yang diterima secara musyawarah atau aklamasi
sekali pun, artinya disetujui tanpa ada suara yang menolak, belumlah secara
serta merta dijamin konstitusionalitasnya;
Presiden
dalam kasus tersebut pasti juga tidak akan mengajukan pengujian
konstitusionalitas terhadap Undang-Undang a quo yang berasal dari PERPU yang
telah diterima oleh DPR menjadi Undang-Undang karena seluruh materi PERPU
tersebut berasal dari Presiden. Anggota DPR yang menolak untuk menerima PERPU
1/2013 menjadi Undang-Undang tidak mungkin mengajukan permohonan pengujian
konstitusionalitas Undang-Undang tersebut meskipun seandainya mempunyai dasar
yang kuat bahwa Undang-Undang a quo bertentangan dengan UUD 1945, karena Mahkamah dalam
Putusan Nomor
151/PUU-VII/2009, bertanggal 3
Juni 2010, telah memutus bahwa anggota DPR tidak mempunyai kedudukan hukum (legal standing) untuk menguji Undang-Undang,
kecuali terkait dengan hak Anggota DPR untuk mengusulkan penggunaan hak
menyatakan pendapat sebagaimana Putusan Nomor 23-26/PUU-VIII/2010 tentang
Pengujian Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan
Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah, bertanggal 12 Januari 2011;
Komisi
Yudisial sebagai lembaga negara mempunyai hak untuk mengajukan permohonan
pengujian konstitusionalitas terhadap Undang-Undang a quo yang berasal dari PERPU, namun
persoalannya tidak ada kerugian hak atau kewenangan konstitusional Komisi
Yudisial yang diakibatkan oleh berlakunya UU 4/2014, sehingga tentunya tidak
ada alasan bagi Komisi Yudisial untuk mengajukan permohonan pengujian, terlebih
lagi jika justru Undang-Undang yang berasal dari PERPU tersebut menambah
kewenangannya;
Mahkamah
Agung yang secara konstitusional juga mempunyai hak untuk mengajukan permohonan
pengujian konstitusionalitas apabila materi PERPU yang telah menjadi
Undang-Undang ini merugikan hak konstitusionalnya, tentu tidak akan mengajukan
permohonan pengujian, karena pada saat pertemuan antara pimpinan lembaga negara
dalam menyikapi penangkapan M. Akil Mochtar -yang pada waktu itu Ketua Mahkamah
Konstitusi - oleh KPK, Ketua Mahkamah Agung ikut diundang hadir untuk
membicarakan penerbitan PERPU yang kemudian menjadi Undang-Undang a quo;
Bahwa
berdasarkan hal-hal sebagaimana diuraikan di atas, Mahkamah berpendapat bahwa
penegakan konstitusi - termasuk menjaga supaya ketentuan Undang-Undang yang di
dalamnya mengatur kewenangan lembaga negara tidak melanggar UUD 1945 - menjadi
bagian dari kewajiban konstitusional Mahkamah yang diamanatkan oleh UUD 1945
yang tidak sebatas hanya untuk kepentingan sebuah lembaga negara tertentu saja,
tetapi demi tegaknya konstitusi yang menjadi kepentingan seluruh warga negara.
Para Pemohon I dan para Pemohon II tidak mewakili salah satu lembaga negara
tersebut, tetapi sebagai warga negara, para Pemohon tersebut berhak mendapatkan
kepastian hukum yang adil perihal keberlakuan kewenangan masing-masing lembaga
negara dan demi tegaknya negara hukum dalam hal ini tegaknya aturan tentang
kewenangan lembaga negara
sesuai dengan UUD
1945.
Dengan demikian, permohonan a quo menjadi kepentingan seluruh warga negara Indonesia,
termasuk para Pemohon, yaitu menyangkut kepentingan adanya kepastian hukum yang
adil;
Dalam
Permohonannya, para Pemohon I juga mendalilkan adanya hak bagi para pembayar
pajak (tax payer)
untuk
mengajukan permohonan pengujian konstitusionalitas Undang-Undang ke Mahkamah,
yang oleh Mahkamah dalam banyak putusan sebelumnya, telah dinyatakan bahwa
warga masyarakat pembayar pajak (tax payers) dipandang memiliki kepentingan sesuai Pasal 51
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Hal ini sesuai
dengan adagium "no taxation without participation" dan sebaliknya "no participation without
tax" [vide
Putusan Nomor 003/PUU-I/2003 tentang pengujian Undang-Undang Nomor 24 Tahun
2002 tentang Surat Utang Negara, bertanggal 29 Oktober 2004]. Sesungguhnya
setiap warga negara pembayar pajak mempunyai hak konstitusional untuk
mempersoalkan setiap Undang-Undang [vide Putusan Nomor 001-021-022/PUU-I/2003
tentang pengujian Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan,
bertanggal 15 Desember 2004] yang hal ini juga menjadi acuan bagi
putusan-putusan Mahkamah selanjutnya yang terkait dengan kedudukan hukum
pemohon sebagai pembayar pajak;
Bahwa
terhadap para Pemohon I sebagai advokat yang sering beracara di Mahkamah dan
para Pemohon II sebagai dosen ilmu hukum yang lembaga pendidikannya memiliki
kerjasama dengan Mahkamah, sehingga menimbulkan dugaan bahwa para Pemohon memiliki
keterkaitan erat dengan Mahkamah, menurut Mahkamah, setiap orang memiliki
kedudukan yang sama di hadapan hukum sebagaimana dijamin dalam Pasal 27 ayat
(1) UUD 1945, oleh karena itu, setiap orang juga memiliki hak yang sama untuk
mengajukan permohonan pengujian konstitusionalitas Undang-Undang ke Mahkamah
Konstitusi. Di hadapan Mahkamah tidak ada pembedaan perlakukan terhadap para
Pemohon, siapa pun mereka;
[3.12] Menimbang
bahwa berdasarkan pertimbangan hukum
di atas,
Mahkamah berpendapat bahwa para Pemohon I dan para
Pemohon II mempunyai kedudukan hukum atau legal standing untuk mengajukan permohonan a quo;
Pokok Permohonan
[3.13] Menimbang, pada pokoknya para Pemohon I dan para
Pemohon II
mendalilkan bahwa pengaturan mengenai penambahan
persyaratan untuk menjadi hakim konstitusi; mekanisme proses seleksi dan
pengajuan hakim konstitusi; sistem pengawasan hakim konstitusi; komposisi dan
kualifikasi anggota Panel Ahli; pembentukan Majelis Kehormatan Hakim
Konstitusi; yang ditetapkan dalam Undang-Undang a quo serta kewenangan Komisi
Yudisial untuk turut serta mengawasi hakim Mahkamah Konstitusi adalah
bertentangan dengan UUD 1945. Menurut para Pemohon I pula, UU 4/2014 telah
menyinggung kewenangan beberapa lembaga negara yang telah diatur secara
limitatif dalam UUD 1945;
[3.14] Menimbang bahwa Mahkamah telah mendengar keterangan
Ahli Prof. H.A.S Natabaya S.H., LL.M., yang diajukan oleh para Pemohon I pada
persidangan tanggal 4 Februari 2014, dan Mahkamah telah membaca keterangan
tertulis Ahli Dr. Jayus, S.H., M.Hum dan Dr. Widodo Ekatjahjana, S.H., M.Hum.
yang diajukan oleh para Pemohon II yang keterangan selengkapnya termuat dalam
bagian Duduk Perkara;
[3.15] Menimbang bahwa Mahkamah telah mendengar keterangan
lisan dan
membaca keterangan tertulis dari Presiden dan DPR yang
pada pokoknya mengemukakan bahwa UU 4/2014 adalah konstitusional;
[3.16] Menimbang bahwa Mahkamah telah
membaca keterangan tertulis dari
Komisi Yudisial, yang keterangan selengkapnya termuat
dalam bagian Duduk Perkara;
[3.17] Menimbang bahwa Mahkamah telah membaca keterangan
tertulis dari Ahli yang diajukan oleh Presiden, yaitu, Dr. Maruarar Siahaan
S.H.; Prof. Philipus M. Hadjon; Dr. Tamrin Amal Tomagola, S.H.; Prof. Saldi
Isra, S.H.; dan Fajrul Falaakh S.H., M.H. M.Sc., yang keterangan selengkapnya
termuat dalam bagian Duduk Perkara;
[3.18] Menimbang,
setelah Mahkamah memeriksa
dengan saksama
permohonan para Pemohon, keterangan Presiden,
keterangan tertulis DPR, keterangan ahli yang diajukan oleh para Pemohon dan
keterangan tertulis ahli dari
Presiden, dan bukti-bukti surat/tulisan yang diajukan oleh para
Pemohon, serta kesimpulan tertulis para Pemohon dan kesimpulan tertulis
Presiden, sebagaimana selengkapnya termuat pada bagian Duduk Perkara, Mahkamah
berpendapat sebagai berikut:
Pendapat Mahkamah
[3.19] Menimbang
sebelum mempertimbangkan pokok permohonan
Mahkamah perlu menyatakan bahwa putusan Mahkamah hanya
berdasarkan UUD 1945 sesuai dengan alat bukti dan keyakinan hakim. Oleh karena
itu, adanya tekanan opini publik dalam mengambil putusan haruslah dihindarkan
oleh hakim. Betapapun kuatnya tekanan tersebut baik yang berasal dari anggota
masyarakat, pejabat eksekutif, maupun anggota badan perwakilan, hakim harus
tetap independen. Jika hakim terpengaruh oleh tekanan tersebut maka terkuburlah
kekuasaan kehakiman yang independen dan dapat dipastikan hakim akan tunduk pada
kekuasaan. Kekuasaan-kekuasaan di luar kekuasaan kehakiman sangat berpotensi
untuk menekan hakim dan bila hal demikian terjadi yang menjadi korban adalah
masyarakat pada umumnya dan para pencari keadilan pada khususnya serta
kepentingan penegakan hukum konstitusi secara berkesinambungan. Oleh karena
itu, hakim berkewajiban untuk menegakkan independensi pada dirinya, sebaliknya
masyarakat maupun kekuasaan lain di luar kekuasaan kehakiman juga wajib untuk
menegakkan independensi tersebut dengan tidak mencampuri proses peradilan
termasuk di dalamnya pengambilan putusan. Apabila ada pihak yang melakukan
tekanan kepada Mahkamah dengan membentuk opini-opini publik, apalagi pihak
tersebut merepresentasikan cabang kekuasaan yang lain, hal demikian telah
melanggar prinsip kebebasan kekuasaan kehakiman yang secara universal dapat
dikategorikan telah melakukan tindakan contempt of court;
[3.20] Menimbang bahwa UUD 1945 merupakan hukum tertinggi
negara
dalam mengatur ketatanegaraan Indonesia. Salah satu materi
yang diatur dalam hukum tertinggi tersebut adalah lembaga-lembaga negara. Oleh
karena sebagai hukum tertinggi negara, UUD 1945 bersifat normatif, artinya
mengikat kepada semua lembaga negara dalam menjalankan fungsinya sesuai dengan
kewenangan yang diberikan oleh UUD 1945. Dalam hubungan antara lembaga negara,
UUD
1945 mengandung prinsip checks and balances antar lembaga negara yang satu
dengan yang lain berdasarkan prinsip kekuasaan dibatasi kekuasaan (power limited by power) dan bukan kekuasaan mengawasi
kekuasaan lain (power supervises other powers), apalagi kekuasaan dikontrol oleh kekuasaan lain (power controls other powers).
Kekuasaan
pemerintahan dipandang sebagai mahadaya yang harus dibatasi sehingga tidak
terjadi penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power). Checks and balances menjaga agar suatu cabang
pemerintahan tidak terlalu kuat kekuasaannya. Berdasarkan pertimbangan tersebut
di atas, itulah makna relevansinya Mahkamah Konstitusi diberi kewenangan
memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh
UUD 1945. Artinya, karena kewenangan lembaga negara diberikan oleh UUD 1945
sebagai hukum tertinggi maka Mahkamah Konstitusi sebagai pelaksana kekuasaan
kehakiman yang diberi kewenangan untuk menyelesaian sengketa konstitusional
harus memutus berdasar hukum yang tertinggi tersebut, yaitu UUD 1945 apabila
terjadi sengketa konstitusional antar lembaga negara. Sengketa tersebut tidak
boleh dibiarkan berlarut-larut dan digantungkan pada penyelesaian proses
politik tetapi harus diselesaikan secara hukum. Demikianlah implementasi
prinsip negara demokrasi konstitusional (democratic constitutional state);
Selain
itu, dalam rangka menjaga sistem ketatanegaraan yang menyangkut hubungan antar
lembaga negara yang diatur oleh UUD 1945 sebagai hukum tertinggi, Mahkamah
harus menggunakan pendekatan yang rigid sejauh UUD 1945 telah mengatur secara jelas kewenangan
atributif masing-masing lembaga tersebut. Dalam hal Mahkamah terpaksa harus
melakukan penafsiran atas ketentuan yang mengatur sebuah lembaga negara maka
Mahkamah harus menerapkan penafsiran original intent, tekstual, dan gramatikal yang
komprehensif yang tidak boleh menyimpang dari apa yang telah secara jelas
tersurat dalam UUD 1945 termasuk juga ketentuan tentang kewenangan lembaga
negara yang ditetapkan oleh UUD 1945. Apabila Mahkamah tidak membatasi dirinya
dengan penafsiran secara rigid tetapi melakukan penafsiran secara sangat bebas
terhadap ketentuan yang mengatur lembaga negara dalam UUD 1945, sama artinya
Mahkamah telah membiarkan pembentuk Undang-Undang untuk mengambil peran
pembentuk UUD 1945 dan akan menjadi sangat rawan terjadi penyalahgunaan
kekuasaan manakala Presiden didukung oleh kekuatan mayoritas DPR, atau bahkan
Mahkamah sendiri yang mengambil alih fungsi pembentuk UUD 1945
untuk mengubah UUD
1945
melalui putusan-putusannya. Memang benar bahwa Mahkamah adalah penafsir UUD
1945,
yaitu, menafsirkan ketentuan yang dapat menimbulkan multitafsir, namun
penafsiran tersebut haruslah diletakkan dalam kerangka menjaga dan menegakkan
UUD 1945 dengan tidak mengubah UUD 1945. Sebagai contoh,
Putusan Nomor 92/PUU-X/2012 mengenai pengujian konstitusionalitas Undang-Undang
Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan
Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, bertanggal
27 Maret 2013, yang mengembalikan kewenangan DPD sesuai dengan UUD 1945;
Putusan Nomor 56/PUU-VI/2008 mengenai pengujian konstitusionalitas
Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil
Presiden, bertanggal 17 Februari 2009, mengenai permohonan adanya Calon
Presiden Independen; dan Putusan Nomor 005/PUU-IV/2006 mengenai pengujian
konstitusionalitas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial
dan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, bertanggal 23
Agustus 2006, mengenai kewenangan Komisi Yudisial untuk mengawasi hakim, adalah
putusan-putusan dalam rangka menjaga konstitusi;
[3.21] Menimbang bahwa salah satu materi UU 4/2014 adalah
mengatur
proses pengangkatan Hakim Konstitusi. Ketentuan UUD
1945 yang mengatur materi tersebut adalah Pasal 24C ayat (3) UUD 1945 yang
menyatakan, "Mahkamah
Konstitusi mempunyai sembilan orang anggota hakim konstitusi yang ditetapkan
oleh Presiden, yang diajukan masing-masing tiga orang oleh Mahkamah Agung, tiga
orang oleh Dewan Perwakilan Rakyat, dan tiga orang oleh Presiden." UUD 1945 dalam beberapa
pasalnya menggunakan kata yang sama maknanya dengan "ajukan" selain
yang terdapat dalam Pasal 24C UUD 1945 a quo, yaitu sebagai berikut:
Pasal 5
ayat (1) : "Presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang
kepada Dewan Perwakilan Rakyat."
Pasal 21 : "Anggota Dewan Perwakilan Rakyat berhak mengajukan
usul rancangan undang-undang."
Pasal 22D
ayat (1) : " Dewan Perwakilan Daerah dapat mengajukan kepada
Dewan Perwakilan Rakyat rancangan undang-undang
yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat
dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan
sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan
perimbangan keuangan pusat dan daerah."
Pasal
23 ayat
(2) : "Rancangan undang-undang anggaran pendapatan dan
belanja negara diajukan oleh Presiden untuk dibahas bersama Dewan Perwakilan
Rakyat dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Daerah."
Menurut
Mahkamah, kata "diajukan" atau "mengajukan" dalam beberapa pasal
UUD 1945 tersebut mempunyai makna yang sama karena kata tersebut dipakai oleh
UUD 1945 sebagai norma hukum yang tertinggi. Pengajuan yang dilakukan oleh
sebuah lembaga negara, apakah Presiden, Mahkamah Agung, Dewan Perwakilan
Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, adalah merupakan kewenangan atributif yang
bersifat mutlak bagi masing-masing lembaga secara penuh yang tidak dapat diberi
syarat-syarat tertentu oleh Undang-Undang dengan melibatkan lembaga negara lain
yang tidak diberikan kewenangan oleh UUD 1945.
Menurut
Mahkamah, Undang-Undang yang mengatur pengajuan calon Hakim Konstitusi melalui
Panel Ahli yang dibentuk oleh Komisi Yudisial - walaupun 3 (tiga) dari 7
(tujuh) orang anggotanya masing-masing ditunjuk oleh Mahkamah Agung, DPR, dan
Presiden - telah nyata-nyata mereduksi kewenangan konstitusional Mahkamah
Agung, DPR, dan Presiden. Sama halnya apabila pengajuan Rancangan
Undang-Undang, termasuk RAPBN oleh Presiden harus melalui Panel Ahli yang
dibentuk oleh lembaga negara yang lain adalah juga pasti mereduksi kewenangan
Presiden. Demikian juga DPD yang mengajukan Rancangan Undang-Undang tertentu
kepada DPR yang harus melalui Panel Ahli yang dibentuk oleh lembaga negara yang
lain juga akan mereduksi kewenangan DPD. Begitu pula dengan kewenangan Komisi Yudisial
dalam mengusulkan calon Hakim Agung jika harus melalui Panel Ahli yang dibentuk
oleh lembaga negara lain juga akan mereduksi kewenangan Komisi Yudisial. Lain
halnya apabila lembaga negara yang bersangkutan membentuk panitia yang akan
menyeleksi secara intern untuk melaksanakan kewenangan konstitusionalnya dalam
mengajukan
calon Hakim Konstitusi. Hal
demikian tidaklah bertentangan dengan konstitusi karena tidak ada kewenangan
konstitusional lembaga negara yang direduksi;
Penggunaan
kata "Ahli" pada "Panel" ini menimbulkan pertanyaan tentang
keahlian dalam bidang apa sebenarnya yang diperlukan. Syarat keahlian pada
Panel Ahli haruslah terukur secara rasional. Dengan demikian, untuk menjadi
anggota Panel Ahli pun sewajarnya dilakukan tes untuk menentukan apakah telah
memenuhi syarat keahlian yang diperlukan untuk memilih Panel Ahli yang akan
melakukan tes pada pemilihan Hakim Konstitusi. Hakim Konstitusi memiliki
karakteristik tersendiri, yang dalam UUD 1945, karakteristik khusus tersebut
disebutkan sebagai seorang negarawan. Meskipun syarat "negarawan"
adalah sulit untuk ditentukan kriterianya secara pasti, namun hal demikian
haruslah dipahami betapa pembentuk UUD 1945 secara sadar mengidealkan
bahwa dalam diri seorang Hakim Konstitusi sekurang-kurangnya layak untuk
diharapkan memiliki kepribadian dimaksud. Hakim Konstitusi hanya terdiri atas
sembilan orang dan jika dibandingkan dengan hakim Mahkamah Konstitusi di negara
lain, jumlah hakim sembilan orang adalah jumlah yang paling sedikit. Dari
seorang Hakim Konstitusi yang diharapkan adalah pendapat hukumnya dalam membuat
putusan. Dengan hanya satu Panel Ahli untuk pemilihan Hakim Konstitusi yang
berasal dari tiga lembaga negara maka secara pasti akan terpilih Hakim
Konstitusi yang sama standarnya termasuk juga kesamaan latar belakangnya
sebagaimana yang diinginkan oleh Panel Ahli. Dalam pemilihan Hakim Konstitusi,
harus dihindarkan adanya unsur favoritisme dan popularisme. Oleh karenanya, tes pemilihan hakim
bukanlah tes litmus
bagi calon
hakim dari kacamata pemilihnya, yaitu, Panel Ahli, padahal subjektivitas Panel
Ahli tidak dapat dihindari. Dengan dasar pemikiran tersebut, adanya tim seleksi
yang dibentuk oleh masing-masing lembaga negara dapat menghindarkan dominasi
subjektivitas Panel Ahli dalam pemilihan Hakim Konstitusi dan dapat menghindari
terpilihnya Hakim Konstitusi yang memiliki latar belakang yang sama (homogen).
Justru keragaman latar belakang itulah yang diperlukan di antara kesembilan
Hakim Konstitusi, bukan homogenitas kesembilan Hakim Konstitusi. Makna bahwa
Hakim Konstitusi dipilih oleh lembaga negara yang berbeda tidak hanya sekedar
bagi-bagi porsi kewenangan namun mempunyai substansi tujuan yang lebih
mendasar, yaitu adanya tiga kelompok Hakim Konstitusi yang masing-masing
memiliki latar belakang yang berbeda karena berasal dari pilihan tiga cabang
kekuasaan negara;
Walaupun
bakal calon Hakim Konstitusi yang akan diseleksi oleh Panel Ahli sebagaimana
diatur dalam Undang-Undang a quo berasal dari Mahkamah Agung, DPR, dan Presiden
masing-masing satu orang, dan empat orang dipilih oleh Komisi Yudisial, namun
adanya satu Panel Ahli yang dibentuk oleh Komisi Yudisial menjadi sangat
menentukan dalam penyeleksian calon hakim konstitusi, sehingga hal demikian
jelas mereduksi, bahkan mengambil alih kewenangan Mahkamah Agung, DPR, dan
Presiden. Oleh karena itu, adanya satu Panel Ahli untuk memilih Hakim
Konstitusi sebagaimana diatur dalam UU 4/2014 di samping bertentangan dengan
Pasal 24C ayat (3) UUD 1945 juga bertentangan dengan filosofi yang mendasari
perlunya Hakim Konstitusi dipilih oleh lembaga negara yang berbeda. Pasal 24C
UUD 1945 memberikan kewenangan atributif yang bersifat mutlak kepada
masing-masing lembaga negara. Oleh karenanya, menurut Mahkamah, dalil para
Pemohon sepanjang mengenai tatacara pemilihan Hakim Konstitusi sebagaimana
diatur dalam UU 4/2014 beralasan menurut hukum;
[3.22] Menimbang bahwa UU 4/2014 juga mengatur keterlibatan
Komisi
Yudisial dalam pembentukan Majelis Kehormatan Hakim
Konstitusi. Terhadap ketentuan ini, menurut Mahkamah, bahwa checks and balances adalah suatu mekanisme yang
diterapkan untuk mengatur hubungan antara kekuasaan legislatif dan eksekutif.
Dalam praktik ketatanegaraan, seperti yang terjadi di Amerika Serikat, checks and balances diwujudkan dengan adanya hak
veto oleh Presiden terhadap Undang-Undang yang telah disahkan oleh Kongres. Checks and balances tidak ditujukan kepada
kekuasaan kehakiman karena antara kekuasaan kehakiman dan cabang kekuasaan yang
lain berlaku pemisahan kekuasaan. Prinsip utama yang harus dianut oleh negara
hukum maupun rule
of law state adalah
kebebasan kekuasaan yudisial atau kekuasaan kehakiman. Setiap campur tangan
terhadap kekuasaan kehakiman dari lembaga negara apa pun yang menyebabkan tidak
bebasnya kekuasaan kehakiman dalam menjalankan fungsinya, akan mengancam
prinsip negara hukum. Dalam negara hukum, kekuasaan kehakiman bahkan mempunyai
kewenangan untuk melakukan koreksi atas kekuasaan eksekutif dan kekuasaan
legislatif. Koreksi terhadap kekuasaan eksekutif dilakukan dalam kasus atau
perkara tata usaha negara, yaitu kewenangan pengadilan tata usaha negara untuk
menyatakan keputusan tata usaha negara sebagai batal karena bertentangan dengan
Undang-Undang. Selain itu, kewenangan lembaga peradilan untuk mengoreksi
kekuasaan lembaga negara
yang lain diwujudkan pula dengan adanya kewenangan Mahkamah Agung untuk
menguji peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang terhadap Undang-Undang,
sedangkan koreksi terhadap Undang-Undang dilakukan dengan memberi kewenangan
kepada Mahkamah Konstitusi untuk melakukan pengujian Undang-Undang terhadap
Undang-Undang Dasar. Dengan demikian, berdasarkan prinsip pemisahan kekuasaan
dan kebebasan kekuasaan kehakiman, bentuk campur tangan apa pun kepada
kekuasaan kehakiman adalah dilarang. Prinsip tersebut telah diterima secara universal dan UUD 1945 telah
mengadopsinya dan dalam negara hukum tidak terdapat satu ketentuan pun yang
membuka peluang kekuasaan lain untuk campur tangan kepada kekuasaan kehakiman;
Bahwa
Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 dengan tegas menyatakan kekuasaan kehakiman
merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna
menegakkan hukum dan keadilan. Dalam UUD 1945 tidak ada satu ketentuan yang
membatasi kebebasan kekuasaan kehakiman. Kebebasan kekuasaan kehakiman bukanlah
sebuah privilege
dari
kekuasaan kehakiman itu sendiri, melainkan ruh dari kekuasaan kehakiman dalam
sebuah negara hukum. Kebebasan kekuasaan kehakiman, sebagaimana dinyatakan oleh
Montesquieu, adalah untuk melindungi warga negara dari kesewenang-wenangan
kekuasaan legislatif maupun kekuasaan eksekutif.
Meskipun
kekuasaan kehakiman tidak dapat diintervensi oleh cabang kekuasaan lain di luar
kekuasaan kehakiman sebagaimana telah dijamin dalam UUD 1945, namun tidak
berarti hakim, termasuk hakim konstitusi, terbebas atau kebal dari sanksi etika
maupun sanksi hukum apabila yang bersangkutan melakukan pelanggaran baik etika
maupun tindak pidana yang masing-masing pelanggaran tersebut, telah tersedia
tata cara dan forum penyelesaiannya.
Dalam
hubungannya dengan Komisi Yudisial, Mahkamah telah memutus dalam Putusan Nomor
005/PUU-IV/2006, bertanggal 23 Agustus 2006, bahwa Hakim Mahkamah Konstitusi
tidak terkait dengan ketentuan yang diatur dalam Pasal 24B UUD 1945. Komisi
Yudisial bukanlah lembaga pengawas dari Mahkamah Konstitusi apalagi lembaga
yang berwenang untuk menilai benar atau tidak benarnya putusan Mahkamah sebagai
putusan lembaga peradilan. Dalam praktik negara hukum, tidak pernah terjadi di
manapun putusan pengadilan dapat dinilai benar atau tidak benarnya oleh lembaga
negara yang lain, alih-alih oleh
sebuah komisi, bahkan komentar
yang berlebihan dan tidak sewajarnya terhadap kekuasaan kehakiman dalam
menjalankan fungsinya menyelesaikan sengketa (dispute settlement) yang dapat menimbulkan
ketidakpercayaan publik yang meluas di banyak negara dikualifikasikan sebagai contempt of court. Kebebasan untuk menyatakan
pendapat dijamin sebagai hak asasi manusia namun dalam hubungannya dengan
kekuasaan kehakiman kebebasan tersebut dibatasi dengan mensyaratkan formalitas,
bahkan pembatasan tersebut dapat berupa sanksi pidana sebagaimana ditetapkan
dalam Undang-Undang. Negara Eropa yang dapat dikatakan sebagai penganut
demokrasi yang sangat liberal, bahkan membatasi kebebasan menyampaikan pendapat
yang berkaitan dengan kekuasaan kehakiman. Hal demikian dapat ditemukan dalam Article 10 European Convention
on Human Rights yang menyatakan:
(1)
Everyone has the right to freedom of expression. This
right shall include freedom to hold opinions and to recieve and impart
information and ideas without interference by public authority and regardless
of frontiers. This article shall not prevent States from requiring the
licensing of broadcasting television or cinema enterprises.
(2)
The exercise of these freedom since it carries with it
duties and responsibilities, may be subject to such formalities, conditions,
restrictions or penalties as are prescribed by law and are necessary in a
democratic society, in the interests of national security, territorial
integrity or public safety, for the prevention of disorder or crime, for the
protection of health or morals, for the protection of the reputation or rights
of others, for preventing the disclosure of information received in confidence,
or for
maintaining the authority and impartiality of the judiciary.
Bahwa
negara-negara Eropa yang berdasarkan demokrasi liberal dan sangat menjunjung
tinggi kebebasan menyatakan pendapat membatasi kebebasan tersebut demi menjaga
kewenangan dan imparsialitas lembaga peradilan, dan tentunya hal tersebut
diperlukan untuk menegakkan negara hukum, bukan untuk kepentingan kekuasaan
lembaga peradilan. Persoalannya justru bagaimana dengan sistem ketatanegaraan
Indonesia yang tidak berdasarkan demokrasi liberal. Apakah dalam penggunaan hak
kebebasannya dalam negara hukum akan lebih liberal dari negara-negara Eropa.
Tentunya pembentuk Undang-Undang yang akan menjawabnya;
Memang
peran Komisi Yudisial dalam pembentukan Majelis Kehormatan tidaklah langsung,
namun Pasal 87B UU 4/2014 menimbulkan banyak persoalan hukum. Ayat (2) pasal a quo menyatakan, "Peraturan pelaksanaan
dari
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang ini harus ditetapkan
paling lama 3 (tiga) bulan terhitung sejak Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang ini diundangkan."
Permasalahan hukum pertama adalah apa yang dimaksud
dengan peraturan pelaksanaan dari PERPU. Mahkamah berpendapat bahwa secara
konstitusional PERPU memiliki kekuatan mengikat yang sama dengan Undang-Undang.
Oleh karenanya, peraturan pelaksanaan dari PERPU juga harus sama dengan
peraturan pelaksanaan dari suatu Undang-Undang. Ketentuan yang termuat di dalam
Pasal 87B UU 4/2014 ini bersifat umum. Artinya, peraturan pelaksanaan tersebut
adalah peraturan pelaksanaan dari seluruh PERPU dan bukan pelaksanaan dari
pasal tertentu saja. Oleh karena PERPU sama kekuatan mengikatnya dengan
Undang-Undang, maka peraturan pelaksana yang dimaksud oleh pasal a quo secara konstitusional tidak
ada lain kecuali Peraturan Pemerintah sesuai ketentuan Pasal 5 ayat (2) UUD
1945 yang menyatakan, "Presiden menetapkan peraturan pemerintah untuk
menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya." Dengan demikian, atas perintah
ketentuan ini Pemerintah wajib membuat peraturan pelaksanaan.
Permasalahan kedua menyangkut frasa yang
menyatakan, "... harus ditetapkan paling lama 3 (tiga) bulan terhitung
sejak Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang ini diundangkan." Penjelasan Pasal 87B
menyatakan, "Cukup
jelas". Dengan
demikian, pasal ini harus dimaknai berdasar rumusan kalimat atau frasa yang tertulis
dari aspek tatanan kalimat dan bahasa yang digunakan dan tidak dapat dimaknai
di luar bahasa yang digunakan, serta bukan berdasar penafsiran perorangan atau
Pemerintah maupun DPR, karena Undang-Undang yang dinyatakan dalam simbol bahasa
tersebut telah mengikat umum dan menjadi milik publik pula. Frasa yang
menggunakan kata "harus", pastilah punya makna normatif untuk ditaati. Apabila
tidak ditaati berarti telah terjadi pelanggaran terhadap perintah "harus" tersebut. PERPU 1/2013
diundangkan pada tanggal 17 Oktober 2013. Tiga bulan dari tanggal tersebut
jatuh pada 17 Januari 2014 dan tidak ada Peraturan Pemerintah untuk pelaksanaan
PERPU tersebut. Dengan demikian, sekarang telah terjadi pelanggaran. Sebuah
pelanggaran menimbulkan
konsekuensi hukum. Jika merupakan pelanggaran pidana
dapat dijatuhi pidana. Ketentuan Pasal 87B bermaksud memberikan kewenangan delegatoir kepada pembuat peraturan
pelaksana, namun jika dibaca rumusannya, ketentuan kewenangan delegatoir tersebut disyarati, yaitu,
waktunya selama tiga bulan. Hal tersebut terbukti dari frasa "harus ditetapkan paling
lama 3 (tiga) bulan". Oleh karena ketentuan ini
bukan mengatur pidana tetapi mengatur kewenangan yang didelegasikan, sehingga
jika ternyata kewenangan tersebut tidak digunakan sesuai perintah maka
kewenangan tersebut akan kadaluwarsa atau hapus. Sejak PERPU tersebut
diundangkan sampai dengan tanggal 17 Januari
2014 tidak
ditetapkan peraturan pelaksanaan oleh Presiden dalam bentuk Peraturan
Pemerintah, sehingga tidak ada lagi kewenangan untuk membuat Peraturan
Pemerintah. Pasal 87B telah habis masa berlakunya, artinya delegasi kewenangan
membuat peraturan pelaksanaan telah daluwarsa;
Permasalahan hukum ketiga timbul dari rumusan Pasal 87B
ayat (3) a quo yang menyatakan, "Selama peraturan
pelaksanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) belum ditetapkan, pembentukan
Panel Ahli dan Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi dilaksanakan oleh Komisi
Yudisial." Sebagaimana diuraikan sebelumnya, yang didelegasikan oleh Pasal 87B ayat
(2) PERPU 1/2013 adalah pembuatan peraturan pelaksanaan, artinya delegasi untuk
mengatur. Hal itu menurut Mahkamah, secara konstitusional bentuk hukumnya
adalah Peraturan Pemerintah, sedangkan ayat (3) yang didelegasikan adalah
kewenangan untuk membentuk Panel Ahli dan Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi
yang keduanya merupakan hal berbeda. Kewenangan membuat peraturan pelaksanaan
akan menghasilkan peraturan yang bersifat umum, sedangkan kewenangan untuk
membentuk Panel Ahli dan Majelis Kehormatan akan menghasilkan keputusan yang
konkret;
Bahwa hal berikutnya berkaitan
dengan kapan kewenangan untuk membentuk Panel Ahli dan Majelis Kehormatan Hakim
Konstitusi. Hal itu diatur dalam Pasal 87B ayat (3) UU 4/2014 yang menyatakan, "Selama peraturan
pelaksanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) belum ditetapkan, pembentukan
Panel Ahli dan Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi dilaksanakan
oleh Komisi Yudisial". Sejak PERPU a quo diundangkan sampai dengan
permohonan ini diajukan, peraturan pelaksanaan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(2) belum
ditetapkan, sehingga semestinya Komisi Yudisial sudah harus menetapkan Panel
Ahli dan Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi. Demikianlah maksud PERPU tersebut
- terlepas konstitusional atau tidak konstitusionalnya -mengenai apa yang harus
dilakukan oleh Komisi Yudisial menurut PERPU yang telah menjadi Undang-Undang
tersebut. Pendapat Mahkamah di atas memperlihatkan secara jelas betapa rancunya
PERPU a
quo dibuat
yang tujuannya adalah untuk melibatkan Komisi Yudisial dalam pengajuan Hakim
Konstitusi dan pengawasan terhadap Mahkamah Konstitusi.
Pelibatan Komisi Yudisial
sebagaimana ketentuan dalam UU 4/2014 adalah merupakan bentuk penyelundupan
hukum karena hal tersebut secara jelas bertentangan dengan Putusan Mahkamah
Nomor 005/PUU-IV/2006, tanggal 23 Agustus 2006, yang menegaskan secara
konstitusional bahwa Hakim Mahkamah Konstitusi tidak terkait dengan Komisi
Yudisial yang mendapatkan kewenangan berdasarkan Pasal 24B UUD 1945. Terhadap
tindakan penyelundupan hukum yang demikian maupun tindakan yang
inkonstitusional lainnya harus dikoreksi oleh Mahkamah melalui upaya judicial review ini demi menjaga tegaknya
konstitusi.
Berdasarkan pertimbangan hukum
di atas, Mahkamah berpendapat bahwa dalil-dalil permohonan para Pemohon
sepanjang mengenai pembentukan Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi beralasan
menurut hukum;
[3.23] Menimbang bahwa UU 4/2014 mengubah ketentuan yang
mengatur tentang syarat Hakim Konstitusi sebagaimana tertuang dalam Pasal 15
ayat (2) huruf i UU 4/2014 a quo yang menyatakan, "Tidak menjadi anggota
partai politik dalam jangka waktu paling singkat 7 (tujuh) tahun sebelum
diajukan sebagai calon hakim konstitusi." Ketentuan a quo dicantumkan dalam PERPU 1/2013
setelah kejadian tertangkap tangannya M. Akil Mochtar, yang waktu itu sebagai
Ketua Mahkamah Konstitusi, oleh KPK. Oleh karenanya, sulit untuk dilepaskan
anggapan bahwa ayat ini tidak didasarkan atas kenyataan bahwa M. Akil Mochtar
berasal dari politisi/Anggota DPR sebelum menjadi Hakim Konstitusi. Dengan
demikian,
Pasal 15 ayat
(2) huruf
i UU 4/2014 dicantumkan berdasarkan stigma yang timbul dalam
masyarakat.
Bahwa hak untuk berserikat dan
berkumpul, termasuk hak untuk menjadi anggota partai politik dijamin Pasal 28
dan Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 dan hak untuk ikut serta dalam pemerintahan
adalah hak yang dijamin Pasal 28D ayat (3) UUD 1945. Stigma biasanya
menggeneralisasi, yaitu apa yang telah terjadi pada M. Akil Mochtar kemudian
dijadikan dasar bahwa setiap anggota partai politik pastilah tidak pantas
menjadi Hakim Konstitusi. Stigmatisasi seperti ini menciderai hak-hak
konstitusional seorang warga negara yang terkena stigmatisasi tersebut padahal
haknya dijamin oleh UUD 1945. Hak untuk menjadi Hakim Konstitusi bagi setiap
orang adalah hak dasar untuk ikut dalam pemerintahan. Oleh karenanya, setiap
pembatasan terhadap hak tersebut haruslah memiliki landasan hukum yang kokoh
dan valid. Mahkamah pernah memutus satu ketentuan dalam Undang-Undang yang
didasarkan atas suatu stigma, yaitu larangan bagi seorang warga negara untuk
menjadi calon anggota DPR, DPD, dan DPRD provinsi/kabupaten/kota yang terlibat
tidak langsung dalam peristiwa G30S/PKI yang menyatakan, "...bahwa dari sifatnya,
yaitu pelarangan terhadap kelompok tertentu warga negara untuk mencalonkan diri
sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah, Pasal 60 huruf g jelas mengandung nuansa hukuman
politik kepada kelompok sebagaimana dimaksud. Sebagai negara hukum, setiap
pelarangan yang mempunyai kaitan langsung dengan hak dan kebebasan warga negara
harus didasarkan atas putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum yang
tetap;" [vide
Putusan Nomor 011-017/PUU-I/2003, bertanggal 24 Februari 2004]. Pertimbangan
Mahkamah mengenai larangan melakukan hukuman politik berdasarkan stigma
tersebut harus berlaku pula untuk perkara a quo, yaitu tidak membuat aturan
berdasarkan stigmatisasi baik terhadap anggota partai politik atau anggota DPR,
maupun kelompok atau golongan masyarakat lainnya, untuk mencalonkan diri atau
dicalonkan menjadi Hakim Konstitusi. Dari segi original intent pengajuan Hakim Konstitusi
dari DPR dimaksudkan bahwa DPR bebas memilih calon Hakim Konstitusi termasuk
dari Anggota DPR yang
memenuhi syarat, asalkan pada saat menjadi Hakim
Konstitusi melepaskan keanggotaannya dari partai politik. Sumber calon Hakim
Konstitusi haruslah dibuka seluas-luasnya dari berbagai latar belakang,
sepanjang sesuai dengan syarat-syarat yang telah ditentukan;
Bahwa korupsi haruslah
diberantas adalah benar, tetapi memberikan stigma dengan menyamakan semua
anggota partai politik sebagai calon koruptor dan oleh karenanya berkepribadian
tercela dan tidak dapat berlaku adil sehingga tidak memenuhi syarat menjadi
Hakim Konstitusi adalah suatu penalaran yang tidak benar. Perilaku tercela dan
tidak adil merupakan tabiat individual yang harus dilihat secara individual
juga. Di samping melanggar UUD 1945, persyaratan yang terdapat
dalam Pasal 15 ayat (2) huruf i UU 4/2014 tersebut sangatlah rentan untuk
diselundupi. Partai politik di Indonesia cukup banyak, tidak saja yang lolos
ikut pemilihan umum tetapi juga yang tidak lolos ikut pemilihan umum. Sudahkah
semua partai politik mempunyai daftar anggota yang disusun secara tertib dan
terdapat kewajiban bagi partai politik mengeluarkan kartu anggota kepada
anggotanya. Kalaupun ada seseorang menyatakan diri sudah sejak tujuh tahun
tidak menjadi anggota partai politik, adakah catatan resmi yang bisa memberi
kepastian hal tersebut sebab jika tidak ada catatan resmi, akan dengan mudah
dipalsukan. Siapakah yang harus memberikan keterangan bahwa seseorang paling
tidak sudah tujuh tahun tidak menjadi anggota partai politik. Tentunya supaya
benar dan dapat dipastikan, keterangan tersebut haruslah diperoleh dari semua
pengurus partai yang ada di Indonesia, termasuk partai lokal. Keanggotaan
partai politik tidak dapat didasarkan atas dugaan semata. Bagaimana halnya
dengan mereka yang menjadi simpatisan partai politik. Atas dasar rasionalitas
apa sesungguhnya ketentuan ini dibuat. Mungkin saja terjadi seseorang yang
hanya menjadi simpatisan partai politik tertentu, namun keterlibatannya dalam
partai politik tersebut justru sangat dalam, baik secara langsung maupun tidak
langsung, dibandingkan dengan anggota biasa. Kepada siapa sebetulnya larangan
ini ditujukan. Kepada simpatisan tersebut atau memang kepada anggota biasa.
Lain halnya jika larangan ini ditujukan kepada anggota partai politik yang
pernah duduk menjadi Anggota DPR, yang akan sangat jelas maksudnya. Persoalan
lain yang
juga akan muncul adalah, bagaimana jika anggota partai
politik tersebut menjadi anggota DPD. Larangan ini mungkin dapat dilakukan
kepada pengurus partai, namun demikian apakah ada catatan yang memadai siapa
saja pengurus partai dari tingkat pusat sampai daerah. Pengurus partai di
tingkat pusat terdaftar di Kementerian Hukum dan HAM. Masalahnya, bagaimana
dengan kepengurusan partai di tingkat daerah sampai terbawah. Apakah juga ada
catatan resminya disertai dengan kepemimpinan siapa yang sah dan valid, karena
seringkali pula terjadi adanya sengketa keabsahan kepengurusan partai politik,
baik di tingkat pusat sampai dengan tingkat daerah;
Bahwa berdasarkan uraian
sebagaimana tersebut di atas, menurut Mahkamah, ketentuan a quo bertentangan dengan Pasal 24C
ayat (3), Pasal 28, Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3), Pasal 28E ayat (3) UUD
1945. Ketentuan a quo tanpa landasan konstitusional yang benar sebagaimana ditentukan Pasal
28J ayat (2) UUD 1945. Pengaturan dalam Pasal 15 ayat (2) huruf i UU 4/2014
lebih didasarkan pada stigmatisasi belaka yang dalam penerapannya penuh dengan
permasalahan hukum, sehingga dalil permohonan para Pemohon sepanjang mengenai
syarat yang ditentukan dalam Pasal 15 ayat (2) huruf i UU 4/2014 beralasan
menurut hukum;
[3.24] Menimbang bahwa pendapat Mahkamah mengenai tiga
substansi hukum sebagaimana diuraikan di atas adalah pendapat terhadap jantung
atau substansi inti UU 4/2014. Oleh karena itu cukup alasan bagi Mahkamah untuk
menyatakan bahwa ketentuan dalam UU 4/2014 sebagaimana telah dipertimbangkan di
atas, dan keseluruhan UU 4/2014 adalah bertentangan dengan UUD 1945;
[3.25] Menimbang bahwa selain itu, karena UU 4/2014, berasal
dari PERPU 1/2013, Mahkamah perlu menegaskan hal-hal sebagai berikut:
Mahkamah dalam Putusan Nomor
138/PUU-VII/2009, tanggal 8 Februari 2010, telah dengan jelas menyatakan bahwa
oleh karena materi PERPU adalah sama dan setingkat dengan materi Undang-Undang
maka Mahkamah berwenang untuk menguji apakah PERPU tersebut bertentangan atau
tidak
bertentangan dengan UUD
1945.
Presiden berwenang untuk mengeluarkan PERPU hanya dalam keadaan kegentingan
yang memaksa. Syarat ini ditetapkan oleh konstitusi yang oleh karenanya
mengikat. Tanpa adanya kegentingan yang memaksa Presiden tidak berwenang untuk
membuat PERPU;
Materi muatan PERPU adalah
materi muatan Undang-Undang, mempunyai daya berlaku seperti Undang-Undang,
mengikat umum sejak diundangkan, artinya sama dengan produk legislatif yaitu
Undang-Undang. Dalam negara demokrasi, produk legislatif dibentuk oleh lembaga
perwakilan rakyat atau parlemen. PERPU yang sama materi dan kekuatannya dengan
Undang-Undang tidak dibentuk oleh Presiden bersama DPR [vide Pasal
20 UUD
1945],
tetapi hanya dibentuk oleh Presiden seorang diri. Oleh karenanya, sangat
beralasan jika UUD 1945 memberi syarat dalam keadaan
apa PERPU dapat dibentuk oleh Presiden yaitu keadaan kegentingan yang memaksa;
Putusan Mahkamah Nomor
138/PUU-VII/2009, tanggal 8 Februari 2010, menetapkan tiga syarat adanya
kegentingan yang memaksa sebagaimana dimaksud oleh Pasal 22 ayat (1) UUD 1945
yaitu:
1.
adanya keadaan yaitu kebutuhan mendesak untuk
menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan Undang-Undang;
2.
Undang-Undang yang dibutuhkan tersebut belum ada
sehingga terjadi kekosongan hukum, atau ada Undang-Undang tetapi tidak memadai;
3.
kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan
cara membuat Undang-Undang secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu
yang cukup lama sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk
diselesaikan."
Dengan demikian, meskipun
kegentingan yang memaksa menjadi kewenangan Presiden untuk menafsirkannya, yang
artinya diserahkan pada subjektifitas Presiden, namun subjektifitas itu harus
ada dasar objektifitasnya, dan pembatasan tersebut disyaratkan oleh konstitusi.
Pembentukan PERPU tidak boleh disalahgunakan, mengingat sebenarnya materi PERPU
adalah materi Undang-Undang yang tidak dapat diputuskan sendiri oleh Presiden
tanpa persetujuan DPR. Ketiga syarat konstitusionalitas sebagaimana disebutkan
di atas adalah sebagai indikasi kegentingan yang memaksa, atau dengan kata
lain, karena adanya keadaan tertentu yang harus diatasi segera supaya tidak
terjadi
ketidakpastian hukum. Hal
tersebut dilakukan dengan pembentukan hukum, dalam
hal ini PERPU;
PERPU harus mempunyai akibat prompt immediately yaitu "sontak
segera" untuk memecahkan permasalahan hukum. Menurut Mahkamah, PERPU
1/2013 tidak ada akibat hukum yang "sontak segera". Hal tersebut
terbukti bahwa meskipun PERPU telah menjadi Undang-Undang, PERPU tersebut belum
pernah menghasilkan produk hukum apapun;
Konsiderans (menimbang) PERPU
tidak mencerminkan adanya kesegeraan tersebut, yaitu apa yang hanya dapat
diatasi secara segera. Panel Ahli sampai sekarang belum kunjung terbentuk,
perekrutan Hakim Konstitusi untuk menggantikan M. Akil Mochtar belum dapat dilakukan,
justru semakin tertunda karena adanya ketentuan yang terdapat dalam PERPU.
Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi belum terbentuk dan kalaupun terbentuk pun
tidak ada masalah mendesak yang harus diselesaikan;
Dari uraian tersebut di atas,
pembentukan PERPU 1/2013 tidak memenuhi syarat konstitusional kegentingan yang
memaksa. Hal ini sesuai dengan ungkapan yang dikemukakan oleh ahli Prof. H.A.S
Natabaya, S.H., LL.M. bahwa "ke atas tak berpucuk, ke bawah tak berakar, di tengah
digerek kumbang";
Berdasarkan pertimbangan
tersebut di atas, menurut Mahkamah keadaan kegentingan yang memaksa, yang
disyaratkan oleh UUD 1945 dan Putusan Nomor 138/PUU-VII/2009 tersebut, dalam
penetapan PERPU, tidak terpenuhi;
[3.26] Menimbang oleh karena UU 4/2014 beserta lampirannya
dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan dengan demikian tidak memiliki
kekuatan hukum mengikat sebagaimana amar putusan yang akan disebutkan di bawah
ini, maka Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
dinyatakan berlaku kembali sebagaimana sebelum diubah oleh PERPU 1/2013 yang
kemudian menjadi UU 4/2014.
4. KONKLUSI
Berdasarkan penilaian atas
fakta dan hukum sebagaimana diuraikan di atas, Mahkamah berkesimpulan:
[4.1] Mahkamah berwenang untuk
mengadili permohonan a quo;
[4.2] Para Pemohon mempunyai kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan a quo;
[4.3] Pokok permohonan para Pemohon beralasan menurut hukum
untuk seluruhnya;
Berdasarkan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor
8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226), dan Undang-Undang
Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5076);
5. AMAR PUTUSAN
Mengadili,
Menyatakan:
1. Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk
seluruhnya;
1.1. Undang-Undang Nomor 4
Tahun 2014 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor
1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi Menjadi Undang-Undang beserta lampirannya (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 5, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5493) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
1.2. Undang-Undang Nomor
4 Tahun
2014
tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor
1 Tahun
2013
tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor
24 Tahun
2003
tentang Mahkamah Konstitusi Menjadi Undang-Undang beserta lampirannya (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor
5,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5493)
tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
1.3. Undang-Undang Nomor
24 Tahun
2003
tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor
8 Tahun
2011 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun
2003
tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2011 Nomor
70,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226), berlaku kembali sebagaimana
sebelum diubah oleh Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor
1 Tahun
2013
tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor
24 Tahun
2003
tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2013 Nomor
167,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5456) yang kemudian menjadi
Undang-Undang Nomor 4 Tahun
2014 tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor
1 Tahun
2013
tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor
24 Tahun
2003
tentang Mahkamah Konstitusi Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2014 Nomor
5, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5493);
2.
Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia
sebagaimana mestinya.
Demikian diputuskan dalam
Rapat Permusyawaratan Hakim oleh delapan Hakim Konstitusi, yaitu Hamdan Zoelva
selaku Ketua merangkap Anggota, Arief Hidayat, Harjono, Maria Farida Indrati,
Muhammad Alim, Patrialis Akbar, Anwar Usman, dan Ahmad Fadlil Sumadi,
masing-masing sebagai Anggota, pada hari Selasa, tanggal sebelas, bulan Februari, tahun dua ribu empat belas, dan diucapkan dalam Sidang
Pleno Mahkamah Konstitusi terbuka untuk umum pada hari Kamis, tanggal tiga belas, bulan Februari, tahun dua ribu empat belas, selesai diucapkan pukul 16.20 WIB, oleh delapan Hakim Konstitusi,
yaitu Hamdan Zoelva selaku
Ketua merangkap Anggota, Arief Hidayat, Harjono, Maria Farida Indrati, Muhammad
Alim, Patrialis Akbar, Anwar Usman, dan Ahmad Fadlil Sumadi, masing-masing
sebagai Anggota, dengan didampingi oleh Yunita Rhamadani dan Wiwik Budi Wasito
sebagai Panitera Pengganti, dihadiri oleh para Pemohon, Presiden/yang mewakili,
dan Dewan Perwakilan Rakyat/yang mewakili.
KETUA,
ttd.
Hamdan Zoelva
ANGGOTA-ANGGOTA,
ttd.
ttd.
Arief Hidayat
Harjono
ttd.
ttd.
Maria Farida Indrati
Muhammad Alim
ttd.
ttd.
Patrialis Akbar
Anwar Usman
ttd.
Ahmad Fadlil Sumadi
PANITERA PENGGANTI,
ttd.
ttd.
Yunita Rhamadani
Wiwik Budi Wasito